Senin, 09 Maret 2009

Golput dalam Pemilu

Golput dalam Pemilu

Pemilu adalah salah satu pilar demokrasi, dimana rakyat menyerahkan mandat kepada wakil-wakilnya untuk bertindak atas nama rakyat. Begitu pentingnya tradisi pemilu di Indonesia, maka orangpun menyamakannya dengan pesta demokrasi

(Eko Prasojo)


Pemilu 2009 sudah di depan mata. Dalam waktu yang tidak berapa lama lagi, tepatnya pada bulan April nanti, Indonesia akan menyelenggarakan pemilihan umum (pemilu) untuk memilih wakil-wakil rakyat yang akan duduk di kursi Majelis yang terhormat. Tradisi akbar yang hanya terjadi tiap lima tahun sekali ini menambah panjang perjalanan sejarah bangsa dalam gaung demokrasi.


Pemilihan
umum (pemilu) merupakan salah satu sarana demokrasi. Pesta demokrasi yang merupakan perwujudan tatanan kehidupan negara dan masyarakat yang berkedaulatan rakyat, pemerintahan dari dan untuk rakyat. Melalui pemilu, rakyat melakukan evaluasi terhadap kinerja dan moral wakil-wakilnya di lembaga legislatif dan pemerintah. Pemilu juga dimaksudkan untuk membangun kembali kepercayaan baru masyarakat terhadap pemerintah dan negara.


Sebagai
sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, dimana kekuasaan yang tertinggi berada di tangan rakyat, pemilihan umum diselenggarakan secara demokratis, jujur, dan adil dengan mengadakan pemberian dan pemungutan suara secara langsung, umum, bebas, dan rahasia. Pemungutan suara tersebut dilakukan serentak di seluruh wilayah kesatuan RI. Pemilu yang dilaksanakan setiap lima tahun sekali ini pada umumnya mempunyai tujuan untuk melaksanakan asas kedaulatan rakyat, hak asasi warga negara, dan memungkinkan terjadinya transformasi pemerintahan secara aman dan tertib.

Dalam konteks transformasi demokrasi, sejarah Indonesia telah mencatat bahwa bangsa Indonesia telah sembilan kali menyelenggarakan pemilihan umum.
Pemilu di Indonesia pada awalnya ditujukan untuk memilih anggota lembaga perwakilan, yaitu DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota. Namun, setelah amandemen keempat UUD 1945 pada 2002, pemilihan presiden dan wakil presiden (pilpres), yang semula dilakukan oleh MPR, disepakati untuk dilakukan langsung oleh rakyat sehingga pilpres pun dimasukkan ke dalam rezim pemilu. Pilpres sebagai bagian dari pemilu diadakan pertama kali pada Pemilu 2004. Pada 2007, berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007, pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah (pilkada) juga dimasukkan sebagai bagian dari rezim pemilu.


Dengan ditetapkannya peraturan perundang-undangan baru di atas, ruang gerak partisipasi politik warga negara menjadi semakin luas. Warga negara memperoleh hak untuk memberikan suaranya dan turut serta terlibat dalam kegiatan-kegiatan kenegaraan di bidang politik dari tingkat daerah sampai tingkat pemerintahan. Partisipasi politik ini mencakup semua kegiatan yang sah oleh semua warga negara yang kurang lebih langsung dimaksudkan untuk mempengaruhi pemilihan pejabat pemerintahan dan atau tindakan-tindakan yang mereka ambil.


Sayangnya, pemberian ruang gerak yang semakin meluas atas partisipasi politik di atas tidak serta merta meningkatkan kesadaran warga negara untuk turut serta dalam proses elektoral. Walaupun kesadaran politik rakyat tidak hanya diukur dengan tingkat partisipasi pemilu yang hanya berlangsung lima tahun sekali, melainkan juga dengan sejauh mana mereka aktif mengawasi atau mengoreksi kebijakan dan perilaku pemerintahan selama lima tahun pemerintahan tahun berjalan. Kesadaran politik warga negara untuk berpartisipasi dalam kehidupan politik bangsa baik secara langsung maupun tidak langsung menjadi hal yang begitu krusial. Krusial dalam artian bahwa keterlibatan warga negara dalam transisi demokrasi menjadi begitu penting dalam penentuan pemimpin bangsa dan wakil-wakil rakyat yang diharapkan bertindak atas nama rakyat yang memilihnya.


Berjalan baiknya sebuah negara tidak terlepas dari partisipasi politik warga negaranya. Tingginya partisipasi politik menunjukkan bahwa warga negara memahami kehidupan politik. Di sisi lain, rendahnya partisipasi politik dapat dianggap sebagai rendahnya kepedulian dan pengetahuan warga negara dalam kehidupan politik atau bisa jadi terdapat batasan serta tidak adanya kesempatan dalam kehidupan politik. Adapun warga negara yang sama sekali tidak melibatkan diri dalam partisipasi politik disebut apati (apaty). Hal ini terjadi karena beberapa sebab. Pertama, adanya sikap acuh tak acuh, tidak tertarik atau rendahnya pemahaman mereka mengenai masalah politik. Kedua, adanya keyakinan bahwa usaha mereka untuk mempengaruhi kebijakan pemerintah tidak berhasil. Ketiga, mereka tinggal dalam lingkungan yang menganggap bahwa tindakan apati merupakan suatu tindakan yang terpuji.[1]


Dalam perjalanan historis pemilihan umum di Indonesia, kemudian kita temui lagi adanya istilah Golongan putih (golput). Berbeda dengan tindakan apatis, golput merupakan predikat bagi orang-orang yang memilih untuk tidak menggunakan hak suaranya pada Pemilihan Umum (Pemilu). Warga negara yang memilih untuk golput memiliki dua kecenderungan. Pertama, golput karena ketidakmengertian akan politik sehingga menimbulkan keengganan untuk menggunakan hak suara pada pemilu. Kedua, golput karena paham situasi dan kondisi politik sehingga memilih untuk tidak memilih (golput). Misalnya, seseorang merasa tidak ada calon pemimpin bangsa yang berkompeten dan bersih sehingga orang tersebut tidak bersedia memberikan amanahnya lewat pemilu (golput).


Fenomena Golput dalam Pemilu


Istilah golput menjadi begitu akrab di telinga kita sejak tahun 1971. Pada pemilu 1971 jumlah golput tercatat 4.858.667 atau sekitar 8,30 persen. Meski jumlah Golput dari pemilu 1955 sampai 1999 tidak pernah melebihi angka 10 persen, gerakan itu mampu menimbulkan kesadaran politik baru pada masyarakat pemilih. Yaitu kesadaran untuk tidak memilih bila memang tidak percaya pada sistem yang berlaku.


Pada Pilpres 2004, angka golput mencapai 20 persen dan pada pemilu tahun 2009 diperkirakan meningkat lagi mencapai sekitar 40 persen. Tingginya angka golput ini semakin mempertegas posisi tawar dari masyarakat dalam bernegara atau berpartisipasi dan terlibat dalam pemerintahan, saat ini masyarakat mulai apatis terhadappesta demokrasi’. Sebuah survei pemilih Indonesia tahun 2003 dengan tema besar demokrasi di Indonesia yang dilakukan The Asian Foundation memaparkan alasan ketidaktertarikan pemilih pada politik di antaranya adalah sebagai berikut:


Alasan Ketidaktertarikan pada Politik
Jika tak tertarik pada politik, mengapa? [Q. 86 base 376]


Tidak
suka berpolitik 37%

Saya tidak berpendidikan/terlalu miskin 30%

Politik sangat kotor 13%

Buang-buang waktu/saya terlalu sibuk 8%

Lainnya 5%

Tidak tahu 16%


Mayoritas
pemilih (58%) yang menyatakan kurang tertarik pada politik memberikan alasan-alasan yang lebih menunjukkan adanya keterasingan dari proses politik ketimbang alasanketidakmampuan untuk berpartisipasi dalam politik. Proporsi terbesar (37%) – khususnya yang berusia muda, berpendidikan, dan berdomisili di kota mengambil sikap demikian tampaknya disebabkan karena apa yang selama ini mereka saksikan, sehingga mereka mengatakantak suka politik”. Tiga belas persen lainnya menyatakanpolitik itu kotorjelas menunjukkan persepsi yang berkembang mengenai korupsi dalam kehidupan politikdi Indonesia. Di lain pihak, lebih sedikit pemilih yang menyebutkan alasan kurang mampu untuk berpartisipasi dalam politik. Sekitar 30%, terutama pemilih berusia lanjut, kurang pendidikan, dan berpenghasilan rendah, menyalahkan kurangnya materi dan pendidikan sebagai penyebab sikap apatisme mereka. Dengan demikian, alasan-alasan mendasar atas ketidaktertarikan pada politik terlihat berkaitan erat dengan ketidaksenangan pemilih terhadap situasi politik saat ini.


Secara
umum, semakin tinggi tingkat pendidikan, semakin tinggi pula tingkat partisipasinya dalam politik. Demikian juga dalam hal tingkat penghasilan. Tingkat pendidikan merupakan faktor yang paling signifikan mempengaruhi tingkat partisipasi politik. Namun, perlu digarisbawahi bahwa pengertian partisipasi politik di sini bukan semata keikutsertaan yang terbatas pada pemilu atau pemilihan presiden. Artinya, meningkatnya angka golput itu sendiri merupakan pertanda meningkatnya daya kritis masyraskat terhadap partai politik.


Tingginya
angka golput ini disebabkan karena tiga hal yang sifatnya sangat krusial, yakni masalah pendataan, ideologis, dan teknis. Jika dahulu orang didatangi petugas ke rumah untuk didaftar, kini dasarnya hanya KTP.
Masalah ideologis, yang based on pemahaman dan pengetahuan orang bersangkutan. Ada penilaian bahwa pemerintahnya siapa saja ternyata tidak berubah. Oleh karena tidak ada perubahan maka lebih baik memilih golput. Dan yang terakhir, masalah teknisnya adalah kartu suara. Entah karena kartu suara ganda atau pendistribusiannya yang tidak terlaksana dengan baik.


Keengganan
masyarakat mengikuti pemilu tak selamanya menunjukkan terjadinya penurunan demokrasi. Karena keengganan itu di samping muncul akibat apatisme publik pada partai politik, bisa juga karena semakin tumbuhnya kesadaran masyarakat bahwa partisipasi politik demokratis selama ini tidak selamanyabahkan harusmelalui aktivitas pemilu. Pada saat seperti inilah dengan sendirinya golput akan meningkat.


Golput
, Bukan Pilihan Terbaik


Peningkatan
golput tidak mencerminkan menurunnya kualitas demokrasi, bahkan menjadi cermin kedewasaan dan daya kritis masyarakat. Memilih untuk golput hanyalah satu di antara beragam kemungkinan sikap politik dalam momentum pemilihan umum.
Pada pemilu 2009 diharapkan masyarakat lebih selektif dan lebih cerdas, untuk memilih atau tidak memilih, dengan mempunyai alasan ataupun pertimbangan pembenaran dari masing individu, dan merupakan hak yang hakiki dari individu, dan tetap dijunjung tinggi.


Setidaknya
, ada beberapa alasan mengapa memilih jauh lebih baik dari pada tidak memilih. Pertama,
golput hanya untuk orang-orang yang ingin perubahan terjadi, tetapi tidak take action. Perubahan akan muncul apabila partisipasi terjadi secara komunal dalam menentukan figur yang tepat. Kedua, walaupun golput juga merupakan hak asasi. Namun perlu disadari bahwa di saat pemilu itulah kita belajar untuk menghargai orang lain yang berbeda pendapat. Memanfaatkan betul hak pilih suara kita sebaik-baiknya membantu pembangunan demokrasi. Ketiga, harapan untuk perubahan itu harus selalu ada dan kita harus turut serta mengusahakannya. Tidak memilih di antara mereka yang relatif lebih baik sama artinya memenangkan politisi busuk. Golput justru akan memberikan peluang kepada bangsa ini untuk dipimpin politisi yang tidak diharapkan.




[1] Eko Prasojo. Demokrasi Di Negeri Mimpi: Catatan Kritis terhadap Pemilu 2004 dan Good Governance. Departemen Ilmu Administrasi FISIP UI, Jakarta: 2005

Daftar Pustaka

Budiyanto. Kewarganegaraan. Penerbit Erlangga, Jakarta: 2004

Prasojo, Eko. Demokrasi Di Negeri Mimpi: Catatan Kritis terhadap Pemilu 2004 dan Good Governance. Departemen Ilmu Administrasi FISIP UI, Jakarta: 2005

Priyo Sukanto, Budi, Panduan Belajar Kewarganegaraan. Primagama, Jakarta: 2006

Demokrasi di Indonesia: Sebuah Survei Pemilih indonesia 2003. The Asia Foundation, Jakarta: 2003

Muhammad Tiro, Hasan. Demokrasi untuk Indonesia. Teplok press, Jakarta: 1993

Tidak ada komentar: