Senin, 28 Juni 2010

Perjalanan Ini

\

Perjalanan Ini

“Beruntunglah orang-orang yang senantiasa memperbarui semangatnya dalam setiap pergantian waktu, menjaga niatnya dalam kebaikan, dan menemukan Tuhan dalam setiap gerak serta selalu terjaga karena-Nya”. Dan tiba-tiba teringat pada sebuah pesan singkat yang mampir di telepon berjalan ini. Sebuah pesan yang mungkin terlihat biasa, namun kali ini begitu menginspirasi diri.

Memperbarui Semangat Setiap Saat

Menjadi sebuah keniscayaan bahwa perjalanan yang Kita lalui ini pasti akan berakhir. Bagai garis lurus tak putus, perjalanan ini tak pernah kembali ke masa lalu. Tak seperti bulatnya bola yang tiada ujung tiada pangkal, perjalanan ini akan terus melangkah sampai titik akhir. Perjalanan yang sudah barang tentu mengurangi kesempatan Kita untuk terus berbuat yang terbaik dalam hidup.

Perjalanan yang hentinya tidak Kita ketahui, memaksa Kita untuk terus mencurahkan segala kemampuan terbaik yang Kita miliki. Dan Tuhan pun telah mendesain Kita dengan perangkat kepekaan lengkap dengan tanggung jawab untuk menunaikan misi kehidupan di Bumi ini. Agar Kita selalu peka dan bertanggungjawab atas perjalanan yang Kita pilih.

Perjalanan yang Kita pilih membawa Kita pada suatu titik di mana Kita harus berpandangan jauh sebagai capaian yang harus diraih, dan Kita menyebutnya sebagai mimpi. Berawal dari sebuah mimpi akan misi kehidupan di Bumi, kemudian Kita mereduksinya ke dalam sebuah visi kehidupan. Visi kehidupan yang kemudian tergambarkan melalui metoda-metoda yang Kita anggap mampu memudahkan perjalanan Kita, membantu Kita untuk senantiasa melakukan perjalanan dengan arah yang tepat.

Berbicara soal perjalanan ini, juga tidak akan pernah terlepas dari kurun waktu. Dengan begitu terbatasnya waktu, Kita dituntut untuk senantiasa berjibaku dalam tantangan dan hambatan yang pasti akan Kita hadapi selama menempuh perjalanan. Tidak ada lagi kompromi dengan waktu, yang ada hanyalah kesiapan Kita dalam berlomba dengan waktu. Dan kali ini, kiranya begitu tepat untuk memahami kembali perjalanan sebagai sebuah hal yang selalu menguras energi.

Walau tak selamanya perjalanan Kita menguras energi, tetapi ada kalanya Kita terlalu lelah berlomba dengan waktu selain karena perbekalan yang menipis, yang secara tidak langsung memakan energi sementara Kita tidak pernah tahu kapan perjalanan ini akan berhenti. Maka menjadi penting bagi Kita untuk sejenak mengistirahatkan diri, tetapi bukan untuk berhenti. Meminjam perkataan seorang idealis yang tak pernah berhenti bermimpi, Soe Hok Gie, bahwasanya memikirkan kembali soal-soal kecil dalam hidup adalah sesuatu hal yang membuat Kita menjadi manusia kembali (Catatan Harian Seorang Demonstran). Dan tak ada salahnya untuk beristirahat sejenak dan menoleh ke belakang, bukan untuk kembali tetapi untuk merenungi setiap langkah perjalanan yang telah ditempuh. Menilik kembali setiap langkah untuk dijadikan pedoman berjalan selanjutnya agar lebih baik dari perjalanan sebelumnya. Perjalanan yang kian memanusiakan manusia, bukan perjalanan semu yang tiada arti.

Oleh karenanya, menjadi tidak boleh terlupakan oleh Kita sebagai pemimpin dari perjalanan singkat di Bumi Tuhan ini, adalah bagaimana Kita mampu memperbaharui semangat untuk senantiasa terus menggapai apa yang telah Kita mimpikan. Semangat yang harus Kita yakini mampu membawa Kita pada titik terjauh dari langkah pertama Kita memulai perjalanan ini. Semangat yang mampu membangkitkan kembali energi yang kiranya telah terkuras oleh pergulatan Kita dengan waktu. Semangat yang membuat Kita selalu yakin, bahwa tidak ada yang tidak mungkin menghalangi langkah Kita untuk sampai pada tujuan Kita. “No mountain too high, when there is a will, no river too wide believes there is a way. If there is a will, there is a way.” Dan tak ada yang tak mungkin untuk Kita gapai selagi Kita masih punya semangat untuk menggapainya. Maka alirkanlah selalu semangat itu dalam aliran darah Kita, genggam dan rengkuh dalam jemari, dan saat itu juga yakinlah tidak akan ada yang mampu untuk menghentikan langkah Kita untuk melangkah menuju apa yang Kita inginkan.

Menjaga Niat dalam Kebaikan

Memahami, bahwasanya setiap dari Kita pasti mempunyai caranya masing-masing untuk menuju pada suatu tujuan, misi kehidupan di Bumi ini. Mungkin di antara Kita ada yang harus merangkak, ada yang berjalan tetapi tertatih, atau ada yang berlari, dan semua Kita sepakati sebagai sebuah perjalanan karena adanya sebuah pergerakan, yang membedakannya hanyalah jarak yang mungkin ditempuh. Dan dalam masanya, perjalanan tersebut kemudian mengalami pasang surut. Seperti dijelaskan sebelumnya, bahwa perjalanan yang tak tahu di mana harus berhenti ini selalu menantang Kita untuk bersiap sedia menghadapi segala aral yang melintang. Pastinya, membutuhkan effort dan semangat lebih untuk selalu tampil dengan maksimal dalam setiap langkah perjalanan ini. Yang kemudian menjadi penting untuk Kita pahami bahwa tidak mudah untuk menjaga perbekalan itu (baca: effort dan semangat) selalu pada titik tertinggi dalam kehidupan Kita. Maka, yang selanjutnya harus Kita lakukan adalah menjaga niat perjalanan ini agar selalu dalam kebaikan demi tergapainya misi kehidupan di Bumi Tuhan ini.

Buanglah segala kesusahan yang menimpamu dengan kesabaran yang teguh dan keyakinan yang baik. Barang siapa membaikkan niatnya maka Alloh akan menjadikan baik lahiriahnya” (Ali bin Abi Thalib). Percaya bahwa di balik semua aral yang merintangi perjalanan ini, Tuhan selalu menyiapkan hadiah terbaik atas jerih payah Kita. Maka semestinya, Kita harus selalu menjaga niatan baik dalam setiap langkah perjalanan di Bumi Tuhan ini. Dan bahwasanya niatan baik itu akan membawa Kita pada arah perjalanan yang tepat karena Tuhan selalu mengikuti persangkaan hamba-Nya. Segala kesusahan yang Kita alami sebaiknya dibuang dalam diri, anggaplah hal tersebut sebagai bagian yang hanya mampu membuat Kita menjadi manusia yang kuat. Manusia yang selalu bermanfaaat dalam setiap langkah perjalanan dan menjadikanperjalanan ini semata-mata hanyalah untuk melakukan yang terbaik atas kepercayaan yang telah diberikan Tuhan.

Niat yang baik niscaya akan mampu membawa Kita pada tahapan yang ikhlas dalam menempuh lika-liku perjalanan ini. Niat yang senantiasa memberikan Kita keyakinan bahwa tidak ada yang mampu menggoyahkan Kita dalam menempuh perjalanan yang telah Kita pilih. Niat yang memperkokoh langkah kaki ini untuk tetap berada pada jalan baik yang membantu Kita untuk sampai pada tujuan yang Kita impikan dan menjadikan setiap perjalanan ini menjadi bermanfaat dan penuh arti.

Tuhan dalam perjalanan ini

Sebaik-baik manusia adalah manusia yang bermanfaat bagi orang lain. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa setiap perjalanan yang Kita lalui sebaiknya dilandasi dengan niatan baik untuk dapat menebarkan manfaat selain sebagai cara Kita untuk mencapai tujuan. Sudah seharusnya Kita menjadikan setiap langkah ini sebagai perjalanan yang mampu mendekatkan Kita pada Tuhan. Menjadikan perjalanan ini sebagai perjalanan yang selalu menghadirkan Tuhan dalam setiap langkah. Yang tentunya menjadikan Kita manusia yang arif dan ”down to earth” karena membuat Kita merasa selalu diawasi oleh Tuhan.

Pengawasan Tuhan menjadikan Kita selalu terjaga dalam niatan baik dan tidak mudah goyah atau patah semangat dalam melakukan perjalanan tersebut. Dan meyakini bahwa menghadirkan Tuhan dalam perjalanan Kita sebagai pertolongan yang begitu dekat dan mampu membawa Kita keluar dari masa-masa sulit. Karena percayalah, tiada satu kemudahanmelainkan jika Tuhan menjadikannya mudah dan dengan kehendak Tuhan pulalah sesuatu yang sulit pun menjadi mudah.

Selasa, 01 Juni 2010

Senyum

SENYUM

oleh Prof.Nugroho Notosusanto


Seorang pemuda menyusuri jalan setapak di lereng bukit dengan diantar oleh bocah berpecut berusia kira-kira lima tahun. Didadanya tergantung sebuah potret merk ‘Seica’ yang sebentar-sebentar digunakannya untuk mengabadikan pemandangan disekitarnya. Bukit itu sangat dikenalnya karena lima tahun yang lalu beberapa hari ia melewatinya. Saat itu yang tergantung didadanya adalah sebuah teropong infanteri. Bukit itu pun tidak berubah, hanya tegalan dan makam di situ. Yang mengalami perubahan besar adalah jiwa penduduknya.


Di puncak bukit di antara pohon kelapa gading terdapat sebuah makam pahlawan kebanggaan penduduk. Pemuda itu berjongkok di muka makam, menaburkan bunga dan mengheningkan cipta. Perlahan-lahan kenangan lama muncul dipikirannya. Lima tahun silam, Bukit Derkuku dalam suasana yang sama, harinya juga persis seperti itu. Mereka sudah mau pulang setelah patroli sejak pagi, tetapi regu mereka berbentur pada peleton KL yang juga sedang patroli.


Setelah sepuluh menit yang rasanya seperti sepuluh jam, mereka dapat perintah mundur ke pangkalan, di sana mereka baru menyadari bahwa Djono tidak ada di antara mereka. Mereka berusaha mencari Djono karena khawatir tersesat. Ternyata, mereka menemukan Djono dalam keadaan gugur. Mereka heran karena dalam keadaan seperti itu, djono tampak tersenyum. Tidak seperti umumnya orang yang gugur pasca kesakitan di medan perang. Di sakunya terdapat foto Tati adik tunggalnya yang berusia tiga tahun.


Pemuda itu menyandarkan kepalanya pada nisan Djono sahabat dekatnya dan berkatalah Djono dari makamnya. Ketika perintah mundur diberikan Djono menuruni Bukit Derkuku, tetapi Ia tertinggal karena kakinya sakit. Dia berusaha untuk berlari sekuatnya, Ia baru menyadari tembakan Belanda membelai telinganya, kemudian ledakan granat menyusul menyukai tubuhnya.


Dalam keadaan luka parah itu, Djono berusaha mencapai atas bukit, kakina yang ingin lepas diseretnya, membayangkan ingin mencapai sorga dan sorga itu seperti Bukit Kuwuk yang harus dicapainya. Kini Ia berada di Jembatan Shirotol Mustakim, yang terentang di atas sungai bernyala-nyala. Tubuhnya bersimbah darah, perutnya lecet kena tanah, rasa sakit menguasainya, dia terus merangkak, di kepalanya terdengar suara orkes memainkan lagu Indonesia Raya dan melihat Merah Putih di puncak bukit.


Dia berhenti merangkak, kepalanya seolah mau lepas dari tubuhnya, ingatannya ke rumah. Baru saja ia merayakan hari ulang tahunnya yang ke-18. Terbayang wajah Tati adiknya yang selalu bertanya kapan dia bersekolah, dan Ibu selalu menjawab kalau Belanda sudah pergi. Djono merangkak terus, Ia harus mengusir Belanda untuk Tati. Ia lupa rasa sakitnya, di bukit itu Tati berdiri berseragam putih dengan pita merah di rambutnya, Ia menanti kegirangan. Ditangannya, sebuah batu bertulis ‘Tati telah bersekolah’. Kemudian, Djono tertidur dengan senyum lega. Pemuda itu berdiri, berkata pada makam: “Engkau boleh tersenyum lega, Djon! Sekarang Tati sudah kelas tiga.”