Minggu, 22 November 2009

Perlakuan PPN Atas Transaksi Sale and Lease Back

Perlakuan PPN Atas Transaksi Sale and Lease Back


Latar Belakang
Sewa-guna-usaha atau leasing adalah kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan barang-barang modal untuk digunakan oleh perusahaan untuk suatu jangka waktu tertentu berdasarkan pembayaran-pembayaran secara berkala disertai dengan hak pilih (Optie) bagi perusahaan tersebut untuk membeli barang-barang modal yang bersangkutan atau memperpanjang jangka waktu leasing berdasarkan nilai sisa uang yang telah disepakati bersama. Dengan melakukan leasing perusahaan dapat memperoleh barang modal dengan jalan sewa beli untuk dapat langsung digunakan berproduksi, yang dapat diangsur setiap bulan, triwulan atau enam bulan sekali kepada pihak lessor.
Di Indonesia leasing baru dikenal melalui surat keputusan bersama Menteri Keuangan dan Menteri Perdagangan Republik Indonesia dengan No.KEP-122/MK/IV/2/1974, No.32/M/SK/2/1974, dan No.30/Kpb/I/1974 tanggal 7 Februari 1974 tentang perizinan usaha leasing. Pengertian leasing menurut peraturan di atas adalah: ”Setiap kegiatan pembiayaan perusahaan dalam bentuk penyediaan barang-barang modal untuk digunakan oleh suatu perusahaan untuk jangka waktu tertentu, berdasarkan pembayaran-pembayaran secara berkala disertai dengan hak pilih bagi perusahaan tersebut untuk membeli barang-barang modal yang bersangkutan atau memperpanjang jangka waktu leasing berdasarkan nilai sisa uang telah disepakati bersama”.


Dasar Hukum
1. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2000 tentang perubahan kedua atas undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah
2. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2002 tanggal 13 Mei 2002
3. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 1169/KMK.01/Tanggal 27 November 1991
4. Surat Edaran Direktorat Jenderal Pajak Nomor SE-813/PJ.53/2005 tanggal 5 September tentang Perlakuan PPN atas Transaksi Sale and Lease back
Terkait dengan masalah sale and lease back, sampai saat ini memang belum ada peraturan pajak minimal setingkat Keputusan Dirjen Pajak atau Surat Edaran Dirjen Pajak yang secara eksplisit mengatur mengenai perlakuan pajak terhadap transaksi tersebut. Namun dalam praktik, umumnya merujuk pada Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor SE-813/PJ.53/2005.

Analisa Perlakuan PPN Atas Transaksi Sale and Lease Back
Sehubungan dengan kasus berikut: PT ALADIN merupakan sebuah perusahaan yang bergerak di bidang usaha jasa penyewaan peralatan konstruksi. Pada bulan April 2009, PT ALADIN melakukan pembelian peralatan baru untuk keperluan ekspansi usaha senilai Rp 50 Miliar melalui pembiayaan pinjaman/utang. Karena PT ALADIN harus segera mengembalikan pinjaman/utangnya, atas peralatan baru tersebut PT ALADIN mengadakan perjanjian sale and lease back dengan hak opsi dengan pihak perusahaan leasing, PT CIPARIGI FINANCE. Perjanjian Sewa Guna Usaha (Sale and Lease Back) Nomor 140 tanggal 15 April 2009 antara PT CIPARIGI FINANCE dengan PT ALADIN antara lain menyepakati:
a. PT CIPARIGI FINANCE membeli barang modal sebagaimana tercantum dalam Pasal 2.1 dari PT ALADIN, dan PT ALADIN dengan ini mengikat diri untuk secara serta-merta menyewa guna usaha kembali barang modal tersebut (Pasal 1);
b. PT ALADIN mengakui bahwa PT CIPARIGI FINANCE adalah pembeli dan oleh karena itu, terhitung sejak tanggal pencairan fasilitas, PT CIPARIGI FINANCE adalah satu-satunya pemilik barang modal (yang di-sale and lease back-kan) (Pasal 6).
Pertanyaan permasalahan yang kemudian timbul adalah apakah atas transaksi sale and lease back yang dilakukan oleh PT ALADIN terutang PPN?
1. pembelian peralatan baru untuk keperluan ekspansi usaha senilai Rp 50 Miliar melalui pembiayaan pinjaman/utang,
2. karena PT ALADIN harus segera mengembalikan pinjaman/utangnya, PT ALADIN menjual peralatan barunya ke perusahaan leasing PT CIPARIGI FINANCE
3. PT ALADIN melakukan perjanjian sale and lease back dengan PT CIPARIGI, PT CIPARIGI FINANCE adalah satu-satunya pemilik barang modal
Dengan merujuk pada Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor SE-813/PJ.53/2005. Dalam kasus transaksi sale and lease back dengan hak opsi antara PT ALADIN dengan PT CIPARIGI FINANCE, penyerahan hak atas peralatan konstruksi (BKP) yang dijual oleh PT ALADIN kepada PT CIPARIGI FINANCE (transaksi sale) termasuk dalam pengertian penyerahan BKP, dan sepanjang Pajak Masukan atas perolehan alat berat tersebut oleh PT ALADIN dapat dikreditkan (Pasal 16D UU NO.18 Tahun 2000), maka atas transaksi tersebut dikenakan PPN. Dan penyerahan hak atas peralatan konstruksi yang telah menjadi milik PT CIPARIGI FINANCE kepada PT ALADIN (transaksi lease back dengan hak opsi) termasuk dalam pengertian penyerahan BKP yang terutang PPN, sedangkan penyerahan jasanya (jasa leasing dengan hak opsi) bukan merupakan yang dikenakan PPN.

Kesimpulan
Dalam transaksi di atas, lessee terlebih dahulu menjual barang modal yang sudah dimilikinya kepada lessor dan atas barang modal yang sama kemudian dilakukan kontrak sewa-guna-usaha antara lessee (pemilik semula) dengan lessor (pembeli barang modal tersebut). Dalam hal terjadi transaksi sale and lease back, harus diperlakukan sebagai 2 (dua) transaksi yang terpisah yaitu transaksi penjualan dan transaksi sewa-guna-usaha. Transaksi penjualan barang modal kepada lessor diperlakukan sebagai penarikan aktiva dari pemakaian oleh sebab biasa. Dengan demikian, Sale and Lease Back dengan hak opsi tidak terutang PPN sepanjang barang modal (aktiva tetap) yang bersangkutan tetap digunakan oleh lessee untuk kegiatan usaha yang menghasilkan penyerahan yang terutang PPN.

Sabtu, 21 November 2009

Laporan Akuntabilitas Kinerja Pemerintah (LAKIP)

Terselenggaranya good governance merupakan prasyarat utama untuk dapat mewujudkan aspirasi masyarakat dalam mencapai tujuan dan cita-citanya. Dalam rangka itu, diperlukan pengembangan dan penerapan sistem pertanggungjawaban yang tepat, jelas, dan nyata sehingga penyelenggaraan pemerintahan dapat dilakukan secara berdayaguna dan berhasilguna. Perlunya sistem pertanggungjawaban daerah atas segala proses tindakan-tindakan yang dibuat dalam rangka tata tertib menuju instrumen akuntabilitas daerah. Inilah bagian terpenting untuk ditata yang pada akhirnya menjadi instrumen good governance.

Sehubungan dengan hal tersebut, telah dilakukan berbagai upaya yaitu dengan ditetapkannya Tap.MPR RI No.XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme; Undang-undang No.28 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme; serta Inpres No.9 tahun 1998 tentang Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah. Selain itu, sesuai dengan Inpres No.7 Tahun 1999 disebutkan bahwa dalam rangka lebih meningkatkan pelaksanaan pemerintahan yang lebih berdaya guna, berhasil guna, bersih, dan bertanggung jawab, dipandang perlu adanya pelaporan akuntabilitas kinerja instansi pemerintah untuk mengetahui kemampuannya dalam pencapaian visi, misi, dan tujuan organisasi dalam pemerintahan daerah.

Pada tahun 2006 yang lalu pemerintah telah menetapkan Peraturan Pemerintah Nomor No 8 Tahun 2006 tentang Pelaporan Keuangan dan Kinerja Instansi Pemerintah sebagai upaya untuk melaksanakan ketentuan Pasal 55 ayat (5) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara yang turunannya masih kita tunggu sebagai pedoman untuk penyusunan Laporan Keuangan dan Kinerja Instansi Pemerintah yang muatannya tidak jauh berbeda dengan Inpres No 7 Tahun 1999 tersebut. Bahkan Penjelasan PP ini juga menyebutkan perlunya pengintegrasian sistem akuntabilitas instansi pemerintah dengan sistem perencanaan strategis, sistem penganggaran, dan sistem akuntansi pemerintahan.1

Dalam dunia birokrasi, akuntabilitas suatu instansi pemerintah itu merupakan perwujudan kewajiban instansi pemerintah untuk mempertanggungjawabkan keberhasilan atau kegagalan pelaksanaan misi instansi yang bersangkutan. Sejalan dengan hal itu, telah dikembangkan dan diterapkan sistem pertanggungjawaban yang tepat, jelas, terukur, dan legitimate dalam bentuk laporan akuntabilitas kinerja instansi pemerintah (LAKIP) yang bertujuan untuk meningkatkan pelaksanaan pemerintahan yang lebih berdaya guna, berhasilguna, bersih, dan bertanggungjawab; dan untuk lebih memantapkan pelaksanaan akuntabilitas kinerja instansi pemerintah sebagai wujud pertanggungjawaban dalam mencapai misi dan tujuan instansi pemerintah.

Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP) adalah dokumen pelaporan yang memberikan informasi mengenai kinerja yang telah dicapai yang diperhitungkan atas dasar Rencana Kinerja yg telah disusun sebelumnya. LAKIP merupakan wujud pertanggungjawaban terhadap keberhasilan dan kegagalan tingkat kinerja yang dicapai; yang harus disusun secara jujur, obyektif, akurat, dan transparan. Penanggungjawab penyusunan LAKIP adalah pejabat yang secara fungsional bertanggungjawab melakukan dukungan administratif di instansi masing-masing, namun dalam pelaksanaannya dapat membentuk Tim Kerja yang menyusun LAKIP. Prinsip-prinsip penyusunan LAKIP, yaitu :

a. Prinsip Lingkup Pertanggungjawaban. Isi laporan harus proporsional dengan lingkup kewenangan dan tanggungjawab masingmasing, dan memuat keberhasilan maupun kegagalan.

b. Prinsip Prioritas. Isi laporan adalah hal-hal yang penting dan relevan bagi pengambilan keputusan dan pertanggungjawaban instansi yang diperlukan dan upaya-upaya tindak lanjutnya.

c. Prinsip Manfaat, yaitu manfaat laporan harus lebih besar dari pada biaya penyusunannya, dan laporan harus mempunyai manfaat bagi peningkatan pencapaian kinerja. Selain itu, beberapa ciri laporan yang baik antara lain: relevan, tepat waktu, dapat dipercaya/diandalkan, mudah dimengerti (jelas dan cermat), dalam bentuk yang menarik (tegas dan konsisten, tidak kontradiktif antar bagian), berdaya banding tinggi (reliable), berdaya uji (verifiable), lengkap, netral, padat, dan mengikuti standar pelaporan yang ditetapkan.2

1 www.bappeda.kutaikartanegarakab.go.id/detail.php?cat=news&no125

2 www.skripsi-tesis.com/07/27/lakip-sebagai-ukuran-kinerja-instansi-pemerintah-pdf-doc.htm

Rabu, 18 November 2009

Pajak Daerah Pasca Pengesahan UU No.28 Tahun 2009: Potensi dan Tantangan

-->
Pajak Daerah Pasca Pengesahan UU No.28 Tahun 2009:
Potensi dan Tantangan

PENDAHULUAN
Berlakunya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, telah menyebabkan perubahan yang mendasar mengenai penyelenggaraan pemerintahan daerah berupa pengaturan hubungan Pusat dan Daerah, khususnya dalam bidang administrasi pemerintahan maupun dalam hubungan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah.
Dalam era otonomi daerah ini, daerah diberikan kewenangan yang lebih besar untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Hal ini berarti, idealnya pelaksanaan otonomi daerah harus mampu mengurangi ketergantungan terhadap pemerintah pusat, daerah menjadi lebih mandiri, yang salah satunya diindikasikan dengan meningkatnya kontribusi pendapatan asli daerah (PAD) dalam hal pembiayaan daerah.[1] Pemerintah Daerah diharapkan lebih mampu menggali sumber-sumber keuangan secara maksimal khususnya untuk memenuhi kebutuhan pembiayaan pemerintahan dan pembangunan di daerahnya melalui Pendapatan Asli Daerah (PAD). Tentu saja dalam koridor peraturan perundang-undangan yang berlaku, termasuk diantaranya adalah pajak daerah dan retribusi daerah yang menjadi unsur PAD yang utama.
Dalam rangka meningkatkan kemampuan keuangan daerah agar dapat melaksanakan otonomi khususnya yang berasal dari pajak daerah dan retribusi daerah, Pemerintah menetapkan berbagai kebijakan perpajakan daerah, diantaranya dengan menetapkan UU No.28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah sebagaimana telah diubah beberapa kali atas UU No.34 Tahun 2000 dan UU No.18 Tahun 1997. UU No.28 Tahun 2009 yang baru saja disahkan oleh DPR pada 18 Agustus 2009 lalu diharapkan dapat lebih mendorong peningkatan pelayanan kepada masyarakat dan kemandirian daerah. Dalam UU tersebut, pajak daerah dan retribusi daerah menjadi salah satu sumber pendapatan daerah yang penting guna membiayai pelaksanaan pemerintahan daerah sehingga terdapat perluasan objek pajak daerah dan retribusi daerah serta adanya pemberian diskresi (keleluasaan) dalam penerapan tarif. Kebijakan pajak daerah dan retribusi daerah untuk kemudian dilaksanakan berdasarkan prinsip demokrasi, pemerataan dan keadilan, peran serta masyarakat, dan akuntabilitas dengan memperhatikan potensi daerah. Lantas, apakah pajak daerah pasca pengesahan UU No.28 Tahun 2009 secara nyata berpotensi meningkatkan kemandirian daerah bila dibandingkan dengan UU sebelumnya? Lalu, apa saja tantangan dalam penerapannya?

PEMBAHASAN
Pajak daerah merupakan salah satu bentuk peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan otonomi daerah. Otonomi daerah ditujukan untuk meningkatkan kemandirian daerah yang dindikasikan dengan meningkatnya pendapatan sendiri (PAD). Pemerintah cenderung menggali potensi penerimaan pajak untuk meningkatkan penerimaan daerahnya (Shamsub dan Akoto, 2004). Upaya Pajak (Tax Effort) adalah upaya peningkatan pajak daerah yang diukur melalui perbandingan antara hasil penerimaan (realisasi) sumber-sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) dengan potensi sumber-sumber Pendapatan Asli Daerah.[2] Tax effort menunjukkan upaya pemerintah untuk mendapatkan pendapatan bagi daerahnya dengan mempertimbangkan potensi yang dimiliki. Potensi dalam pengertian ini adalah seberapa besar target yang ditetapkan pemerintah daerah dapat dicapai dalam tahun anggaran daerah tersebut.
Upaya pajak merupakan aspek relevan bila dikaitkan dengan tujuan otonomi daerah, yaitu peningkatan kemandirian daerah. Kemandirian daerah seringkali diukur dengan menggunakan Pendapatan Asli Daerah (PAD), dimana pajak daerah dan retribusi daerah menjadi komponen PAD yang memberikan kontribusi yang sangat besar. Pelaksanaan otonomi daerah direspon secara agresif oleh pemerintah daerah dengan menerbitkan perda-perda terkait dengan pajak maupun retribusi daerah. Penelitian Stine (2003) menunjukkan adanya pertambahan perda pajak/retribusi yang signifikan dibanding sebelum otonomi daerah. Fakta ini menunjukkan adanya respon yang sangat agresif untuk segera meningkatkan penerimaan sendiri, khususnya pajak maupun retribusi daerah.
Dalam kaitannya dengan pelaksanaan otonomi daerah, pemberian kewenangan untuk mengadakan pemungutan pajak selain mempertimbangkan kriteria-kriteria perpajakan yang berlaku secara umum, sepantasnya juga mempertimbangkan ketepatan suatu pajak sebagai pajak daerah. Pajak daerah yang baik sebagaimana dikemukakan oleh Richard M. Bird[3] memiliki kriteria, yaitu: (1) that easy to administer locally, (2) that are imposed solely (or mainly) on local resident, (3) that do not raise problem of ‘harmonization’ or ‘competition’ between sub national government or between sub national and national government.
Selain itu, Pemerintah Daerah dalam melakukan pungutan pajak harus tetap menempatkan pajak sesuai dengan fungsinya. Adapun fungsi pajak antara lain: fungsi budgeter dan fungsi regulator. Fungsi budgeter yaitu bahwa pajak sebagai alat untuk mengisi kas negara yang digunakan untuk membiayai kegiatan pemerintahan dan pembangunan. Sedangkan, fungsi regulator yaitu bahwa pajak dipergunakan sebagai alat mengatur untuk mencapai tujuan, misalnya: pajak ekspor dimaksudkan untuk mengekang pertumbuhan ekspor komoditi tertentu dalam rangka menghindari kelangkaan produk tersebut di dalam negeri.
Mengingat begitu pentingnya peran Pajak Daerah dalam meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD), penguatan local taxing power kemudian dilakukan dengan berbagai cara, antara lain: menambah jenis pajak daerah dan retribusi daerah, memperluas basis pajak daerah dan retribusi daerah yang sudah ada, mengalihkan beberapa jenis pajak pusat menjadi pajak daerah, dan memberikan diskresi (keleluasaan) kepada daerah untuk menetapkan tarif. Disamping itu, tarif maksimum beberapa jenis pajak daerah juga dinaikkan untuk memberikan ruang gerak yang lebih fleksibel bagi daerah dalam melakukan pemungutan pajak daerah sesuai kebijakan dan kondisi daerahnya.
Dalam UU No.34 Tahun 2000 dan PP pendukungnya, yaitu PP No.65 Tahun 2001 tentang Pajak Daerah dijelaskan mengenai perbedaan antara jenis pajak daerah yang dipungut oleh Propinsi dan jenis pajak yang dipungut oleh Kabupaten/Kota. Pajak Propinsi ditetapkan sebanyak 4 (empat) jenis pajak, yaitu : (i) Pajak Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air (PKB & KAA); (ii) Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air (BBNKB & KAA); (iii) Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBBKB); (iv) Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan (P3ABT & AP). Jenis Pajak Propinsi bersifat limitatif yang berarti Propinsi tidak dapat memungut pajak lain selain yang telah ditetapkan, dan hanya dapat menambah jenis retribusi lainnya sesuai dengan kriteria yang ditetapkan dalam UU.
Sementara itu, Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota diberi kewenangan untuk memungut 7 (tujuh) jenis pajak, yaitu : (i) Pajak Hotel; (ii) Pajak Restoran; (iii) Pajak Hiburan; (iv) Pajak Reklame; (v) Pajak Penerangan Jalan; (vi) Pajak Pengambilan Bahan Galian Golongan C; (vii) Pajak Parkir. Jenis pajak Kabupaten/Kota tidak bersifat limitatif, artinya Kabupaten/Kota diberi peluang untuk menggali potensi sumber-sumber keuangannya selain yang ditetapkan secara eksplisit dalam UU No.34 Tahun 2000, dengan menetapkan sendiri jenis pajak yang bersifat spesifik dengan memperhatikan kriteria yang ditetapkan dalam UU tersebut. Kriteria yang dimaksud adalah:
a. Bersifat pajak dan bukan retribusi;
b. Objek pajak terletak atau terdapat di wilayah Daerah Kabupaten/Kota yang bersangkutan dan mempunyai mobilitas yang cukup rendah serta hanya melayani masyarakat di wilayah Daerah Kabupaten/Kota yang bersangkutan;
c. Objek dan dasar pengenaan pajak tidak bertentangan dengan kepentingan umum;
d. Objek pajak bukan merupakan objek pajak Propinsi dan/atau objek pajakPusat;
e. Potensinya memadai;
f. Tidak memberikan dampak ekonomi yang negatif;
g. Memperhatikan aspek keadilan dan kemampuan masyarakat; dan
h. Menjaga kelestarian lingkungan.
Besarnya tarif yang berlaku definitif untuk Pajak Kabupaten/Kota ditetapkan dengan Peraturan Daerah, namun tidak boleh lebih tinggi dari tarif maksimum yang telah ditentukan dalam UU tersebut. Dengan adanya pemisahan jenis pajak yang dipungut oleh Propinsi dan yang dipungut oleh Kabupaten/Kota diharapkan tidak adanya pengenaan pajak berganda.
Pasca pembaharuan UU No.34 Tahun 2000 menjadi UU No.28 Tahun 2009, Pajak Propinsi kemudian ditetapkan sebanyak 5 (lima) jenis pajak, yaitu : (i) Pajak Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air (PKB & KAA); (ii) Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air (BBNKB & KAA); (iii) Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBBKB); (iv) Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan (P3ABT & AP); (v) Pajak Rokok. Pajak Rokok ditetapkan dalam undang-undang ini sebagai pajak provinsi yang menjadi penyempurna kebijakan dan peraturan pajak daerah dalam bentuk perluasaan objek pajak daerah. Hasil penerimaan Pajak Rokok tersebut sebesar 70% dibagihasilkan kepada kabupaten/kota di provinsi yang bersangkutan. Walaupun pajak ini merupakan jenis pajak baru, namun diperkirakan pengenaan Pajak Rokok tidak terlalu membebani masyarakat karena rokok bukan merupakan barang kebutuhan pokok dan bahkan pada tingkat tertentu konsumsinya perlu dikendalikan. Di pihak lain, pengenaan pajak ini tidak terlalu berdampak pada industri rokok karena beban Pajak Rokok akan disesuaikan dengan kebijakan strategis di bidang cukai nasional dan besarannya disesuaikan dengan daya pikul industri rokok mengikuti natural growth (pertumbuhan alamiah) dari industri tersebut. Selain itu, penerimaan Pajak Rokok dialokasikan minimal 50% untuk mendanai pelayanan kesehatan dan penegakan hukum terkait dengan rokok ilegal.[4]
Sementara itu, jenis pajak Kabupaten/Kota ditetapkan dengan penambahan 3 (tiga) jenis pajak Kabupaten/Kota yang baru, yaitu PBB Pedesaan dan Perkotaan, Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), dan Pajak Sarang Burung Walet. Jenis pajak yang selama ini dipungut oleh Pusat, yaitu PBB Perdesaan dan Perkotaan dan BPHTB memang hampir seluruh penerimaan PBB dan BPHTB telah diserahkan kepada daerah. Oleh karenanya, pengalihan atas kedua jenis pajak ini menjadi pajak daerah tidak akan banyak berdampak terhadap tambahan beban masyarakat dan relatif bersifat netral terhadap fiskal nasional. Sedangkan Pajak Sarang Burung Walet merupakan pajak baru yang dapat dipungut oleh beberapa daerah apabila memiliki potensi pajak yang memadai.
Walaupun demikian, pemberlakuan pemungutan pajak baru tersebut akan dilakukan secara bertahap. BPHTB akan dilaksanakan sepenuhnya oleh daerah pada tanggal 1 Januari 2011, sedangkan Pajak Rokok dan PBB Perdesaan dan Perkotaan akan dilaksanakan sepenuhnya oleh daerah pada tanggal 1 Januari 2014. Selama masa peralihan tersebut, Pemerintah memberikan berbagai fasilitasi yang diperlukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
UU No.28 Tahun 2009 ini paling tidak diharapkan memperbaiki 3 (tiga) hal, yaitu: penyempurnaan sistem pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah, pemberian kewenangan yang lebih besar kepada daerah di bidang perpajakan (local taxing empowerment), dan peningkatan efektifitas pengawasan. [5] Ketiga hal tersebut diharapkan dapat berjalan secara bersamaan, sehingga upaya peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dilakukan dengan tetap sesuai dan konsisten terhadap prinsip-prinsip perpajakan yang baik dan tepat, dan diperkenankan sanksi apabila terjadi pelanggaran. Langkah-langkah penyempurnaan kebijakan dan peraturan pajak daerah sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya dilakukan dengan menambah jenis pajak baru, yaitu Pajak Rokok, Pajak Sarang Burung Walet, Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) Perdesaan dan Perkotaan, serta Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB). Dengan penambahan 4 jenis pajak ini, secara keseluruhan terdapat 16 jenis
pajak daerah, yaitu 5 jenis pajak provinsi dan 11 jenis pajak kabupaten/kota.
UU No.28 Tahun 2009 selain menambah jenis pajak daerah, juga dikembangkan dalam perluasan basis pajak, antara lain: kendaraan pemerintah termasuk dalam objek Pajak Kendaraan Bermotor dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor; seluruh pelayanan persewaan di hotel menjadi objek Pajak Hotel; dan katering/jasa boga termasuk dalam objek Pajak Restoran. Pajak Hiburan yang tergolong mewah, tarif pajaknya dapat ditetapkan lebih tinggi, namun tidak lebih dari 75%. Tarif Pajak Parkir yang semula 20% dinaikkan menjadi 30% dan tarif Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan (sebelumnya Pajak Pengambilan Bahan Galian Golongan C) dinaikkan menjadi 25% dari yang sebelumnya 20%. Kenaikan tarif pajak maksimun juga dilakukan terhadap beberapa jenis pajak provinsi, yaitu Pajak Kendaraan Bermotor, Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor, dan Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor yang sebelumnya masing-masing 5%, 10%, dan 5% diubah menjadi masing-masing 10%, 20% dan 10%.
Jika ditilik kembali, UU No.28 Tahun 2009 memang memberikan kewenangan yang besar kepada daerah untuk memungut sendiri pajaknya dengan penambahan beberapa jenis pajak daerah baru serta perluasan basis pajak daerah. Bila dilihat dari sisi otonomi fiskal peraturan ini sama sekali tidak mempunyai makna apabila tidak disertai dengan kewenangan dalam penetapan tarifnya. Daerah propinsi yang sebelumnya sama sekali tidak memiliki diskresi (keleluasaan) dalam penetapan tarif, dalam UU ini diberikan kewenangan untuk menetapkan tarif pajak daerah dengan batasan tarif minimum dan maksimum.
Pemberian kewenangan dalam penetapan tarif tersebut akan mempermudah daerah mengaitkan pengenaan tarif dengan tingkat pelayanan (the benefit tax-link). Daerah dapat mendesain kebijakan tarif pajak untuk mencapai tujuan tertentu, seperti mengenakan tarif pajak yang tinggi untuk meningkatkan kualitas pelayanan, atau menurunkan tarif pajak untuk menarik investasi ke daerahnya. Melalui penguatan perpajakan daerah sebagaimana diuraikan di atas, struktur penerimaan daerah akan berubah dengan peningkatan peranan PAD dalam APBD secara signifikan. Diperkirakan pada tahun 2011 (tahun pertama pelaksanaan RUU ini secara efektif) peranan PAD terhadap APBD provinsi meningkat menjadi 63% dari semula 50% dalam tahun 2009, sedangkan peranan PAD kabupaten/kota akan meningkat menjadi 10% dari semula sebesar 7% dalam tahun 2009. Secara nasional peranan PAD terhadap total APBD meningkat dari 19% menjadi 24%. Kondisi tersebut akan semakin baik pada tahun 2014, dengan asumsi semua daerah telah melaksanakan pemungutan pajak dan retribusi dengan menerapkan tarif maksimum yang ditetapkan sesuai ketentuan UU ini. Peranan PAD terhadap APBD pada tahun 2014 diperkirakan akan meningkat menjadi 68% untuk provinsi dan 15% untuk kabupaten/kota. Secara nasional, peranan PAD terhadap APBD tahun 2014 diperkirakan mencapai 29% dari yang semula hanya 19%.[6]
Selain itu, penambahan pendapatan daerah tersebut sepatutnya pula harus diikuti dengan peningkatan dan perbaikan good governance dan clean government, sehingga penggunaan pajak daerah yang dipungut benar-benar bermanfaat bagi pembayar pajak dan seluruh lapisan masyarakat. Dalam UU ini, penerimaan beberapa jenis pajak daerah di earmarkarmarking” ini daerah dipacu untuk secara bertahap dan terus menerus melakukan perbaikan (sustainable development) kualitas pelayanan publik di daerahnya. untuk mendanai pengeluaran yang berkaitan dengan pajak yang dipungut. Sebagai contoh, hasil penerimaan Pajak Kendaraan Bermotor paling sedikit 10% dialokasikan untuk mendanai pembangunan dan pemeliharaan jalan serta peningkatan sarana transportasi umum. Melalui kebijakan ”e
Namun, upaya optimalisasi sumber-sumber PAD lewat cara intensifikasi dan ekstensifikasi subyek dan obyek pendapatan mengalami tidak luput dari tantangan-tangan dalam penerapannya. Dalam jangka pendek, intensifikasi terhadap obyek atau sumber pendapatan daerah yang seyogyanya dilakukan tanpa harus melakukan perluasan sumber atau obyek pendapatan baru yang memerlukan studi, proses dan waktu yang panjang. Dukungan teknologi informasi secara terpadu guna mengintensifkan pajak menjadi mutlak diperlukan karena sistem pemungutan pajak yang dilaksanakan selama ini cenderung tidak optimal. Masalah ini tercermin pada sistem dan prosedur pemungutan yang masih konvensional dan masih banyaknya sistem berjalan secara parsial, sehingga besar kemungkinan informasi yang disampaikan tidak konsisten, versi data yang berbeda dan data tidak up-to-date. Permasalahan pada sistem pemungutan pajak cukup banyak, misalnya: baik dalam hal data wajib pajak atau retribusi, penetapan jumlah pajak, jumlah tagihan pajak dan target pemenuhan pajak yang tidak optimal.[7]
Penerapan UU ini harus sejalan pula dengan penguatan proses pemungutan. Upaya yang dapat dilakukan dalam memperkuat proses pemungutan, yaitu antara lain dengan mempercepat penyusunan Perda, mengubah tarif, dan peningkatan SDM. Selain itu, diperlukan pula sistem pengawasan yang mampu mengontrol proses pemungutan maupun alokasi-alokasi dari penerimaan pajak daerah dalam pembiayaan belanja daerah. Hal ini dapat ditingkatkan yaitu antara lain dengan melakukan pemeriksaan secara dadakan dan berkala, memperbaiki proses pengawasan, menerapkan sanksi terhadap penunggak pajak dan sanksi terhadap pihak fiskus, serta meningkatkan pembayaran pajak dan pelayanan yang diberikan oleh daerah.
Kemudian, daerah juga diharapkan mampu Meningkatkan efisiensi administrasi dan menekan biaya pemungutan pajak daerah. Tindakan yang dapat dilakukan oleh daerah yaitu antara lain dengan memperbaiki prosedur administrasi pajak melalui penyederhanaan administrasi pajak, meningkatkan efisiensi pemungutan dari setiap jenis pemungutan. Selanjutnya, daerah harus meningkatkan kapasitas penerimaan melalui perencanaan yang lebih baik. Hal ini dapat dilakukan dengan meningkatkan koordinasi dengan instansi terkait di daerah.

PENUTUP
Pajak daerah merupakan salah satu bentuk peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan otonomi daerah. Penyelenggaraan otonomi daerah akan dapat dilaksanakan dengan baik apabila didukung dengan sumber-sumber pembiayaan yang memadai. Potensi ekonomi daerah sangat menentukan dalam upaya untuk meningkatkan kemampuan keuangan daerah bagi penyelenggaraan rumah tangganya. Pajak daerah merupakan sumber pendapatan daerah yang penting untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah. Berkaitan dengan hal tersebut, optimalisasi sumber-sumber PAD perlu dilakukan untuk meningkatkan kemampuan keuangan daerah. Oleh karena itulah, intensifikasi dan ekstensifikasi subyek dan obyek pendapatan daerah menjadi sangat diperlukan.
Berbeda dengan UU sebelumnya (UU No.34 Tahun 2000), UU No.28 Tahun 2009 memberikan kewenangan dan keleluasaan besar bagi pemerintah daerah untuk mengoptimalkan pendapatan asli daerahnya melalui penambahan beberapa jenis pajak daerah yang baru. Namun demikian, UU ini juga tidak luput dari masalah penggalian sumber-sumber pajak daerah dan retribusi daerah yang belum memberikan kontribusi yang signifikan terhadap penerimaan daerah secara keseluruhan. Sebagai contoh, terkait dengan pengenaan pajak rokok, bagi daerah sekelas DKI Jakarta yang penerimaan pajak daerahnya, dalam hal ini pajak reklame, yang nilainya jauh signifikan, pemungutan pajak rokok menjadi menjadi kurang signifikan dalam potensinya meningkatkan pendapatan asli daerah. Memperhatikan kondisi sosial, ekonomi, dan politik yang kurang menguntungkan saat ini, disarankan agar pengadaan pajak daerah perlu dipertimbangkan secara hati-hati sehingga tidak menimbulkan gejolak di masyarakat yang pada gilirannya akan mendistorsi kegiatan perekonomian daerah yang bersangkutan. Penciptaan suatu jenis pajak selain mempertimbangkan kriteria-kriteria perpajakan yang berlaku secara umum juga perlu mempertimbangkan ketepatan suatu jenis pajak sebagai pajak daerah, karena pajak daerah yang baik akan mendorong peningkatan pelayanan publik yang pada gilirannya akan meningkatkan kegiatan perekonomian daerah yang bersangkutan.

DAFTAR PUSTAKA
Adi, Priyo Hari. 2005. Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Pertumbuhan Ekonomi. Jurnal Kritis. Universitas Kristen Satya Wacana. Salatiga
______________. 2008. Relevansi Transfer Pemerintah Pusat Dengan Upaya Pajak Daerah (Studi pada Pemerintah Kabupaten dan Kota Se Jawa. Jurnal Kritis disampaikan pada The 2nd National Conference 2008. Universitas Kristen Satya Wacana. Salatiga
Bird, Richard M. “Subnational Revenues: Realities and Prospect”. Paper yang disampaikan pada Intergovernmental Fiscal Relations and Local Financial Management yang diselenggarakan oleh The World Bank Institute tanggal 17-21 April 2000 di Almaty, Kazakhstan. Almaty, Kazakhstan: World Bank, 2000b.
Pendapat akhir pemerintah terhadap Rancangan Undang-Undang tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang disampaikan oleh Menteri Keuangan, Sri Mulyani, pada rapat paripurna Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, Jumat, 28 agustus 2009
Peraturan pelaksanaan dari UU No.22 Tahun 1999 dan UU No.25 Tahun 1999
Republik Indonesia, Undang-undang No.22 Tahun 1999 Tentang Pemerintah Daerah”.
Republik Indonesia, Undang-undang No.33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pusar dan Daerah.
Republik Indonesia, Undang-undang No.34 Tahun 2000 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.




[1] Priyo Hari Adi. 2005. Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Pertumbuhan Ekonomi. Jurnal Kritis. Universitas Kristen Satya Wacana. Salatiga
[2] Priyo Hari Adi. 2008. Relevansi Transfer Pemerintah Pusat Dengan Upaya Pajak Daerah (Studi pada Pemerintah Kabupaten dan Kota Se Jawa. Jurnal Kritis disampaikan pada The 2nd National Conference 2008. Universitas Kristen Satya Wacana. Salatiga
[3] Richard M. Bird. “Subnational Revenues: Realities and Prospect”. Paper yang disampaikan pada Intergovernmental Fiscal Relations and Local Financial Management: World Bank, 2000b.
[4] Pendapat akhir pemerintah terhadap Rancangan Undang-Undang tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang disampaikan oleh Menteri Keuangan, Sri Mulyani, pada rapat paripurna Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, Jumat, 28 agustus 2009
[5] Ibid,.
[6] Ibid,.
[7] Machfud Sidik. Optimalisasi Pajak daerah dan retribusi daerah Dalam rangka Meningkatkan Kemampuan Keuangan Daerah. Disampaikan dalam Acara Orasi Ilmiah dengan Tema “Strategi Meningkatkan Kemampuan Keuangan daerah Melalui Penggalian Potensi Daerah Dalam Rangka Otonomi Daerah” Acara Wisuda XXI STIA LAN Bandung Tahun Akademik 2001/2002 - di Bandung, 10 April 2002.

Selasa, 17 November 2009

Merekonstruksi Kembali Sistem Pendidikan Nasional

Mendambakan Pendidikan Indonesia yang Membebaskan


“The object of education is to prepare the young to educate themselves throughout their lives” (Robert M. Hutchins)


Pendahuluan

Dalam sejarah perkembangan pendidikan di dunia, peningkatan kualitas pendidikan selalu menjadi sorotan utama dalam pembuatan kebijakan pendidikan baik di negara-negara maju maupun negara berkembang. Pendidikan, pada mulanya dianggap sebagai hak-hak dasar manusia atau sebagai suatu kebutuhan dasar manusia, sehingga banyak negara di dunia menganggap pendidikan merupakan salah satu "public goods" atau objek dalam pelayanan umum pemerintah untuk rakyatnya. Namun sejalan dengan bergulirnya waktu, pendidikan kini diketahui sebagai suatu investasi sumber daya manusia (SDM) yang jauh lebih menguntungkan bagi kemajuan suatu negara dibandingkan dengan investasi fisik.

Semakin dipahaminya pendidikan sebagai "means of investment” atau suatu alat investasi sumber daya manusia memberikan konsekuensi logis bahwa pendidikan selain harus sesuai dengan kebutuhan pembangunan juga harus selalu mengedepankan mutu demi tercapainya keluaran (output) yang mampu mendukung proses pembangunan di berbagai sektor. Di samping bermutu dan sesuai dengan kebutuhan pembangunan, akses terhadap kesempatan memperoleh pendidikan juga harus dimiliki oleh masyarakat secara meluas, sehingga pelayanan umum melalui pendidikan tidak lagi “membagi-bagikan” kesempatan pendidikan sebagai kebutuhan dasar tetapi menyebarluaskan kesempatan pendidikan untuk dapat dilaksanakan sebagai kegiatan produktif yang bisa dilakukan oleh seluruh warga negara tanpa terkecuali (equality of access of education).

Untuk menjawab tantangan tersebut, Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sikdiknas Nomor 20 Tahun 2003) secara gamblang dan komprehensif memastikan bahwa pendidikan merupakan usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui berbagai jalur pendidikan yang berguna bagi peranan mereka di masa yang akan datang. Sebagai usaha sadar ini, maka proses pendidikan harus dijalankan dengan sungguh-sungguh, dilaksanakan dengan sengaja, teratur, dan berencana. Pendidikan yang meliputi transfer ilmu pengetahuan dan pengalaman manusia diharapkan akan mengubah tingkah laku manusia ke arah yang diinginkan (humanisasi).

Namun dalam pelaksanaannya, sistem pendidikan nasional yang telah diformulasikan tersebut rupanya mengandung banyak kelemahan. Dari soal buruknya manajemen pendidikan sampai pada soal mengenai minimnya dana untuk pengembangan pendidikan. Ahli pendidikan, HAR Tilaar, seperti dikutip Qodri Azizi[1], menyebut ada beberapa kelemahan dalam sistem pendidikan nasional. Pertama, sistem pendidikan itu kaku dan sentralistik. Di mana ada pola penyeragaman (uniformitas) dalam tubuh persekolahan, misalnya saja dalam pembuatan kurikulum yang tidak dipahami menurut kebutuhan masing-masing penyelenggara pendidikan. Kedua, sistem pendidikan nasional tidak pernah mempertimbangkan kenyataan yang ada di masyarakat. Masyarakat hanya dianggap sebagai objek saja (alat investasi sumber daya manusia bagi negara) sehingga masyarakat tidak pernah diperlakukan atau diposisikan sebagai subjek dalam pendidikan. Ketiga, dua permasalahan di atas didukung oleh sistem birokrasi kaku yang dijadikan alat kekuasaan atau alat politik penguasa. Pendidikan tidak lagi menjadi subjek dalam pelayanan umum pemerintah untuk rakyatnya melainkan menjadi subjek bagi pemerintah.

Selain lemahnya sistem pendidikan nasional, pendidikan di Indonesia, khususnya di jenjang Dasar hingga Menengah mengalami permasalahan pendidikan yang sifatnya sangat substansial. Permasalahan kemudian dikelompokkan sebagai berikut: Ketidakmerataan (Inequality), Kualitas (Quality), dan Anggaran (Financing). Pertama, masalah ketidakmerataan pendidikan Indonesia (Inequality). Ketidakmerataan pendidikan di Indonesia utamanya terkait permasalahan infrastruktur, di mana pembangunan fisik antara sekolah di daerah dan di pusat masih timpang. Selain itu, adanya standardisasi kelulusan yang tidak diiringi dengan pemerataan. Hampir sebagian besar daerah di Papua ternyata angka melek hurufnya <85%.

Kedua, masalah kualitas pendidikan Indonesia (Quality). Permasalahan ini utamanya terfokus pada kurikulum yang digunakan di jenjang pendidikan formal. Kurikulum yang berubah-ubah selama ini, tercatat hampir 10 kali kurikulum Indonesia mengalami perubahan semenjak tahun 1947 menyebabkan kualitas pendidikan menjadi taruhannya. Berikut ini beberapa permasalahan substansial seputar penerapan kurikulum di Indonesia:

1. Beragamnya subjek mata pelajaran yang diramu menjadi suatu kegiatan belajar yang terpadu (kurikulum) menyulitkan pengintegrasian di antaranya.

2. Sekolah terlalu berorientasi pada kecerdasan siswa.

3. Sulitnya penerapan prinsip belajar yang menyenangkan dan kesetaraan guru-murid sebagai subyek pembelajar.

Masalah kualitas pendidikan ini juga tidak luput dari peran tenaga pendidik yang berkualitas dan merata. kelayakan mengajar kepala sekolah dan guru di Sekolah Negeri menurut jenjang pendidikan tahun 2005/2006 yang bersumber dari Depdiknas memperlihatkan perbandingan antara guru yang layak mengajar dengan tidak layak mengajar yang cukup signifikan yakni guru SD yang tidak layak mencapai angka 1.060.788, sedangkan guru SD yang layak hanya sebanyak 178.052. Hal ini berarti kualitas tenaga pendidik di Indonesia masih jauh dari kata layak.

Ketiga, masalah anggaran pendidikan (Financing). Permasalahan ini terkait dengan minimnya anggaran pendidikan dan kebocoran anggaran pendidikan. Angka 20% yang seolah-olah menjadi tanda kenaikan APBN pendidikan kita, ternyata tidak signifikan dalam menunjang pendidikan di Indonesia. Hal ini dikarenakan dimasukkannya komponen gaji guru dan dosen serta sekolah kedinasan yang semula berada dalam pos belanja rutin pemerintah ke dalam APBN untuk pendidikan. Ditambah lagi dengan kebocoran anggaran yang terjadi, hasil audit BPK RI menyebutkan untuk Tahun 2008, Depdiknas menyediakan dana melalui DIPA Dekonsentrasi pada Dinas Pendidikan Provinsi di seluruh Indonesia sebesar Rp10.597,80 milyar yang terdiri dari dana BOS reguler sebesar Rp10.017,64 milyar dan dana BOS buku sebesar Rp580,16 milyar. Namun dari alokasi dana tersebut yang telah direalisasikan ternyata baru sebesar Rp4.944,24 milyar atau 49,36% untuk dana BOS reguler dan sampai akhir pemeriksaan untuk dana BOS buku belum direalisasikan.[2]

Beragam permasalahan di atas menggambarkan bahwa sistem pendidikan di Indonesia belum mampu menjawab tantangan pembangunan. Mengkonstruksi kembali sebuah sistem pendidikan nasional yang berangkat dan bertumpu lewat wacana mengenai pendidikan yang memberdayakan menjadi pekerjaan rumah yang sangat besar. Karena jika kita berbicara tentang pendidikan, kita juga harus berbicara tentang nilai-nilai kemanusiaan.


Pembahasan

Pendidikan mempunyai peran dan posisi yang signifikan dalam kehidupan manusia. Yang dimaksud dengan pendidikan sebagaimana termaktub dalam Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sikdiknas Nomor 20 Tahun 2003) adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.[3] Sedangkan dari segi etimologis, istilah pendidikan atau yang dalam bahasa Inggris Education berasal dari bahasa Latin Educare yang berarti memimpin keluar. Sehingga pada hakikatnya dapat dikatakan bahwa pendidikan merupakan sebuah proses yang dilakukan secara sadar, terencana, dan terus menerus sepanjang hidup manusia, dari keadaan tidak tahu akan sesuatu menjadi tahu akan sesuatu, serta dari keadaan belum dapat melakukan sesuatu menjadi dapat melakukan sesuatu. Kemudian pendidikan akan membawa seseorang keluar dari dirinya sendiri untuk mendapatkan jati diri, terlebih jati diri kemanusiaan, karena hakikat dari pendidikan adalah upaya untuk memanusiakan manusia (humanisasi).

Pendidikan dan manusia menjadi dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Mendidik berarti memperbaiki, menyempurnakan atau memanusiakan manusia.[4] Dan pendidikan merupakan media kultural untuk membentuknya. Pendidikan yang dibutuhkan dalam hal ini adalah pendidikan yang membebaskan manusia untuk selalu sadar akan dirinya dan tidak tereksklusi dari masyarakat dan dunianya. Sebuah proses pendidikan yang tidak tercerabut dari realitas sosial, bukan pendidikan yang malah menjauhkan manusia atau peserta didik dari kenyataan hidup yang ada. Karena pada hakikatnya, pendidikan secara murni berupaya membentuk insan akademis yang berwawasan dan berkepribadian kemanusiaan.

Meminjam terminologi Paulo Freire[5], yang banyak terkenal dengan gagasan penyadaran (conscientizacao)-nya. Freire mendeskripsikan bahwa pendidikan adalah suatu kampanye dialogis sebagai suatu usaha pemanusiaan secara terus-menerus.[6] Pendidikan bukan menuntut ilmu, tetapi bertukar pikiran dan saling mendapatkan ilmu (kemanusiaan) yang merupakan hak bagi semua orang tanpa kecuali. Gagasan Freire ini sangat menarik karena beliau ingin memperhadapkan pendidikan dengan realitas yang tengah bergumul di sekitarnya.

Pendidikan kritis (sebuah gagasan yang memang banyak dipengaruhi oleh Freire) merupakan suatu bentuk kritisisme sosial. Menurut Freire untuk menguasai realitas hidup ini termasuk menyadari kebisuan itu, maka bahasa harus dikuasai. Menguasai bahasa berarti mempunyai kesadaran kritis dalam mengungkapkan realitas. Untuk itu, pendidikan yang dapat membebaskan dan memberdayakan adalah pendidikan yang melaluinya peserta didik dapat mendengar suaranya yang asli. Di mana pendidikan menjadi momen kesadaran kritis terhadap berbagai permasalaham sosial yang ada dalam masyarakat.

Pendidikan yang membebaskan pada hakikatnya akan dapat dicapai dengan menumbangkan realitas penindasan, yaitu dengan mengisi konsep pedagogis yang memberikan kekuatan pembebasan yang baru. Freire kemudian mengurai secara gamblang permasalahan pengetahuan yang dipolakan dari sistem pendidikan yang menindas dan kontra-pembebasan. Selama ini, tradisi atau pola pendidikan gaya bank (Banking System Education) menjadi patokan dan rujukan dalam proses pendidikan yang biasa dijalankan. Disebut pendidikan gaya bank sebab dalam proses belajar mengajar guru tidak memberikan pengertian kepada peserta didik, tetapi memindahkan sejumlah dalil atau rumusan kepada siswa untuk disimpan yang kemudian akan dikeluarkan dalam bentuk yang sama jika diperlukan. Peserta didik adalah pengumpul dan penyimpan sejumlah pengetahuan, tetapi pada akhirnya peserta didik itu sendiri yang “disimpan” sebab miskinnya daya cipta. Karena itu pendidikan gaya bank menguntungkan kaum penindas dalam melestarikan penindasan terhadap sesamanya manusia.

Dalam realita pendidikan Indonesia saat ini, representasi kecerdasan di sekolah telah tereduksi sedemikian rupa menjadi angka-angka atau nilai. Padahal banyak hal dalam definisi kecerdasan yang tak bisa diwakili dalam angka, namun nampak nyata ada dalam kehidupan. Ini mungkin bisa menjadi jawaban atas minimnya antusiasme peserta didik terhadap ilmu. Selain karena proses belajar mengajar saat ini yang bagaikan dalam penjara, tanpa disadari, peserta didik telah terciderai dengan penindasan akademik dalam bentuk pembebanan target-target penguasaan secara kognitif materi-materi pelajaran terutama dengan adanya standardisasi kelulusan berupa Ujian Nasional. Peserta didik menjadi gagap ketika dituntut besrkesadaran kritis dalam menghadapi permasalahan sosial yang ada, tidak mampu untuk menghidupkan kepekaan diri yang melahirkan semangat untuk mencerdaskan diri dan menebar kemanfaatan bagi masyarakat sekitar. Akibatnya sekolah-sekolah sebagai tempat pendidikan terpadu, sebagaimana mengutip Mohammad Fauzil Adhim (Suara Hidayatullah, 2008) yang memiliki tugas hakiki untuk membentuk pribadi yang memiliki integritas moral tinggi, berakhlak mulia dan produktif yang berpijak pada fondasi akidah (keimanan) tidak dapat menjalankan tugas sebagaimana mestinya.

Pola pengembangan beragam subjek mata pelajaran yang diramu menjadi suatu kegiatan belajar yang terpadu dan terstandardisasi dalam sebuah kurikulum akan menyulitkan pengintegrasian di antaranya. Dalam pelaksanaannya di kehidupan nyata, pengembangan subjek-subjek mata pelajaran tersebut selalu membutuhkan integrasi beragam ilmu pengetahuan, kemampuan kognisi, kemampuan afektif, dan spirit berkinerja. Namun, kehidupan belajar di sekolah justru memisah-misahkannya karena guru-guru sesuai sistem pendidikan nasional berpanduan pada referensi atau kurikulum yang memisah-misahkan ilmu pengetahuan. Hal ini mengakibatkan kegagapan kolektif ketika lulusan sekolah masuk ke dunia nyata. Tanpa disadari, model pendidikan yang ada saat ini, dengan beban kurikulum yang padat sangat membelenggu bagi peserta didik. Peserta didik lebih diarahkan untuk memenuhi sejumlah target kurikulum. Sementara itu, lingkungan sekitar, konteks tempat seseorang hidup, dan tanda-tanda zaman kurang diberi perhatian.

Sistem Pendidikan Indonesia sudah seharusnya menerapkan sistem pendidikan alternatif sebagai pengganti pendidikan “gaya bank” yang selama ini dilaksanakan. Sistem pendidikan alternatif tersebut sebagaimana yang ditawarkan Freire disebut pendidikan “hadap-masalah”. Pendidikan “hadap-masalah” sebagai pendidikan alternatif yang ditawarkan oleh Freire lahir dari konsepsinya tentang manusia. Manusia sendirilah yang dijadikan sebagai titik tolak dalam pendidikan hadap-masalah. Manusia tidak mengada secara terpisah dari dunia dan realitasnya, tetapi ia berada dalam dunia dan bersama-sama dengan realitas dunia. Realitas itulah yang harus diperhadapkan pada peserta didik supaya ada kesadaran akan realitas itu. Konsep pedagogis yang demikian didasarkan pada pemahaman bahwa manusia mempunyai potensi untuk berkreasi dalam realitas dan untuk membebaskan diri dari penindasan budaya, ekonomi dan politik.[7]

Bagi Freire, pendidikan yang membebaskan adalah pendidikan yang menumbuhkan kesadaran kritistransitif. Dalam proses belajar yang demikian kontradiksi guru-murid tidak ada. Peserta didik tidak dilihat dan ditempatkan sebagai obyek yang harus diajar dan menerima. Demikian pula sebaliknyaguru tidak berfungsi sebagai pengajar. Guru dan murid adalah sama-sama belajar dari masalah yang dihadapi. Guru dan peserta didik bersama-sama sebagai subyek dalam memecahkan permasalahan. Guru bertindak dan berfungsi sebagai koordinator yang memperlancar percakapan dialogis. Ia adalah teman dalam memecahkan permasalahan. Sementara itu, peserta didik adalah partisipan aktif dalam dialog tersebut.

Pada kenyataannya, sistem pendidikan di Indonesia belum membebaskan. Peserta didik menjalani proses belajar bagaikan penjara.[8] Untuk mengatasi hal tersebut, dalam perkembangan sistem belajar mengajar di Indonesia, pemerintah Republik Indonesia telah mengupayakan untuk menerapkan pendekatan cara belajar siswa aktif (CBSA). Namun pada kenyataannya, sistem CBSA tersebut tak lebih hanya sebagai sebuah metode yang menjadi trademark tanpa diiringi dengan penyampaian materi yang mampu menjawab persoalan sosial yang berkembang di masyarakat. Materi yang disampaikan masih merupakan barang asing yang tidak lahir dari dalam konteks dimana manusia itu ada sehingga pada akhirnya siswa kembali menjadi “bank” penyimpanan sejumlah pengetahuan. Terlebih, relasi antara guru dan siswa adalah sebatas pengajar dan yang diajar. Siswa adalah yang belum tahu dan harus diberitahu sedangkan guru adalah yang sudah tahu dan akan memberitahukan. Sudah semestinya, peserta didik selalu dibenturkan dengan permasalahan-permasalahan kongkret dan aktual yang ada di masyarakat, untuk selanjutnya berupaya menganalisis menggunakan sudut pandang yang sesuai guna ditemukannya pemecahan yang komprehensif.


Penutup

Pendidikan harus terlepas dari belenggu dan keharusan untuk menciptakan dan menghasilkan manusia-manusia yang instan tanpa kualitas. Pendidikan harus jauh berorientasi untuk menghasilkan sumber daya manusia yang secara kualitatif mampu melakukan transformasi secara aktif dan progessif dalam beragam level dan tingkatan masyarakat secara konsisten dan komprehensif. Sebuah proses pendidikan yang memanusiakan manusia atau membebaskan akan menjadi kenyataan dan bukan angan-angan tak berujung.

Pendidikan yang membebaskan adalah jawaban dari sebuah fakta mengejutkan bahwa pendidikan yang membebaskan menghargai kecerdasan majemuk setiap siswa, kaya metodologi, belajar tanpa batasan waktu, dan memperlakukan semua hal sebagai guru. Materi dalam proses pendidikan yang demikian tidak diambil dari sejumlah rumusan baku atau dalil dalam buku paket tetapi diambil sejumlah permasalahan yang terjadi di sekitar kita. Permasalahan itulah yang menjadi topik dalam diskusi dialogis itu yang diangkat dari kenyataan hidup yang dialami oleh peserta didik dalam konteksnya sehari-hari.


Daftar Pustaka

Cyprianus Aoer, Masa Depan Pendidikan Nasional, (Jakarta: Center for Poverty Studies, 2005), hal.209

Laporan Hasil Pemeriksaan atas Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dan dana pendidikan dasar lainnya sumber dana APBN dan APBD Tahun Anggaran 2007 dan Semester I TA 2008. Laporan BPK RI no. 3/S/VIII-XIX.1.2/3/2009

Marthen manggeng, Pendidikan Yang Membebaskan Menurut Paulo Freire dan Relevansinya dalam Konteks Indonesia, INTIM - Jurnal Teologi Kontekstual, Edisi No. 8 - Semester Genap 2005

Paulo Freire, Pendidikan Kaum Tertindas, pp. 1-4

Pusat Kajian dan Studi Gerakan BEM UI. 2009. Menilik Kembali Peran Pemerintah Indonesia Terkait Dengan Pemenuhan Hak-Hak Dasar Rakyat Di Sektor Pendidikan Dan Kesehatan. Depok

Qodri A. Azizy, Pendidikan (Agama) untuk Membangun Etika Sosial, (Semarang: Aneka Ilmu, 2003), hal. 8-10

Suplemen the WAHID Institute VII/Tempo - 30 April - 6 Mei 2007

UU Sikdiknas No.20 Tahun 2003 Pasal 1 ayat 1

http://www.brainyquote.com/quotes



[1] Qodri A. Azizy, Pendidikan (Agama) untuk Membangun Etika Sosial, (Semarang: Aneka Ilmu, 2003), hal. 8-10.

[2] Laporan Hasil Pemeriksaan atas Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dan dana pendidikan dasar lainnya sumber dana APBN dan APBD Tahun Anggaran 2007 dan Semester I TA 2008. Laporan BPK RI no. 3/S/VIII-XIX.1.2/3/2009

[3] UU Sikdiknas No.20 Tahun 2003 Pasal 1 ayat 1

[4] Cyprianus Aoer, Masa Depan Pendidikan Nasional, (Jakarta: Center for Poverty Studies, 2005), hal.209

4 Paulo Freire adalah tokoh pendidikan yang sangat kontroversial. Ia menggugat sistem pendidikan yang telah mapan dalam masyarakat Brasil. Bagi dia, sistem pendidikan yang ada sama sekali tidak berpihak pada rakyat miskin tetapi sebaliknya justru mengasingkan dan menjadi alat penindasan oleh penguasa.

[6] Paulo Freire, Pendidikan Kaum Tertindas, pp. 1-4.

[7] Marthen manggeng, INTIM - Jurnal Teologi Kontekstual, Edisi No. 8 - Semester Genap 2005

[8] Suplemen the WAHID Institute VII/Tempo - 30 April - 6 Mei 2007