Senin, 30 Maret 2009

Prinsip dan Konsep Pajak Penghasilan Badan

Prinsip Pajak Penghasilan (PPh) Badan

Prinsip-Prinsip Umum

1. Wajib Pajak terdiri atas:

a. Pemungut Pajak

b. Pemotong PajakWajib Pajak PPh = Subjek Pajak + Objek Pajak (Penghasilan)UU Perpajakan Indonesia vs Tax Treaties

2. Pada umumnya mengikuti prinsip akuntansi Indonesia, kecuali peraturan perpajakan menentukan lain.

3. Direktorat Jenderal Pajak berhak untukmelakukan review dan penyesuaian atas transaksi-transaksi yang melibatkan pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa.

4. Tahun PajakTahun kalender vs Tahun Buku (Accounting Year). Perubahan tahun pajak atas persetujuan dari DirektoratJenderal Pajak

Prinsip-Prinsip PPh BadanDibagian penjelasan umum perubahan keempat UU PPh 1984 disebutkan prinsip perpajakan yang dianut secara universal. Lebih lengkap bunyi penjelasan tersebut:Perubahan Undang-Undang Pajak Penghasilan dimaksud tetap berpegang pada prinsip-prinsip perpajakan yang dianut secara universal, yaitu keadilan, kemudahan, dan efisiensi administrasi, serta peningkatan dan optimalisasi penerimaan negara dengan tetap mempertahankan sistem self assessment. Adam Smith, pencetus teori The Four Maxims dalam bukunya Wealth of Nations menyatakan bahwa pemungutan pajak menganut asas sebagai berikut:

· Asas Equality (asas keseimbangan dengan kemampuan atau asas keadilan): pemungutan pajak yang dilakukan oleh negara harus sesuai dengan penghasilan wajib pajak. Negara tidak boleh bertindak diskriminatif terhadap wajib pajak.

· Asas Certainty (asas kepastian hukum): semua pungutan pajak harus berdasarkan UU, sehingga bagi yang melanggar akan dapat dikenai sanksi hukum.

· Asas Convinience of Payment (asas pemungutan pajak yang tepat waktu atau asas kesenangan): pajak harus dipungut pada saat yang tepat bagi wajib pakak (saat yang paling baik), misalnya disaat wajib pajak baru menerima penghasilannya atau disaat wajib pajak menerima hadiah.

· Asas Effeciency (asas efesien atau asas ekonomis): biaya pemungutan pajak diusahakan sehemat mungkin, jangan sampai terjadi biaya pemungutan pajak lebih besar dari hasil pemungutan pajak.

Oleh karena itu, arah dan tujuan penyempurnaan Undang-Undang Pajak Penghasilan yaitu UU Pajak Penghasilan Nomor 36 Tahun 2008 ini adalah sebagai berikut:

a. lebih meningkatkan keadilan pengenaan pajak;

b. lebih memberikan kemudahan kepada Wajib Pajak;

c. lebih memberikan kesederhanaan administrasi perpajakan;

d. lebih memberikan kepastian hukum, konsistensi, dan transparansi; dan

e. lebih menunjang kebijakan pemerintah dalam rangka meningkatkan daya saing dalam menarik investasi langsung di Indonesia baik penanaman modal asing maupun penanaman modal dalam negeri di bidang-bidang usaha tertentu dan daerah-daerah tertentu yang mendapat prioritas.

Sejak Adam Smith menyusun buku An Inquiry into the Natura and Causes of the Wealth of Nations telah disarankan bahwa perpajakan harus berlandaskan prinsip Equality [keadilan], Certainty [kepastian], Convenience [kemudahan], dan Economy [efisiensi].

Prinsip Keadilan [Equality]

Pajak Penghasilan Badan dikenakan kepada Wajib Pajak SEBANDING dengan kemampuannya untuk membayar. Atau sering juga disebut ability to pay. Ada juga yang menyebut daya pikul. Kata “sebanding” dalam perpajakan [bukan hanya PPh] diwujudkan dengan tarif yang menggunakan persentase tertentu. Karena menggunakan tarif persentase maka Wajib Pajak yang berpenghasilan besar akan membayar pajak lebih besar sebaliknya Wajib Pajak yang berpenghasilan kecil akan membayar pajak lebih kecil. Bahkan pada batas tertentu, Wajib Pajak yang berpenghasilan kecil tidak bayar PPh.Ada lagi yang menyebutkan keadilan horizontal dan keadilan vertikal. Apa yang dimaksud dengan keadilan horizontal dan keadilan vertikal? Prof. R. Mansury dalam bukunya yang berjudul Pajak Penghasilan Lanjutan memaparkan syarat-syarat keadilan horizontal dan keadilan vertikal

[a.] Syarat keadilan horizontal:

[a.1.] Definisi Penghasilan : semua tambahan kemampuan ekonomis, yaitu semua tambahan kemampuan untuk dapat menguasai barang dan jasa, dimasukkan dalam pengertian objek pajak atau definisi penghasilan.

[a.2.] Globality: semua tambahan kemampuan itu merupakan ukuran dari keseluruhan kemampuan membayar atau “the global ability to pay”, oleh karena itu harus dijumlahkan menjadi satu sebagai objek pajak.

[a.3.] Net income: yang menjadi ability to pay adalah jumlah netto setelah dikurangi semua biaya untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan itu.

[a.4.] Personal Exemption: untuk Wajib Pajak orang pribadi suatu pengurangan untuk memelihara diri Wajib Pajak [di UU PPh 1984 disebut PTKP atau penghasilan tidak kena pajak].

[a.5.] Equal treatment for the equals: jumlah seluruh penghasilan yang memenuhi definisi penghasilan, apabila jumlahnya sama, dikenakan pajak dengan tarif pajak sama, tanpa membedakanjenis-jenis penghasilan atau sumber penghasilan.

[b.] Syarat keadilan vertikal:

[b.1.] Unequal treatment for the unequals: yang membedakan besarnya tarif adalah jumlah seluruh penghasilan atau jumlah seluruh tambahan kemampuan ekonomis, bukan karena perbedaan sumber penghasilan atau perbedaan jenis penghasilan.

[b.2.] Progression: apabila jumlah penghasilan seorang Wajib Pajak lebih besar, dia harus membayar pajak lebih besar dengan menerapkan tarif pajak yang prosentasenya lebih besar.

Prinsip Kepastian [Certainty]

Pajak Penghasilan Badan dikenakan kepada Wajib Pajak sesuai dengan peraturan perundangan yang sedang berlaku, pada saat ini mengacu pada Undang-Undang Pajak Penghasilan terbaru yaitu Undang-Undang Pajak Penghasilan Nomor 36 Tahun 2008 dengan beberapa perubahan atau tambahan di dalamnya. Bagi Wajib Pajak yang tidak memenuhi peraturan tersebut akan dapat dikenakan sanksi.

Prinsip Kemudahan [Convenience]

Pajak Penghasilan Badan dikenakan kepada Wajib Pajak pada saat yang tepat bagi wajib pakak (saat yang paling baik), misalnya disaat wajib pajak baru menerima penghasilannya atau disaat wajib pajak menerima hadiah. Sehingga memberikan kemudahan bagi Wajib Pajak untuk memenuhi kewajiban perpajakannya.

Prinsip Ekonomi [Eficiency]

Pajak Penghasilan Badan dikenakan kepada Wajib Pajak dengan biaya pemungutan pajak yang diusahakan sehemat mungkin, jangan sampai terjadi biaya pemungutan pajak lebih besar dari hasil pemungutan pajak

Konsep Pajak Penghasilan (PPh) Badan

1. Penghasilan adalah setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak.

1. Realization Principle: penghasilan yang diterima (cash basis) atau diperoleh (accrual basis)

2. Worldwide income: tambahan kemampuan ekonomis baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia

3. Tambahan kemampuan ekonomis yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak

4. Substance over form principle: Dengan nama dan dalam bentuk apapun (faham materil).

Tarbiyah Dzatiyah

Definisi Tarbiyah Dzatiyah

Tarbiyah Dzatiyah adalah sejumlah sarana tarbiyah (pembinaan), yang diberikan orang Muslim atau Muslimah, kepada dirinya untuk membentuk kepribadian Islami yang sempurna di seluruh sisinya; ilmiah, iman, akhlak, sosial, dan lain sebagainya, dan naik tinggi ke tingkatan kesempurnaan sebagai manusia. Atau dengan kata lain, Tarbiyah Dzatiyah iadalah tarbiyah seseorang terhadap diri sendiri dengan dirinya sendiri.

Urgensi Tarbiyah Dzatiyah

1. Menjaga Diri mesti Didahulukan daripada Menjaga Orang Lain

Sebagai upaya melindungi diri dari siksa Allah ta’ala dan neraka-Nya.

2. Jika Anda tidak Mentarbiyah (Membina)Diri Anda, Siapa yang Mentarbiyah Anda?

3. Hisab Kelak Bersifat Individual

Setiap orang dimintai pertanggungjawaban tentang dirinya dan sepak terjangnya, baik perbuatan baik atau buruknya.

4. Tarbiyah Dzatiyah Lebih Mampu Mengadakan Perubahan

Tarbiyah Dzatiyah lebih mampu mengendalikan diri menuju manhaj tertentu, perilaku utama, dan gerakan yang bermanfaat.

5. Tarbiyah Dzatiyah adalah Sarana Tsabat (Tegar) dan Istiqomah

Tarbiyah Dzatiyah membuat orang Muslim mampu tsabat(tegar) di atas jalan iman dan petunjuk, hingga akhir kehidupan. Serta merupakan garis pertahanan terdepan melawan fitnah.

6. Sarana Dakwah yang Paling Kuat

7. Cara yang Benar dalam Memperbaiki Realitas yang Ada

8. Keistimewaan Tarbiyah Dzatiyah

Sebab-sebab Ketidakpedulian Kepada Tarbiyah Dzatiyah

1. Minimnya Ilmu

2. Ketidakjelasan Sasaran dan Tujuan

3. Lengket dengan Dunia

4. Pemahaman yang Salah tentang Tarbiyah

5. Minimnya Basis Tarbiyah

6. Langkanya Murobbi (Pembina)

7. Perasaan akan Panjangnya Angan-angan

Sarana-sarana Tarbiyah Dzatiyah

1. Muhasabah

Muslim pertama-tama melakukan muhasabah (evaluasi) terhadap dirinya atas kebaikan dan keburukan yang telah ia kerjakan, meneliti kebaikan dan keburukan yang dimiliki, agar tidak kaget pada Hari Kiamat.

1. Urgensi Muhasabah secara Rutin

Agar tahu pikiran-pikiran benar apa saja yang dibawa dan kembangkan, amal-amal baik apa saja yang ada serta konsisten dikerjakan, apa saja titik lemah dan kemaksiatan di aspek ilmiah lalu dijauhi

2. Skala Prioritas yang Penting

Muhasabah kesehatan akidah; kebersihan Tauhid; pelaksanaan kewajiban-kewajiban; menjauhi hal-hal haram dan kemungkaran-kemungkaran.

  1. Jenis-jenis Muhasabah

Muhasabah sebelum bertaubat adalah seseorang berpikir di awal tekad dan keinginannya. Sedangkan muhasabah diri setelah berbuat:

a. Muhasabah diri atas ketaatan kepada Allah

b. Muhasabah diri atas perbuatanyang lebih baik tidak dikerjakan

c. Muhasabah diri atas hal-hal mubah dan wajar

4. Muhasabah atas Waktu

5. Ingat Hisab Terbesar

6. Di antara Trik Jiwa Kita: menunda-nunda taubat dam kembali pada Allah

2. Taubat dari Segala Dosa

a. Hakikat Dosa

Dosa ialah tidak mengerjakan kewajiban-kewajiban syar’i, atau melalaikannya dalam bentuk tidak menerjakannya sebagaimana mestinya.

b. Syarat-syarat Taubat: jujur dan serius

c. Semua Dosa itu Kesalahan

d. Hukuman di Dunia

Dosa, yang pelakunya tidak bertaubat, punya hukuman segera di dunia, kendati kadang kejadiannya agak tertunda.

3. Mencari Ilmu dan Memperluas Wawasan

Mencari ilmu dan memperluas cakrawala ilmu pengetahuan adalah unsur penting dan sarana urgen Tarbiyah Dzatiyah. Kiat-kiatnya antara lain: menghadiri pelajaran-pelajaran ilmiah mingguan, menghadiri ceramah-ceramah ilmiah dan Tarbiyah, dan sebagainya. Yang perlu diperhatikan adalah ikhlas dalam mencari ilmu, rajin dan meningkatkan ilmu pengetahuan, menerapkan, serta menunaikan hak ilmu, membayar zakatnya.

4. Mengerjakan Amalan-amalan Iman

  1. Mengerjakan Ibadah-ibadah Wajib Seoptimal Mungkin
  2. Meningkatkan Porsi Ibadah-ibadah Sunnah.
  3. Peduli dengan Ibadah Dzikir

5. Memperhatikan Aspek Akhlak (Moral)

Muslim yang men- Tarbiyah dirinya hingga berakhlak yang dianjurkan islam seperti sabar, membersihkan hati dan akhlak tercela, meningkatlan kualitas akhlak, bergaul dengan orang-orang yang berakhlak mulia, dan memperhatikan etika umum.

4. Terlibat dalam Aktivitas Dakwah

Agar Muslim berinteraksi dengan Tarbiyah Dzatiyah dalam aspek dakwah ada hal-hal penting di antaranya: merasakan kewajiban dakwah, menggunakan setiap kesempatan untuk berdakwah, terus-menerus dan tidak berhenti di tengah jalan, kerjasama dengan pihak-pihak lain karena pintu-pintu dakwah begitu luas.

5. Mujahadah (Jihad)

Jihad melawan jiwa hingga melaksanakan kewajiban dan meninggalkan maksiat adalah syarat dan ondisi paling penting yang harus disiapkan dalam Tarbiyah Dzatiyah.

8. Berdoa dengan Jujur Kepada Allah SWT

Doa menjadi salah satu sarana Tarbiyah Dzatiyah karena doa adalah permintaan seorang hamba kepada Tuhannya, pengakuan ketidakberdayaan dan kemiskinan dirinya, pernyataan tidak punya daya dan kekuatan, serta penegasan tentang daya, kekuatan, kodrat, dan nikmat Allah.

Buah Tarbiyah Dzatiyah

2. Mendapatkan keridhaan Allah ta’ala dan Surga-Nya

3. Bahagia dan tentram

4. Dicintai dan diterima Allah

5. Sukses

6. Terjaga dari keburukan dan hal-hal tidak mengenakkan

7. Keberkahan waktu dan harta

8. Sabar atas penderitaan dan semua kondisi

9. Jiwa merasa aman



Disarikan dari buku Tarbiyah Dzatiyah..

oleh gitacintanya Wilis

PRIORITAS DALAM BIDANG REFORMASI

PRIORITAS DALAM BIDANG REFORMASI

Memperbaiki Diri sebelum Memperbaiki Sistem

Di antara prioritas yang dianggap sangat penting dalam usaha perbaikan (Islah) ialah memberikan perhatian terhadap pembinaan individu sebelum membangun masyarakat; atau memperbaiki diri sebelum memperbaiki system dan institusi. Setiap usaha yang diupayakan untuk membentuk manusia muslim yang benar dan mendidiknya—dengan pendidikan Islam yang sempurna—harus diberi prioritas atas usaha-usaha lain.

Yang harus dibina dalam diri manusia adalah iman. Iman­­­­—bukan yang lain—adalah yang memberikan jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan besar berkaitan dengan perjalanan hidup manusia, memberikan tujuan, muatan makna, dan nilai bagi kehidupan manusia. Dengan iman kita dapat mengubah jati diri manusia dan memperbaiki segi batiniah manusia. Imanlah yang menggerakkan dan mengarahkan manusia serta melahirkan berbagai kekuatan dahsyat dalam diri manusia.

Tugas yang tepenting yang mesti kita lakukan pada hari ini apabila kita hendak melakukan perbaikan terhadap keadaan umat kita adalah melakukan permulaan yang tepat, yaitu membina manusia dengan pembinaan yang hakiki dan bukan hanya dalam bentuk luarnya saja. Kita harus membina akal, ruh, tubuh, dan perilakunya secara seimbang. Kita membina akalnya dengan pendidikan; membina ruhnya dengan ibadah; membina jasmaninya dengan olahraga; dan membina perilakunya dengan sifat-sifat yang mulia. Kita dapat membina kemiliteran melalui disiplin; membina kemasyarakatannya melalui kerjasama; membina dunia politiknya dengan penyadaran. Kita harus mempersiapkan agama dan dunianya secara bersama-sama agar ia menjadi manusia yang baik dan yang dapat mempengaruhi orang untuk berbuat baik, sehingga dia terhindar dari kerugian dunia dan akhirat, sebagaimana disebutkan dalam Q.S Al Ashr: 1-3.

Pembinaan Sebelum Jihad

Pembinaan sebelum jihad berarti wajibnya mendahulukan pendidikan daripada peperangan. Yang dimaksud dengan pendidikan dan pembentukan di sini ialah membina manusia Mu’min, yang dapat mengemban misi da’wah; bertanggung jawab menyebarkan risalah Islam; tidak kikir terhadap harta benda; tidak sayang kepada jiwanya dalam melakkan perjuangan di jalan Allah. Pendidikan dan pembentukan pribadi Islam harus diprioritaskan untuk menyiapkan jiwa-jiwa dalam peperangan.

Berjihad di jalan Allah juga termasuk jenis pendidikan di atas. Jihad itu memiliki empat tingkatan (Ibn Al-Qayyim):

a. Jihad terhadap diri sendiri (hawa nafsu)

  1. berjihad terhadap diri sendiri untuk mengajarkan petunjuk kepadanya, petunjuk agama yang benar yang tidak ada kemenangan, kebahagiaan di dunia, dan di akhirat kecuali dengannya.
  2. berjihad terhadapnya untuk melaksanakan petunjuk tersebut setelah diketahuinya.
  3. berjuang terhadap diri sendiri untuk mengajak orang lain kepada petunjuk tersebut, mengajari orang yang belum mengetahuinya.
  4. berjuang dengan penuh kesabaran dalam menghadapi berbagai kesulitan dalam mengajak orang lain kepada petunjuk Allah Swt.

b. Jihad terhadap diri setan

1. berjihad untuk menolak berbagai bentuk syubhatdan keraguan yang mengotori iman agar tidak sampai kepada hamba Allah.

2. berjihad untuk menolak berbagai kehendak yang merusak dan nafsu syahwat agar tidak sampai kepada mereka.

c. Jihad terhadap orang-orang kafir dan munafik

1. dengan hati,

2. dengan lidah,

3. dengan harta benda, dan

4. dengan jiwa

d. Jihad terhadap pelaku kezaliman, bid’ah, dan kemungkaran

1. dengan tangan,

2. dengan lidah, dan

3. dengan hati

Mengapa pembinaan lebih diberi prioritas?

1. Sesungguhnya peperangan dalam Islam bukan sembarang perang. Karena ini adalah peperangan dalam membela agama Allah Swt. pembinaan dilakukan agar dalam melakukan ajaran agama hanya untuk Allah Swt semata.

2. Sesungguhnya hasil perjuangan yang dinikmati oleh orang-orang Islam yang ikut berperang ialah kemenangan atas kekafiran.

3. Menurut Sunnatullah, kedudukan itu tidak dapat terwujudkan, kecuali setelah orang yang berhak memperolehnya lulus dari berbagai ujian Allah terhadap mereka, sehingga dapat dibedakan antara orang yang baik dan orang yag buruk hatinya.

Prioritas Perjuangan Pemikiran

Mendahulukan segala hal yang berkaitan dengan pelurusan pemikiran, cara pandang, dan cara bertindak dalam usaha perbaikan masyarakat haruslah diberi prioritas dan didahulukan atas perkara yang lain.

Perjuangan Pemikiran di dalam Pelataran Islam

1. Pertarungan di luar Islam melawan atheisme, orang-orang nasrani, dan orang-orang orientalis yang selalu memerangi Islam, dari segi akidah, syariah, warisan pemikiran, dan budaya.

2. Pertarungan di dalam pelataran Islam untuk membetulkan arah perbuatan yang patut dilakukan dalam Islam. Berikut ini berbagai arus pemikiran yang tidak benar yang kita hadapi sekarang ini:

1. Arus pemikiran khurafat

2. Arus pemikiran literal

3. Arus pemikiran yang reaktif dan keras

Akan tetapi, ada pula Arus pemikiran moderat, yang didasarkan pada keseimbangan dalam memahami agama, kehidupan, dan perjuangan untuk memenangkan agama. Arus pemikiran ini harus kita percayai dan kita anjurkan serta kita anggap sebagai ungkapan hakiki tentang Islam.

Tugas penting Arus Pemikiran Moderat

Penting bagi kita untuk memerangi orang-orang yang merusak pemikiran umat, menyesatkan mereka dari hakikat dan identitas yang asli (fitrah Islam). Untuk itu arus pemikirann mempunyai tugas besar yang harus dilakukan dengan kejujuran dan keikhlasan untuk menyatukan barisan kaum Muslimin—barisan orang-orang yang bekerja untuk Islam. Kita harus gigih menyatukan para aktivis yang berkhidmat untuk Islam, menyokong da’wahnya, menegakkan syariahnya, dan menyatukan umatnya. Usaha gigih dalam bentuk pemikiran dan tindakan praktis untuk mendekatkan jurang pemisah, menanamkan kepercayaan, menanamkan suasana toleran dan prasangka baik, menjernihkan jiwa dari perasaab ujub, tertipu, dan menuduh serta menghina orang lain. Dan pekerjaan ini tergolong prioritas yang sangat penting dan harus didahulukan di lapangan Islam hari ini. Usaha saling memahami, bekerjasama, dan menyatukan pandangan merupakan satu kewajiban agama serta keperluan yang sangat mendesak. Jika kita tidak dapat dipisahkan oleh satu pemikiran, maka hendaknya kita dapat disatukan oleh pelbagai bencana yang mengancam kita.

Penerapan Hukum Syariah ataukah Pembinaan dan Informasi

Wacana penerapan syariah yang berlebihan sesungguhnya akan membawa kesan yang buruk terhadap pemikiran Islam, dan amal Islami, atau kesan yang tidak baik dalam pemikiran masyarakat awam. Kita mesti memberikan perhatian terhadap persoalan yang hakiki ini dari segi pemikiran dan tindakan. Kita harus membuat rencana pengembangan dan rancangan yang sesuai untuk mempersiapkan “Pendiodikan Islam yang sempurna dan modern” yaitu dalam bidang pembinaan dan informasi. Ada dua titik tolak yang saling menyempurnakan dalam tindakan yang kita lakukan ini:

1. mempersiapkan ahli informasi muslim dalam semua bidang kehidupannya, pada semua peringkatnya, yang mampu menampilkan Islam mempunyai kemampuan besar untuk setiap zaman.

2. kita berusaha mempengaruhi ahli informasi dan seniman masa kini. Kita harus bekerja keras meraih mereka, sehingga mereka memahami ajararan agama.

disarikan dari buku Fiqih Prioritas...

oleh gitacintanya wilis

Pelajaran Moral

18 Maret 2009:

“Belajarlah menghargai hidup dari orang-orang yang memiliki keterbatasan fisik tetapi tidak pernah mati karena keterbatasan tersebut’”
[Based on pengalaman hari Rabu, 18 Maret 2009, saat melihat orang dengan keterbatasan fisik di kereta, dia berhasil merenyuhkan hati saya dengan permainan harmonikanya, superb..]

19 Maret 2009:

“Berhati-hatilah dalam hidup yang tidak pernah berhenti memaksa hati-hati ini”
[Based on pengalaman hari Kamis, 19 Maret 2009, saat melihat orang tergelepar di jalar raya dengan darah yang bersimbah, mengerikan..]

20 Maret 2009:

“Semua jerih payah yang telah dilakukan tidak akan sia-sia jika kita bersyukur dan menghargai diri kita sendiri”
[Based on pengalaman hari Jum’at, 20 Maret 2009, saat hari terakhir UTS, saya berhasil melewati rutinitas UTS yang aduhai, memuakkan..]

21 Maret 2009: “Persahabatan itu sejatinya bagai pelita dalam gulita, tidak sekedar menerangi tetapi juga menuntun menuju cahaya yang lebih bersinar”
[Based on pengalaman hari Sabtu, 21 maret 2009, saat berkumpul bersama saudari-saudari karena Allah setelah lama tidak bersua, me-recharge ruh, nge-groove bareng Al-Qur’an, dan menggila bersama dalam jalinan ukhuwah, syurga dunia banget, mantabbb..]

22 Maret 2009:

“Tak ada waktu untuk berdiam diri sekalipun singgasanamu tak bergeser barang sedikitpun”
[Based on pengalaman hari Minggu, 22 Maret 2009, saat tidak ada aktivitas yang berarti yang dapat dilakukan di atau dengan keadaan di rumah, tetapi setelah dikaji lebih lanjut ternyata banyak aktivitas yang bisa saya kerjakan]

Sabtu, 14 Maret 2009

Internalisasi sifat-sifat Kepemimpinan Rasulullah dalam kehidupan

Internalisasi sifat-sifat Kepemimpinan Rasulullah dalam kehidupan
*memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW


Nabi Muhammad satu-satunya manusia dalam sejarah yang berhasil meraih sukses-sukses luar biasa baik ditilik dari ukuran agama maupun ruang lingkup duniawi. Berasal-usul dari keluarga sederhana, Muhammad menegakkan dan menyebarkan salah satu dari agama terbesar di dunia, Agama Islam. Dan pada saat yang bersamaan tampil sebagai seorang pemimpin tangguh, tulen, dan efektif. Kini tiga belas abad sesudah wafatnya, pengaruhnya masih tetap kuat dan mendalam serta berakar.

Sebagian besar dari orang-orang yang tercantum di dalam buku ini merupakan makhluk beruntung karena lahir dan dibesarkan di pusat-pusat peradaban manusia, berkultur tinggi dan tempat perputaran politik bangsa-bangsa. Muhammad lahir pada tahun 570 M, di kota Mekkah, di bagian agak selatan Jazirah Arabia, suatu tempat yang waktu itu merupakan daerah yang paling terbelakang di dunia, jauh dari pusat perdagangan, seni maupun ilmu pengetahuan. Menjadi yatim-piatu di umur enam tahun, dibesarkan dalam situasi sekitar yang sederhana dan rendah hati. Sumber-sumber Islam menyebutkan bahwa Muhamnmad seorang buta huruf. Keadaan ekonominya baru mulai membaik di umur dua puluh lima tahun tatkala dia kawin dengan seorang janda berada. Bagaimanapun, sampai mendekati umur empat puluh tahun nyaris tak tampak petunjuk keluarbiasaannya sebagai manusia.

"Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin." (At-taubah: 128)
Dalam ayat tersebut Allah memberikan sebuah ilustrasi yang jelas mengenai sosok seorang pemimpin yang patut diteladani oleh seluruh pemimpin yang ada di muka bumi ini agar kepemimpinannya mampu mengayomi dan menyejahterahkan masyarakat yang dipimpinnya. Dengan sifat-sifat atau karakter-karakter khusus yang diberikan Allah kepada kekasih-Nya, Muhammad saw, maka sepatutnya para pemimpin itu--dalam semua level yang ada-- bisa mencontoh dan merujuk kepadanya.

Karakter-karakter atau sifat-sifat khusus yang dimaksudkan Allah telah jelas. Pertama, rasul yang diutus Allah itu berasal dari jenis manusia sendiri. Sebagai suatu wujud kasih-sayang Allah kepada umat manusia, Allah mengutus seorang rasul yang menyebarkan risalah-Nya dari jenis mereka sendiri. Allah tidak mengutus seorang malaikat atau seorang jin kepada mereka, karena Allah tahu bahwa hanya manusialah yang paling mengerti dan menyelami komunitasnya sendiri, bukannya jenis makhluk lain.

Dari sini ada suatu hal yang bisa dijadikan ibroh (pelajaran), yaitu apabila seorang pemimpin hendak mengutus seorang duta/utusan/juru dakwah kepada suatu bangsa atau sekelompok orang, maka hal yang terpenting untuk diperhatikan adalah utusan tersebut hendaknya orang yang sudah mengetahui seluk-beluk atau paling tidak mengerti gambaran mengenai komunitas masyarakat yang akan dihadapi. Hal ini untuk lebih mendekatkan sosiokultural masyarakat kepada seorang juru dakwah tersebut sehingga masyarakat tidak dengan serta-merta menolak utusan tersebut karena ternyata utusan yang datang kepada mereka itu merupakan bagian dari mereka sendiri. Ada suatu ungkapan Arab klasik yang mengatakan, "Barang siapa mengetahui bahasa suatu masyarakat, dia akan selamat dari tipu daya mereka."

Kedua, rasul yang diutus Allah itu senantiasa merasa senasib, seperjuangan, dan sepenanggungan terhadap kondisi yang sedang diderita bangsanya. Seorang pemimpin yang menghendaki berpihak atau memikirkan rakyatnya sebenarnya cukup mengikuti jejak dan perilaku Rasul saw. Dengan perhatian yang penuh kepada rakyat yang dipimpin dan mencoba berlaku seperasaan dengan mereka, sudah barang tentu mereka akan merasakan kedekatan dengan pemimpinnya dan bersimpati kepadanya. Seorang pemimpin tidak perlu membual dengan janji-janji kosong dan jargon-jargon politik yang tidak pernah ada buktinya.

Ketiga, rasul yang diutus Allah itu menghendaki keselamatan atas umatnya. Rasulullah sangat mencintai umatnya dan mengharapkan umatnya untuk menempuh jalan keselamatan. Rasulullah berusaha dengan gigih semaksimal mungkin berdakwah beramar makruf nahi munkar untuk menyelamatkan umatnya dari murka Allah SWT. Sesungguhnya umat yang hendak diselamatkan oleh Rasulullah melalui perjuangannya bagaikan laron di malam hari yang memburu terangnya cahaya lampu ceplik. Hewan-hewan kecil yang beterbangan itu bukannya memburu sesuatu yang diinginkannya, akan tetapi hanya memburu sesuatu yang kelihatan menarik untuk didekati. Sesungguhnya apilah yang mereka dekati. Mereka yang tidak sampai tercegah masuk kedalamnya akan mati dan terbakar, tetapi bagi yang masih dapat tercegah, maka akan selamat dari kobaran api tersebut.

Keempat, rasul yang diutus Allah itu amat kasih sayang terhadap umatnya. Sesungguhnya Rasulullah amat kasih sayang terhadap umatnya. Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa Rasul saw pernah berkorban atas nama umatnya yang tidak mampu berkorban. Beliau tegaskan dalam hadisnya, "Ya Allah ini (korban) atas namaku dan atas nama umatku yang tidak berkorban."



Nah,udah tau kan betapa Rasulullah itu sebaik-baik pemimpin..
Yuk, kita teladani sifat-sifat kepemimpinan Rasulullah..
Internalisasikan dalam kehidupan kita sehari-hari..

disarikan dari berbagai sumber..
1. Al-Islam - Pusat Informasi dan Komunikasi Islam Indonesia

Wilis bicara cinta...

Wilis bicara cinta..


bukan cinta jika itu buta

karena cinta tidak membutakan

hanya saja diri kita yang buta akan cinta

sebab cinta itu punya hati

dan hati adalah milik diri

maka..

tak pantas jika diri dipermainkan cinta

memang..

cinta itu sulit terdefinisi

bahkan..

tak seorang pun tahu dengan pasti

apa definisi dari cinta itu sendiri

jelas memang..

makna cinta itu sangatlah luas dan kompleks

tiap hati dapat berbeda dalam memaknainya

memaknai 5 huruf yang terangkai menjadi kata yang indah yaitu CINTA

cinta itu bagai konstanta dibagi dengan nol

hasilnya pun menjadi tak terhingga

jelas memang..

makna cinta itu bagaikan matematika

tiap hati harus mampu memberikan nilai yang sempurna

sempurna bagi yang mampu memperhitungkan angka dalam setiap permainan cintanya

cinta itu bagai udara kehidupan

tak bisa dilihat kepada siapa kehidupan itu diberi

namun..

hanya jiwa-jiwa yang hidup untuk cinta

yang pasti akan mampu merasakannya

menghirupnya untuk memaknai cinta

dan menghembuskannya untuk membagi cinta kepada sesama

jelas memang..

makna cinta itu sangatlah abstrak

tiap hati harus mampu menghidupkan cinta di dalam diri dan

merasakannya sebagai sebuah kehidupan

yang hadir dalam jiwa..


jiwa yang haus akan cinta

jiwa yang hidup untuk cinta

dan jiwa yang berjuang dan berkorban untuk cinta

dan bukan cinta yang haus akan raga

dan bukan cinta yang hidup untuk jiwa

dan bukan cinta yang berkorban untuk jiwa lain

bukan cinta dalam definisi manusia

cinta yang semu, temporadik,

dan terkadang hanya dinisbatkan lewat hasrat ragawi semata

cinta yang sesungguhnya itu..

cinta yang hakiki walau seringkali kita tak merasakan dan bahkan mengabaikan

cinta yang tetap setia walau kita bergelimang kenistaan

cinta yang selalu memberi walau seringkali disakiti

dan cinta itu adalah milik-NYA, ALLAH..

maka..

berbahagialah kita yang selalu dicintai-NYA

sekarang tinggal bagaimana kita mencintai-NYA

walaupun sulit bagi jiwa-jiwa yang lemah ini..

tapi, yakinlah bahwa belajar untuk mencintai-NYA

akan mampu memberikan kita nafas-nafas cinta yang jauh lebih manusiawi


gitacintanya wilis, 9 Maret 2009

dari aku, pencari hakikat cinta

dan dari jiwaku, jiwa yang rindu akan cinta-MU

aku sampaikan cintaku pada-MU

maaf, aku belum mencintai-MU sepenuhnya

padahal cinta-MU tak terhingga bagiku


Senin, 09 Maret 2009

Golput dalam Pemilu

Golput dalam Pemilu

Pemilu adalah salah satu pilar demokrasi, dimana rakyat menyerahkan mandat kepada wakil-wakilnya untuk bertindak atas nama rakyat. Begitu pentingnya tradisi pemilu di Indonesia, maka orangpun menyamakannya dengan pesta demokrasi

(Eko Prasojo)


Pemilu 2009 sudah di depan mata. Dalam waktu yang tidak berapa lama lagi, tepatnya pada bulan April nanti, Indonesia akan menyelenggarakan pemilihan umum (pemilu) untuk memilih wakil-wakil rakyat yang akan duduk di kursi Majelis yang terhormat. Tradisi akbar yang hanya terjadi tiap lima tahun sekali ini menambah panjang perjalanan sejarah bangsa dalam gaung demokrasi.


Pemilihan
umum (pemilu) merupakan salah satu sarana demokrasi. Pesta demokrasi yang merupakan perwujudan tatanan kehidupan negara dan masyarakat yang berkedaulatan rakyat, pemerintahan dari dan untuk rakyat. Melalui pemilu, rakyat melakukan evaluasi terhadap kinerja dan moral wakil-wakilnya di lembaga legislatif dan pemerintah. Pemilu juga dimaksudkan untuk membangun kembali kepercayaan baru masyarakat terhadap pemerintah dan negara.


Sebagai
sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, dimana kekuasaan yang tertinggi berada di tangan rakyat, pemilihan umum diselenggarakan secara demokratis, jujur, dan adil dengan mengadakan pemberian dan pemungutan suara secara langsung, umum, bebas, dan rahasia. Pemungutan suara tersebut dilakukan serentak di seluruh wilayah kesatuan RI. Pemilu yang dilaksanakan setiap lima tahun sekali ini pada umumnya mempunyai tujuan untuk melaksanakan asas kedaulatan rakyat, hak asasi warga negara, dan memungkinkan terjadinya transformasi pemerintahan secara aman dan tertib.

Dalam konteks transformasi demokrasi, sejarah Indonesia telah mencatat bahwa bangsa Indonesia telah sembilan kali menyelenggarakan pemilihan umum.
Pemilu di Indonesia pada awalnya ditujukan untuk memilih anggota lembaga perwakilan, yaitu DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota. Namun, setelah amandemen keempat UUD 1945 pada 2002, pemilihan presiden dan wakil presiden (pilpres), yang semula dilakukan oleh MPR, disepakati untuk dilakukan langsung oleh rakyat sehingga pilpres pun dimasukkan ke dalam rezim pemilu. Pilpres sebagai bagian dari pemilu diadakan pertama kali pada Pemilu 2004. Pada 2007, berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007, pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah (pilkada) juga dimasukkan sebagai bagian dari rezim pemilu.


Dengan ditetapkannya peraturan perundang-undangan baru di atas, ruang gerak partisipasi politik warga negara menjadi semakin luas. Warga negara memperoleh hak untuk memberikan suaranya dan turut serta terlibat dalam kegiatan-kegiatan kenegaraan di bidang politik dari tingkat daerah sampai tingkat pemerintahan. Partisipasi politik ini mencakup semua kegiatan yang sah oleh semua warga negara yang kurang lebih langsung dimaksudkan untuk mempengaruhi pemilihan pejabat pemerintahan dan atau tindakan-tindakan yang mereka ambil.


Sayangnya, pemberian ruang gerak yang semakin meluas atas partisipasi politik di atas tidak serta merta meningkatkan kesadaran warga negara untuk turut serta dalam proses elektoral. Walaupun kesadaran politik rakyat tidak hanya diukur dengan tingkat partisipasi pemilu yang hanya berlangsung lima tahun sekali, melainkan juga dengan sejauh mana mereka aktif mengawasi atau mengoreksi kebijakan dan perilaku pemerintahan selama lima tahun pemerintahan tahun berjalan. Kesadaran politik warga negara untuk berpartisipasi dalam kehidupan politik bangsa baik secara langsung maupun tidak langsung menjadi hal yang begitu krusial. Krusial dalam artian bahwa keterlibatan warga negara dalam transisi demokrasi menjadi begitu penting dalam penentuan pemimpin bangsa dan wakil-wakil rakyat yang diharapkan bertindak atas nama rakyat yang memilihnya.


Berjalan baiknya sebuah negara tidak terlepas dari partisipasi politik warga negaranya. Tingginya partisipasi politik menunjukkan bahwa warga negara memahami kehidupan politik. Di sisi lain, rendahnya partisipasi politik dapat dianggap sebagai rendahnya kepedulian dan pengetahuan warga negara dalam kehidupan politik atau bisa jadi terdapat batasan serta tidak adanya kesempatan dalam kehidupan politik. Adapun warga negara yang sama sekali tidak melibatkan diri dalam partisipasi politik disebut apati (apaty). Hal ini terjadi karena beberapa sebab. Pertama, adanya sikap acuh tak acuh, tidak tertarik atau rendahnya pemahaman mereka mengenai masalah politik. Kedua, adanya keyakinan bahwa usaha mereka untuk mempengaruhi kebijakan pemerintah tidak berhasil. Ketiga, mereka tinggal dalam lingkungan yang menganggap bahwa tindakan apati merupakan suatu tindakan yang terpuji.[1]


Dalam perjalanan historis pemilihan umum di Indonesia, kemudian kita temui lagi adanya istilah Golongan putih (golput). Berbeda dengan tindakan apatis, golput merupakan predikat bagi orang-orang yang memilih untuk tidak menggunakan hak suaranya pada Pemilihan Umum (Pemilu). Warga negara yang memilih untuk golput memiliki dua kecenderungan. Pertama, golput karena ketidakmengertian akan politik sehingga menimbulkan keengganan untuk menggunakan hak suara pada pemilu. Kedua, golput karena paham situasi dan kondisi politik sehingga memilih untuk tidak memilih (golput). Misalnya, seseorang merasa tidak ada calon pemimpin bangsa yang berkompeten dan bersih sehingga orang tersebut tidak bersedia memberikan amanahnya lewat pemilu (golput).


Fenomena Golput dalam Pemilu


Istilah golput menjadi begitu akrab di telinga kita sejak tahun 1971. Pada pemilu 1971 jumlah golput tercatat 4.858.667 atau sekitar 8,30 persen. Meski jumlah Golput dari pemilu 1955 sampai 1999 tidak pernah melebihi angka 10 persen, gerakan itu mampu menimbulkan kesadaran politik baru pada masyarakat pemilih. Yaitu kesadaran untuk tidak memilih bila memang tidak percaya pada sistem yang berlaku.


Pada Pilpres 2004, angka golput mencapai 20 persen dan pada pemilu tahun 2009 diperkirakan meningkat lagi mencapai sekitar 40 persen. Tingginya angka golput ini semakin mempertegas posisi tawar dari masyarakat dalam bernegara atau berpartisipasi dan terlibat dalam pemerintahan, saat ini masyarakat mulai apatis terhadappesta demokrasi’. Sebuah survei pemilih Indonesia tahun 2003 dengan tema besar demokrasi di Indonesia yang dilakukan The Asian Foundation memaparkan alasan ketidaktertarikan pemilih pada politik di antaranya adalah sebagai berikut:


Alasan Ketidaktertarikan pada Politik
Jika tak tertarik pada politik, mengapa? [Q. 86 base 376]


Tidak
suka berpolitik 37%

Saya tidak berpendidikan/terlalu miskin 30%

Politik sangat kotor 13%

Buang-buang waktu/saya terlalu sibuk 8%

Lainnya 5%

Tidak tahu 16%


Mayoritas
pemilih (58%) yang menyatakan kurang tertarik pada politik memberikan alasan-alasan yang lebih menunjukkan adanya keterasingan dari proses politik ketimbang alasanketidakmampuan untuk berpartisipasi dalam politik. Proporsi terbesar (37%) – khususnya yang berusia muda, berpendidikan, dan berdomisili di kota mengambil sikap demikian tampaknya disebabkan karena apa yang selama ini mereka saksikan, sehingga mereka mengatakantak suka politik”. Tiga belas persen lainnya menyatakanpolitik itu kotorjelas menunjukkan persepsi yang berkembang mengenai korupsi dalam kehidupan politikdi Indonesia. Di lain pihak, lebih sedikit pemilih yang menyebutkan alasan kurang mampu untuk berpartisipasi dalam politik. Sekitar 30%, terutama pemilih berusia lanjut, kurang pendidikan, dan berpenghasilan rendah, menyalahkan kurangnya materi dan pendidikan sebagai penyebab sikap apatisme mereka. Dengan demikian, alasan-alasan mendasar atas ketidaktertarikan pada politik terlihat berkaitan erat dengan ketidaksenangan pemilih terhadap situasi politik saat ini.


Secara
umum, semakin tinggi tingkat pendidikan, semakin tinggi pula tingkat partisipasinya dalam politik. Demikian juga dalam hal tingkat penghasilan. Tingkat pendidikan merupakan faktor yang paling signifikan mempengaruhi tingkat partisipasi politik. Namun, perlu digarisbawahi bahwa pengertian partisipasi politik di sini bukan semata keikutsertaan yang terbatas pada pemilu atau pemilihan presiden. Artinya, meningkatnya angka golput itu sendiri merupakan pertanda meningkatnya daya kritis masyraskat terhadap partai politik.


Tingginya
angka golput ini disebabkan karena tiga hal yang sifatnya sangat krusial, yakni masalah pendataan, ideologis, dan teknis. Jika dahulu orang didatangi petugas ke rumah untuk didaftar, kini dasarnya hanya KTP.
Masalah ideologis, yang based on pemahaman dan pengetahuan orang bersangkutan. Ada penilaian bahwa pemerintahnya siapa saja ternyata tidak berubah. Oleh karena tidak ada perubahan maka lebih baik memilih golput. Dan yang terakhir, masalah teknisnya adalah kartu suara. Entah karena kartu suara ganda atau pendistribusiannya yang tidak terlaksana dengan baik.


Keengganan
masyarakat mengikuti pemilu tak selamanya menunjukkan terjadinya penurunan demokrasi. Karena keengganan itu di samping muncul akibat apatisme publik pada partai politik, bisa juga karena semakin tumbuhnya kesadaran masyarakat bahwa partisipasi politik demokratis selama ini tidak selamanyabahkan harusmelalui aktivitas pemilu. Pada saat seperti inilah dengan sendirinya golput akan meningkat.


Golput
, Bukan Pilihan Terbaik


Peningkatan
golput tidak mencerminkan menurunnya kualitas demokrasi, bahkan menjadi cermin kedewasaan dan daya kritis masyarakat. Memilih untuk golput hanyalah satu di antara beragam kemungkinan sikap politik dalam momentum pemilihan umum.
Pada pemilu 2009 diharapkan masyarakat lebih selektif dan lebih cerdas, untuk memilih atau tidak memilih, dengan mempunyai alasan ataupun pertimbangan pembenaran dari masing individu, dan merupakan hak yang hakiki dari individu, dan tetap dijunjung tinggi.


Setidaknya
, ada beberapa alasan mengapa memilih jauh lebih baik dari pada tidak memilih. Pertama,
golput hanya untuk orang-orang yang ingin perubahan terjadi, tetapi tidak take action. Perubahan akan muncul apabila partisipasi terjadi secara komunal dalam menentukan figur yang tepat. Kedua, walaupun golput juga merupakan hak asasi. Namun perlu disadari bahwa di saat pemilu itulah kita belajar untuk menghargai orang lain yang berbeda pendapat. Memanfaatkan betul hak pilih suara kita sebaik-baiknya membantu pembangunan demokrasi. Ketiga, harapan untuk perubahan itu harus selalu ada dan kita harus turut serta mengusahakannya. Tidak memilih di antara mereka yang relatif lebih baik sama artinya memenangkan politisi busuk. Golput justru akan memberikan peluang kepada bangsa ini untuk dipimpin politisi yang tidak diharapkan.




[1] Eko Prasojo. Demokrasi Di Negeri Mimpi: Catatan Kritis terhadap Pemilu 2004 dan Good Governance. Departemen Ilmu Administrasi FISIP UI, Jakarta: 2005

Daftar Pustaka

Budiyanto. Kewarganegaraan. Penerbit Erlangga, Jakarta: 2004

Prasojo, Eko. Demokrasi Di Negeri Mimpi: Catatan Kritis terhadap Pemilu 2004 dan Good Governance. Departemen Ilmu Administrasi FISIP UI, Jakarta: 2005

Priyo Sukanto, Budi, Panduan Belajar Kewarganegaraan. Primagama, Jakarta: 2006

Demokrasi di Indonesia: Sebuah Survei Pemilih indonesia 2003. The Asia Foundation, Jakarta: 2003

Muhammad Tiro, Hasan. Demokrasi untuk Indonesia. Teplok press, Jakarta: 1993