Sabtu, 28 Februari 2009

Dunia dalam hidup dan hidup dalam dunia!!!



Dunia ini adalah dunia yang aneh. Dunia yang hijau tapi lucu. Dunia yang kotor tapi indah. Mungkin karena itulah saya telah jatuh cinta dengan kehidupan. Dan saya akan mengisinya, membuat mimpi-mimpi yang indah dan membius diri saya dalam segala-galanya. Semua dengan kesadaran. Setelah itu hati rasanya menjadi lega.
(Soe Hok Gie, Catatan Seorang Demonstran)



Begitulah sosok Gie, sapaan akrab bagi Soe Hok Gie, ketika menggambarkan dan memaknai arti dunia dalam kehidupannya . Begitu dalam dan lugas. Semua orang memaknai dunia dalam kehidupannya dengan berbeda-beda. Lantas, bagaimana kita memaknai hidup kita?! Kalau begitu, biarlah saya memaknai hidup ini pula dengan cara saya sendiri. Karena hidup dalam dunia itu pada hakikatnhya adalah "get real". Dan Wilis akan selalu bergitacinta dengan caranya sendiri..

















"Hidup ini melangkah terus semakin mendekat ke titik terakhir karena hidup ini fana, sementara, dan terkadang sporadis. Memaksa kita untuk berjuang. Berjuang mencari hakikat cinta yang hakiki dan abadi. Berjuang untuk kembali menggapai-Nya. Perjuangan yang berbuat. Karena Perjuangan tanpa perbuatan adalah hal yang mustahil. Perbuatan yang bergerak. Karena Perbuatan tanpa Pergerakan adalah kenihilan. Pergerakan dengan niat dan pengorbanan. Karena Pergerakan tanpa niat dan pengorbanan yang tulus ikhlas adalah kemunafikan.
"

Gitacintanya wilis, 28 Februari 2009

Kawan,,kecil itu penuh arti!!!

"Memikirkan kembali soal-soal kecil dalam hidup adalah sesuatu hal yang membuat kita menjadi manusia kembali" (Soe Hok Gie, Catatan Seorang Demonstran)

Kawan, Jika kita harus mati dalam idealisme kita itu tak mengapa.
tapi, kalau mati dalam kemunafikan, itu hal yang luar biasa, luar biasa nista.
Kalau menilik lagi ke belakang, hal-hal kecil menjadi kunci utama.
Kunci dari segala kunci keberhasilan.
Kita besar karena kita telah melewati kecil.
kecil itu tak melulu buruk.
Karena hal-hal besar itu berawal dari hal-hal kecil.
Ingat kawan, sesuatu itu tidak mungkin besar jika kecil belum dilakukan..
karena kecil itu penuh arti..
dalam, lugas,, terkadang lugas..
walaupun kita sering meremehkannya..
Kawan, ,kecil itu penuh arti!!!

Sabtu, 14 Februari 2009

Kultur baru...

Kultur baru..

eya, eya, eya...
agak membuat saya tertatih mengikutinya..
tapi so whatlah,,whatwhatwhat..
yang pentink konkrit!!!
Semangat...

Esai kedua-Pendidikan yang Membebaskan

Pendidikan yang Membebaskan
“Tinjauan Pemikiran Paulo Fraire”
Wilis Windar Astri


Pendidikan mempunyai peran dan posisi yang signifikan dalam kehidupan manusia. Yang dimaksud dengan pendidikan sebagaimana termaktub dalam Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sikdiknas Nomor 20 Tahun 2003) adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.1 Sedangkan dari segi etimologis, istilah pendidikan atau yang dalam bahasa Inggris Education berasal dari bahasa Latin Educare yang berarti memimpin keluar. Sehingga pada hakikatnya dapat dikatakan bahwa pendidikan merupakan sebuah proses yang dilakukan secara sadar, terencana, dan terus menerus sepanjang hidup manusia, dari keadaan tidak tahu akan sesuatu menjadi tahu akan sesuatu, serta dari keadaan belum dapat melakukan sesuatu menjadi dapat melakukan sesuatu. Kemudian pendidikan akan membawa seseorang keluar dari dirinya sendiri untuk mendapatkan jati diri, terlebih jati diri kemanusiaan, karena hakikat dari pendidikan adalah upaya untuk memanusiakan manusia (humanisasi).

Dalam sejarah perkembangan pendidikan di dunia, peningkatan kualitas pendidikan selalu menjadi sorotan utama dalam pembuatan kebijakan pendidikan baik di negara-negara maju maupun negara berkembang. Pendidikan, pada mulanya dianggap sebagai hak-hak dasar manusia atau sebagai suatu kebutuhan dasar manusia, sehingga banyak negara di dunia menganggap pendidikan merupakan salah satu "public goods" atau objek dalam pelayanan umum pemerintah untuk rakyatnya. Namun sejalan dengan bergulirnya waktu, pendidikan kini diketahui sebagai suatu investasi sumber daya manusia (SDM) yang jauh lebih menguntungkan bagi kemajuan suatu negara dibandingkan dengan investasi fisik.

Semakin dipahaminya pendidikan sebagai "means of investment” atau suatu alat investasi sumber daya manusia memberikan konsekuensi logis bahwa pendidikan selain harus sesuai dengan kebutuhan pembangunan juga harus selalu mengedepankan mutu demi tercapainya keluaran (output) yang mampu mendukung proses pembangunan di berbagai sektor. Di samping bermutu dan sesuai dengan kebutuhan pembangunan, akses terhadap kesempatan memperoleh pendidikan juga harus dimiliki oleh masyarakat secara meluas, sehingga pelayanan umum melalui pendidikan tidak lagi “membagi-bagikan” kesempatan pendidikan sebagai kebutuhan dasar tetapi menyebarluaskan kesempatan pendidikan untuk dapat dilaksanakan sebagai kegiatan produktif yang bisa dilakukan oleh seluruh warga negara tanpa terkecuali (equality of access of education).

Selain itu, pendidikan harus bersifat normatif dan etis-religius baik bagi masyarakat yang sedang dibangun maupun masyarakat yang telah membangun dan terus-menerus memperbaharui diri. Hal ini menjadi mutlak untuk dilaksanakan, terutama dalam era globalisasi saat ini, di mana semakin jelas tampak bahwa kedua unsur “perubahan” dan “kontinuitas” dalam pembangunan masyarakat perlu diberi perhatian yang memadai. Juga semakin transparan pula bahwa perubahan kini menjadi bagian mutlak yang tak terpisahkan dari kehidupan manusia modern. Tentunya, perubahan yang membuat manusia menjadi berkualitas dan bukan malah membuat manusia menjadi marjinal atau tanpa kualitas.

Kelemahan dan Problema Sistem Pendidikan di Indonesia

Di dalam undang-undang tentang sistem pendidikan nasional sudah secara gamblang dan komprehensif dicantumkan bahwa pendidikan merupakan usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui berbagai jalur pendidikan yang berguna bagi peranan mereka di masa yang akan datang. Sebagai usaha sadar ini, maka proses pendidikan harus dijalankan dengan sungguh-sungguh, dilaksanakan dengan sengaja, teratur, dan berencana. Pendidikan yang meliputi transfer ilmu pengetahuan dan pengalaman manusia diharapkan akan mengubah tingkah laku manusia ke arah yang diinginkan (humanisasi).

Sistem pendidikan nasional yang ada selama ini rupanya mengandung banyak kelemahan. Dari soal buruknya manajemen pendidikan sampai pada soal mengenai minimnya dana untuk pengembangan pendidikan. Ahli pendidikan, HAR Tilaar, seperti dikutip Qodri Azizi, menyebut ada beberapa kelemahan dalam sistem pendidikan nasional. Pertama, sistem pendidikan itu kaku dan sentralistik. Pola penyeragaman (uniformitas) dalam tubuh persekolahan, misalnya dalam pembuatan kurikulum yang tidak dipahami menurut kebutuhan masing-masing penyelenggara pendidikan. Kedua, sistem pendidikan nasional tidak pernah mempertimbangkan kenyataan yang ada di masyarakat. Masyarakat hanya dianggap sebagai objek saja (alat investasi sumber daya manusia bagi negara) sehingga masyarakat tidak pernah diperlakukan atau diposisikan sebagai subjek dalam pendidikan. Ketiga, dua problem di atas didukung oleh sistem birokrasi kaku yang dijadikan alat kekuasaan atau alat politik penguasa.2 Pendidikan tidak lagi menjadi subjek dalam pelayanan umum pemerintah untuk rakyatnya melainkan menjadi subjek bagi pemerintah.

Selain lemahnya sistem pendidikan nasional, pendidikan di Indonesia, khususnya di jenjang Dasar hingga Menengah mengalami problem pendidikan yang sifatnya sangat substansial. Problem-problem itu di antaranya: Pertama, beragamnya subjek mata pelajaran yang diramu menjadi suatu kegiatan belajar yang terpadu menyulitkan pengintegrasian di antaranya. Kehidupan nyata selalu membutuhkan integrasi beragam ilmu pengetahuan, kemampuan kognisi, kemampuan afektif, dan spirit berkinerja. Namun, kehidupan belajar di sekolah justru memisah-misahkannya karena guru-guru sesuai sistem pendidikan nasional berpanduan pada referensi atau kurikulum yang memisah-misahkan ilmu pengetahuan. Hal ini mengakibatkan kegagapan kolektif ketika lulusan sekolah masuk ke dunia nyata. Membutuhkan proses cukup panjang untuk bisa merubah paradigma dan cara mengajar yang integratif.

Kedua, sekolah terlalu berorientasi pada kecerdasan siswa. Di mana representasi kecerdasan telah tereduksi sedemikian rupa menjadi angka-angka (nilai). Padahal, tugas hakiki sekolah, sebagaimana mengutip Mohammad Fauzil Adhim (Suara Hidayatullah, 2008) adalah membentuk pribadi yang memiliki integritas moral tinggi, berakhlak mulia dan produktif yang berpijak pada fondasi akidah (keimanan). Banyak hal dalam definisi kecerdasan yang tak bisa diwakili dalam angka, namun nampak nyata-nyata ada dalam kehidupan.

Ketiga, sulitnya penerapan prinsip belajar yang menyenangkan dan kesetaraan guru-murid sebagai subyek pembelajar. Tanpa disadari, model pendidikan yang ada saat ini, dengan beban kurikulum yang padat sangat membelenggu bagi peserta didik. Peserta didik lebih diarahkan untuk memenuhi sejumlah target kurikulum. Sementara itu, lingkungan sekitar, konteks tempat seseorang hidup, dan tanda-tanda zaman kurang diberi perhatian.

Beragam permasalahan di atas berusaha untuk kita temukan jawabannya. Di saat bangsa kita sedang mengalami devaluasi nilai dan moralitas maka yang sangat diperlukan saat ini adalah mengkonstruksi kembali sebuah sistem pendidikan nasional yang berangkat dan bertumpu lewat wacana mengenai pendidikan yang memberdayakan. Nilai-nilai kemanusiaan perlu dimasukkan ke dalam karakter pendidikan sehingga akan menghasilkan kualitas manusia yang berwawasan dan berorientasi kemanusiaan. Konteks global pun sangat kita perlukan guna memperoleh bangunan paradigmatik yang kuat. Pendidikan yang memberikan bekal untuk memahami kehidupan dan bukan hanya pendidikan yang berorientasi bagi pemenuhan bekal “penghidupan” an saja. Pendidikan yang membebaskan (humanis) adalah harapan besar kita.

Pendidikan yang Membebaskan

Jika kita berbicara tentang pendidikan, kita juga harus berbicara tentang nilai-nilai kemanusiaan. Pendidikan dan manusia adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Mendidik berarti memperbaiki, menyempurnakan atau memanusiakan manusia.3 Dan pendidikan merupakan media kultural untuk membentuknya. Pendidikan yang dibutuhkan dalam hal ini adalah pendidikan yang membebaskan manusia untuk selalu sadar akan dirinya dan tidak tereksklusi dari masyarakat dan dunianya. Sebuah proses pendidikan yang tidak tercerabut dari realitas sosial, bukan pendidikan yang malah menjauhkan manusia atau peserta didik dari kenyataan hidup yang ada. Karena pada hakikatnya, pendidikan secara murni berupaya membentuk insan akademis yang berwawasan dan berkepribadian kemanusiaan.

Meminjam terminologi Paulo Freire, yang banyak kita kenal dengan gagasan penyadaran (conscientizacao)-nya. Freire mendeskripsikan bahwa pendidikan adalah suatu kampanye dialogis sebagai suatu usaha pemanusiaan secara terus-menerus.4 Pendidikan bukan menuntut ilmu, tetapi bertukar pikiran dan saling mendapatkan ilmu (kemanusiaan) yang merupakan hak bagi semua
orang tanpa kecuali. Gagasan Freire ini sangat menarik karena beliau ingin memperhadapkan pendidikan dengan realitas yang tengah bergumul di sekitarnya.

Pendidikan kritis (sebuah gagasan yang memang banyak dipengaruhi oleh Freire) merupakan suatu bentuk kritisisme sosial. Menurut Freire untuk menguasai realitas hidup ini termasuk menyadari
kebisuan itu, maka bahasa harus dikuasai. Menguasai bahasa berarti mempunyai kesadaran kritis dalam mengungkapkan realitas. Untuk itu, pendidikan yang dapat membebaskan dan memberdayakan adalah pendidikan yang melaluinya peserta didik dapat mendengar suaranya yang asli. Pendidikan yang relevan dalam masyarakat berbudaya bisu adalah mengajar untuk memampukan mereka mendengarkan suaranya sendiri dan bukan suara dari luar termasuk suara sang pendidik.5 Pendidikan adalah momen kesadaran kritis kita terhadap berbagai problem sosial yang ada dalam masyarakat.

Pendidikan pembebasan akan dicapai dengan menumbangkan realitas penindasan, yaitu dengan mengisi konsep pedagogis yang memberikan kekuatan pembebasan yang baru. Salah satu kritikan Freire adalah pendidikan yang berupaya membebaskan kaum tertindas untuk menjadi penindas baru. Bagi Freire pembebasan kaum tertindas tidak dimaksudkan supaya ia bangkit menjadi penindas yang baru, tetapi supaya sekaligus membebaskan para penindas dari kepenindasannya.6

Pendidikan “Hadap-Masalah”: Suatu Pendidikan Alternatif

Freire mengurai secara gamblang problem pengetahuan yang dipolakan dari sistem pendidikan yang menindas dan kontra-pembebasan. Selama ini, tradisi atau pola pendidikan gaya bank (Banking System Education) menjadi patokan dan rujukan dalam proses pendidikan yang kita jalankan. Disebut pendidikan gaya bank sebab dalam proses belajar mengajar guru tidak memberikan pengertian kepada peserta didik, tetapi memindahkan sejumlah dalil atau rumusan kepada siswa untuk disimpan yang kemudian akan dikeluarkan dalam bentuk yang sama jika diperlukan. Peserta didik adalah pengumpul dan penyimpan sejumlah pengetahuan, tetapi pada akhirnya peserta didik itu sendiri yang “disimpan” sebab miskinnya daya cipta. Karena itu pendidikan gaya bank menguntungkan kaum penindas dalam melestarikan penindasan terhadap sesamanya manusia.

Bertolak dari pemahaman yang demikian itu, maka Fraire menawarkan sistem pendidikan alternatif sebagai pengganti pendidikan “gaya bank” yang ditolaknya. Sistem pendidikan alternatif yang ditawarkan Freire disebut pendidikan “hadap-masalah”. Pendidikan “hadap-masalah” sebagai pendidikan alternatif yang ditawarkan oleh Freire lahir dari konsepsinya tentang manusia. Manusia sendirilah yang dijadikan sebagai titik tolak dalam pendidikan hadap-masalah. Manusia tidak mengada secara terpisah dari dunia dan realitasnya, tetapi ia berada dalam dunia dan bersama-sama dengan realitas dunia. Realitas itulah yang harus diperhadapkan pada peserta didik supaya ada kesadaran akan realitas itu. Konsep pedagogis yang demikian didasarkan pada pemahaman bahwa manusia mempunyai potensi untuk berkreasi dalam realitas dan untuk membebaskan diri dari penindasan budaya, ekonomi dan politik.7

Bagi Freire pendidikan yang membebaskan adalah pendidikan yang menumbuhkan kesadaran kritis
transitif. Dalam proses belajar yang demikian kontradiksi guru-murid tidak ada. Peserta didik tidak dilihat dan ditempatkan sebagai obyek yang harus diajar dan menerima. Demikian pula sebaliknya
guru tidak berfungsi sebagai pengajar. Guru dan murid adalah sama-sama belajar dari masalah yang
dihadapi. Guru dan peserta didik bersama-sama sebagai subyek dalam memecahkan permasalahan. Guru bertindak dan berfungsi sebagai koordinator yang memperlancar percakapan dialogis. Ia adalah teman dalam memecahkan permasalahan. Sementara itu, peserta didik adalah partisipan aktif dalam dialog tersebut.

Tinjauan Pemikiran Freire dalam Realitas Sosial Indonesia

Sistem pendidikan di Indonesia belum membebaskan. Peserta didik menjalani proses belajar bagaikan dalam penjara. Sekolah alternatif bisa menjadi solusi. Demikian disampaikan Ketua Komnas Perlindungan Anak DR. Seto Mulyadi kepada Subhi Azhari dari the WAHID Institute.8 Pendidikan yang membebaskan sejatinya adalah pendidikan yang membebaskan guru dan peserta didik dari hubungan dangkal dan temporer yang terbatas pada pemenuhan nilai-nilai dalam angka.

Pendidikan yang membebaskan adalah jawaban dari sebuah fakta mengejutkan bahwa pendidikan yang membebaskan menghargai kecerdasan majemuk setiap siswa, kaya metodologi, belajar tanpa batasan waktu, dan memperlakukan semua hal sebagai guru. Materi dalam proses pendidikan yang demikian tidak diambil dari sejumlah rumusan baku atau dalil dalam buku paket tetapi diambil sejumlah permasalahan yang terjadi di sekitar kita. Permasalahan itulah yang menjadi topik dalam diskusi dialogis itu yang diangkat dari kenyataan hidup yang dialami oleh peserta didik dalam konteksnya sehari-hari.

Dalam proses belajar mengajar, pemerintah Republik Indonesia telah mengupayakan untuk menerapkan pendekatan cara belajar siswa aktif (CBSA), tetapi hanya metodenya sajalah yang CBSA. Sementara materi yang disampaikan masih merupakan barang asing yang tidak lahir dari dalam konteks dimana manusia itu ada sehingga pada akhirnya siswa kembali menjadi “bank” penyimpanan sejumlah pengetahuan. Memang siswa aktif belajar dan mungkin berdiskusi dalam kelas tetapi yang didiskusikan dan dipelajari dalam kelas adalah sejumlah dalil dan rumus yang tidak punya hubungan dengan kehidupannya. Lagi pula relasi guru-siswa adalah pengajar dan yang diajar. Siswa adalah yang belum tahu dan harus diberitahu sedangkan guru adalah yang sudah tahu dan akan memberitahukan.

Adalah Bahruddin, pionir dari Kalibening, Kepala Sekolah SMP Qoryah Thoyyibah Kalibening, Salatiga. Bahruddin dengan komunitas belajar Qaryah Thayyibahnya adalah cara intelek pemuda masa kini menyelesaikan sekelumit permasalahan yang membelenggu dalam sistem pendidikan di Indonesia. Karena ia mendobrak dan merubah. Ia pendobrak kebekuan berpikir linear bahwa bersekolah itu harus di sekolah formal dan agen perubah dari kondisi status quo; yaitu sulit dan mahalnya mengakses pendidikan bermutu lagi membebaskan, terutama bagi warga desanya.

Pendidikan di Indonesia seharusnya belajar dari pendidikan yang dipelopori oleh Bahruddin ini. Pendidikan harus terlepas dari belenggu dan keharusan untuk menciptakan dan menghasilkan manusia-manusia yang instant tanpa kualitas. Kesadaran bahwa pendidikan itu untuk anak, belajar
itu hak bukan kewajiban. Pendidikan harus jauh berorientasi untuk menghasilkan sumber daya manusia yang secara kualitatif mampu melakukan transformasi secara aktif dan progessif dalam beragam level dan tingkatan masyarakat secara konsisten dan komprehensif. Sebuah proses pendidikan yang memanusiakan manusia atau membebaskan akan menjadi kenyataan dan bukan angan-angan tak berujung.

Kebenaran hanya milik Allah...
Wa Allahu a'lam bisshowab

Perjuangan lewat tulisan..

He..eh..
Assalamu'alaykum wa rohmatullahi wa barokatuh..

Alhamdullilah..setelah lama tak berjumpa akhirnya sy bs menghadirkan lagi semangat gitacinta yang baru...semangat pergerakan..ternyata memang tak mudah untuk menjadi orang yang mampu berdiri tegar dalam arus pergerakan..untuk itu saya melalui wadah yang kredibel mencoba untuk mengadu kecerdasan untuk sekedar dapat memasuki,,lebih tepatnya berkecimpung dalam ranah BEM UI..huhu,,butuh pengorbanan masuk BEM UI,,salahsatunya adalah bikin esai,,sesuai sama keinginan saya yang ingin melakukan perubahan..hehe..
tertulislah dua buah esai yang gak tau bagus ato ga..yang pasti dengan esai ini sy bs berkecimpung dalam BEM UI di pusat pergerakan mahasiswa BEM UI (Pusgerak BEM UI)..
inilah perjuangan lewat tulisan...


BEM UI Sebagai Organisasi Pergerakan

Evaluasi dan Solusi”

Wilis Windar Astri



Mahasiswa hidup di tengah-tengah masyarakat. Itulah sebabnya mereka mengerti dan memahami betul apa yang dirasakan dan dialami masyarakat... Jika ada yang mengatakan tidak boleh atau melarang aksi mahasiswa, mungkin ada yang tidak senang dengan aksi mahasiswa.” (Dr. A. H. Nasution)1



Agaknya sepenggal kalimat yang diungkapkan oleh Dr. A. H. Nasution di atas dapat memberikan kita gambaran nyata tentang sosok mahasiswa dalam panggung pergerakan. Apa pun kondisi yang sedang berlangsung saat ini, dan dari sudut pandang mana pun akan kita tilik kondisi tersebut, tak bisa dipungkiri bahwa mahasiswa adalah the most important society. Mahasiswa adalah struktur unik dalam tatanan kemasyarakatan, politik maupun budaya. Unik karena mahasiswa memiliki status, latar belakang, dan ideologi yang boleh jadi membuat mereka bangga.


Dibalik itu semua, patut kita sadari bahwa mahasiswa adalah manusia biasa. Anggota asli dari sebuah tatanan kemasyarakatan di mana mereka hidup dan berjibaku di dalamnya. Dalam konteks ini, mahasiswa adalah figur lemah yang senantiasa dijadikan objek (padahal mereka hakikinya adalah subjek). Namun, dalam segala keterbatasan dan sangat biasanya mahasiswa, mereka bisa menjelma menjadi sebuah kekuatan luar biasa yang tidak bisa dibendung dengan senjata apa pun juga. Lebih lanjut, mahasiswa boleh jadi bangga atas intelektualitas yang mereka miliki karena mereka termasuk orang-orang yang beruntung yang dapat mengenyam pendidikan hingga jenjang yang tertinggi. Maka tidak salah memang, jika mereka-mereka ini menyandang sebutan mahasiswa, status superior bagi pelajar di Indonesia.


Status yang disandang ini memberikan konsekuensi logis adanya hubungan timbal-balik antara status dan peran mahasiswa. Sebagai bagian dari masyarakat, mahasiswa harus peka terhadap apa yang dialami dan dirasakan oleh masyarakat. Pentingnya peran mahasiswa ini layak kita garis-bawahi. Tidak hanya terletak pada posisi mahasiswa yang cenderung 'elitis' karena stigma positif yang melekat atas kedudukan mereka yang istimewa di mata masyarakat, tetapi juga berkaitan dengan aktivitas mahasiswa atas tanggung jawab moral-sosial kemasyarakatan yang digantungkan oleh masyarakat kepada mereka. Mahasiswa menjadi representatif bagi masyarakat dalam mengaspirasikan tuntutan. Oleh karena itulah, tuntutan mahasiswa adalah tuntutan rakyat.


Perjalanan Gerakan Mahasiswa


Gerakan mahasiswa tampaknya memang sudah menjadi tuntutan zaman. Keberadaannya timbul dan tenggelam dalam pergolakan bangsa-bangsa yang ingin menata kehidupan demokrasinya menuju ke arah yang lebih baik. Pengalaman historis perjuangan bangsa telah membuktikan bahwa mahasiswa selalu memainkan peranan penting dalam setiap perjuangan. Mahasiswa telah menjadi kekuatan yang ada pada setiap perubahan yang tertoreh dalam sejarah bangsanya.


Istilah gerakan mahasiswa menjadi sangat populer setelah terjadi sebuah fenomena monumental di tahun 1998.2 Meskipun pada masa sebelumnya, gerakan mahasiswa juga pernah secara aktif memelopori perubahan. Dalam konteks transisi politik di Indonesia, gerakan mahasiswa telah memainkan peranan yang penting sebagai kekuatan yang secara nyata mampu mendobrak rezim otoritarian.


Kalau kita melihat sejenak peran gerakan mahasiswa dalam konteks semangat zamannya, kita bisa menengok kembali kepada peran mahasiswa dalam kurun waktu yang amat menentukan dalam sejarah bangsa kita. Munculnya angkatan-angkatan 1908, 1928, 1945, 1966, 1974, 1978, dan 1998 di pentas politik baik yang berhasil ataupun yang gagal total kiranya senantiasa dilandasi semangat untuk melakukan kritik terhadap “status quo” dan mengharapkan kehidupan baru yang lebih baik dan dengan impian dan harapan yang lebih baik pula.


Mahasiswa pernah menjadi salah satu bagian dari gerakan pemuda yang tidak dapat dipisahkan dengan proses perjuangan bangsa, sejak terjadinya kebangkitan pemuda 1908. Pada masa kebangkitan nasional ini, kaum intelektual muda adalah bagian pendobrak cara pandang yang kolot dengan mengadopsi cara pikir yang cerdas. Posisi kaum intelektual (mahasiswa) pasca 1908 adalah munculnya generasi gerakan di tahun 1966 yang diyakini berhasil menumbangkan rezim Orde Lama dan menggantikannya dengan rezim Orde Baru. Kemudian, gerakan mahasiswa angkatan 1978 muncul sebagai kekuatan yang menolak usaha-usaha depolitisasi terhadap mahasiswa. Sementara itu, angkatan 1980-an muncul sebagai generasi gerakan kritis yang tidak memunculkan gerakan yang masif, tetapi intensif terjun lagsung dalam masyarakat dalam kelompok-kelompok diskusi dan LSM-LSM yang bekerja secara langsung dalam basis masyarakat. Puncak dari gerakan mahasiswa terjadi pada angkatan 1998 yang diyakini berhasil menumbangkan rezim Orde Baru. Gerakan yang dipelopori mahasiswa ini bersifat masif dan berhasil meruntuhkan hegemoni dan kekuasaan riil negara. Bahkan, militer pun berhasil diredupkan posisinya berkat kekuataan massa di bawah kepeloporan mahasiswa-mahasiswa.


BEM UI Sebagai Organisasi Pergerakan


Tidak dapat dipungkiri peran mahasiswa menjadi begitu penting dalam sejarah perjuangan bangsanya dari masa ke masa. Gerakan mahasiswa telah membuktikan bahwa mereka mampu untuk menumbangkan keotoritarian kaum elite atas rakyatnya. Gerakan mahasiswa untuk kemudian menjadi bentuk perjuangan dan kontribusi nyata kaum intelektual atas tanggung jawab moral-sosial mereka kepada rakyat.


Gerakan mahasiswa dari masa ke masa selalu memberikan nafas baru yang kemudian melahirkan aktivis-aktivis mahasiswa yang cerdas dan berani. Pada umumnya, gerakan yang dibangun oleh para aktivis mahasiswa ini berangkat dari sebuah kesadaran tentang posisi masyarakat yang berhadapan dengan negara. Intinya, para aktivis mengembangkan sebuah metode gerakan sebagai hasil dan tindak lanjut dari tingkat kesadaran yang mereka miliki tentang ketegangan antara negara dengan masyarakat.


Tidak hanya itu, gerakan mahasiswa selanjutnya juga memperkenalkan aktivis-aktivis yang tangguh sebagai “icon” pergerakan di kalangan sesama aktivis di masanya. Tak sekedar menjadi “icon” dalam angkatan pergerakan mahasiswa di masanya, tetapi mereka juga dianggap sebagai pahlawan yang tertoreh dalam perjalanan historis bangsanya. Sebut saja, pahlawan Ampera, Arief Rahman Hakim, mahasiswa yang gugur saat bentrok fisik dengan ABRI pada tahun 1966 saat mengaspirasikan Tiga Tuntutan Rakyat “Tritura”. Selain itu, tersebut pula nama Soe Hok Gie, intelektual muda angkatan 1966, aktivis mahasiswa yang berprinsip, jujur, dan berani dalam menyampaikan kritik-kritiknya demi kemajuan bangsa. Atau angkatan 1974 yang memunculkan sosok Hariman Siregar.


Arief Rahman, Gie, dan Hariman Siregar adalah sedikit di antara banyaknya intelektual muda juga aktivis yang terlahir dari semangat perjuangan dan pergerakan mahasiswa yang berhasil menjadi "icon" di masanya. Hal ini dikarenakan mereka memiliki ciri khas dan cara masing-masing dalam mengaspirasikan tuntutan atau kritik. Tetapi, satu hal yang menjadi catatan penting bahwa mereka sama-sama "lahir dan besar" dalam sebuah wadah pergerakan dan perjuangan di dalam kampus yang sama. Mereka sama-sama merupakan aktivis juga pahlawan-pahlawan hasil asuhan organisasi pergerakan bernama Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia (BEM UI) atau yang dahulu bernama Senat Mahasiswa Universitas Indonesia (SM UI).


Universitas Indonesia melalui BEM UI sebagai organisasi pergerakan selalu memiliki keistimewaan dalam perjalanan pergerakan mahasiswa dari masa ke masa. BEM UI tidak dapat dipisahkan dalam sejarah pergerakan mahasiswa dalam kancah nasional. Dinamika BEM UI dalam panggung pergerakan mahasiswa saat ini begitu menarik perhatian. Hal ini dikarenakan, di berbagai kesempatan dalam ranah tersebut, BEM UI berhasil menjadi “trendsetter” bagi gerakan mahasiswa lainnya. Lebih lanjut lagi, BEM UI juga menjadi garda terdepan dalam perjuangan dan pergerakan mahasiswa masa kini. Dalam setiap pergerakannya BEM UI memiliki style, cita rasa, dan kelas tersendiri sehingga membuatnya beda, spesial, dan menyejarah. Itulah yang membuat BEM UI menjadi begitu menarik untuk disoroti.


BEM UI Dalam Evaluasi


BEM UI sebagai organisasi pergerakan yang tidak lepas dari peran pentingnya sebagai garda terdepan dalam pergerakan mahasiswa dalam konteks masa kini, tidak pernah luput menjadi sorotan baik oleh gerakan mahasiswa lain maupun pemerintah. Tidak dapat disangkal bahwa BEM UI selalu mewarnai setiap pergerakan mahasiswa baik dalam hal strategi gerakan maupun eskalasi gerakannya sehingga membuat BEM UI beda dari organisasi pergerakan lainnya. Adapun hal yang membuatnya beda antara lain terkait dengan pemilihan isu dan eskalasi gerakan.


Pertama, soal pemilihan isu. Tidak dapat dipungkiri bahwa pemilihan isu menjadi sangat penting ketika pergerakan akan dimulai. Seberapa cerdas, tajam, dan efektifnya isu yang diangkat akan menggambarkan intelektualitas dan kapabilitas pengusung isu tersebut. Hal tersebut berbanding lurus dengan dinamika keilmuan di kampus masing-masing. Namun yang perlu diperhatikan, suatu kampus yang memiliki kultur keilmuan yang begitu bagus, dinamika diskusi, dan wacana kontemporer yang masif belum tentu mampu jika dihadapkan pada penyusunan sebuah "isu gerakan".


BEM UI dalam perjalanannya dapat membuktikan eksistensinya dalam panggung pergerakan dengan

keikutsertaannya dalam ajang-ajang yang (seharusnya) cukup prestisius semisal Konferensi BEM se-Indonesia. Bahkan, seringkali isu yang dipilih dan diangkat oleh BEM UI cukup bisa menjadi pertimbangan utama untuk diangkat sebagai isu bersama bagi peserta konferensi tersebut. Sebagian besar dikarenakan peserta konferensi yang lain belum memiliki dinamika "yang seimbang" dengan apa yang sudah terjadi di internal UI. Alhasil, siapa yang paling kuat dan tajam dalam pemilihan & penyampaian isu, dia yang cenderung akan diikuti oleh yang lain. Dan BEM UI mampu melakukannya.


Kedua, soal eskalasi gerakan. Seberapa hebatnya suatu isu, tidak akan menjadi gerakan yang berarti manakala ia tidak mampu menjadi gerakan yang masif dan integral. Berdasarkan pengalaman saya, yang pernah terlibat langsung dalam beberapa aksi mahasiswa misalnya saja saat aksi tugu rakyat atau aksi tolak RUU BHP, saya dapati bahwa jumlah massa aksi mahasiswa UI selalu lebih banyak dari massa aksi kampus-kampus lainnya. Apalagi, warna jaket UI yang sangat mencolok "mewarnai" barisan massa aksi yang begitu banyak. Maka tidak heran, banyak yang begitu berkeinginan untuk memimpin suatu aliansi pergerakan yang BEM UI tergabung di dalamnya. Termasuk yang berusaha "menitipkan" isu kepada BEM UI untuk diangkat, baik dengan atau tanpa iming-iming keuntungan tertentu.


Namun, “tiada gading yang tak retak”, begitulah pepatah ini berlaku pula bagi organisasi pergerakan prestisius seperti BEM UI. Setiap ada kelebihan pasti ada kekurangan. Beberapa hal yang menjadi catatan penting bagi saya, tentunya lewat pengalaman saya terjun langsung dalam beberapa aksi mahasiswa masalah yang sering kali terjadi dan terus terulang antara lain adalah mengenai masalah waktu dan motivasi.


Pertama, masalah waktu. Dari beberapa kali pengalaman saya mengikuti aksi, poin penting yang saya catat dan saya pikir hal ini perlu diperbaiki adalah masalah waktu. Massa dari UI terkadang “ngaret”, padahal massa aksi dari kampus-kampus lain telah stand by di tempat aksi berlangsung. Entah karena mobilisasi massa yang sulit dan memakan waktu atau masalah perjalanan massa menuju ke tempat berlangsungnya aksi yang memakan waktu. Namun, saya pikir hal-hal seperti ini tidak perlu lagi dialami oleh organisasi pergerakan sekelas BEM UI.


Kedua, masalah motivasi. Belajar dari pengalaman, terkadang saya merasakan kepenatan saat melakukan aksi. Hal ini dikarenakan, lamanya mobilisasi sehingga membuat massa “kalah sebelum berperang” karena sudah kelelahan, belum lagi perjalanan mereka ke tempat aksi yang juga memakan waktu. Atau karena orasi-orasi yang berlangsung satu arah yang tidak mampu membangkitkan totalitas perjuangan. Harus saya akui, orasi yang baik adalah orasi yang mampu melibatkan hubungan emosional antara sang orator dengan massa sehingga aksi berlangsung dua arah dan membangkitkan daya juang massa. Namun, jauh dibalik itu, ada hal yang begitu krusial yang patut dipertanyakan yaitu mengenai motivasi massa mengikuti aksi. Ada motivasi dari sekelompok mahasiswa yang hanya sekedar mencari kesenangan atau hobi. Maka tak jarang saya temukan, ada massa yang ketika mengikuti aksi justru sibuk melap keringat dan mengeluh kepanasan, bahkan ada pula yang memanfaatkan momen untuk foto-foto bersama rekan mereka. Dari kelompok seperti inilah, gerakan mahasiswa lalu hanya bersifat sebagai aktualisasi egoisme dan memenuhi sifat heroisme yang sementara saja. Sehingga perlu ditanyakan kembali kepada mereka, “apa motivasi mereka mengikuti aksi?” Apakah hanya sekedar ikut-ikutan, menambah pengalaman, atau memang benar-benar tulus bergerak atas nama hati nurani dan rakyat. Karena gerakan mahasiswa tak butuh orang yang manja, bung!


Solusi


Gerakan mahasiswa memang tak butuh orang-orang yang manja. Maka dari itulah, BEM UI sebagai organisasi pergerakan yang menjadi “icon” dan “trendsetter” bagi gerakan mahasiswa lainnya harus melakukan pengorganisasian pada basis gerakan di tingkat bawah. Misalnya saja, melakukan kaderisasi dan pengaderan yang terus menerus pada lapisan dalam (internal BEM UI). Sedangkan pada lapisan luar, BEM UI juga harus melakukan pengorganisasian pada basis massa di tingkat rakyat sehingga tercipta hubungan yang baik antara mahasiswa dan masyarakat.


Wa Allahu a'lam bisshowab

Kebenaran hanya milik Allah..

1Gejolak Reformasi Menolak Anarki. Bandung: Penerbit Zaman Wacana Mulia. 1998

2A. Prasetyantoko & Ign Wahyu. Gerakan Mahasiswa dan Demokrasi di Indonesia. Jakarta: P.T. Alumni. 2001