Sabtu, 14 Februari 2009

Esai kedua-Pendidikan yang Membebaskan

Pendidikan yang Membebaskan
“Tinjauan Pemikiran Paulo Fraire”
Wilis Windar Astri


Pendidikan mempunyai peran dan posisi yang signifikan dalam kehidupan manusia. Yang dimaksud dengan pendidikan sebagaimana termaktub dalam Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sikdiknas Nomor 20 Tahun 2003) adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.1 Sedangkan dari segi etimologis, istilah pendidikan atau yang dalam bahasa Inggris Education berasal dari bahasa Latin Educare yang berarti memimpin keluar. Sehingga pada hakikatnya dapat dikatakan bahwa pendidikan merupakan sebuah proses yang dilakukan secara sadar, terencana, dan terus menerus sepanjang hidup manusia, dari keadaan tidak tahu akan sesuatu menjadi tahu akan sesuatu, serta dari keadaan belum dapat melakukan sesuatu menjadi dapat melakukan sesuatu. Kemudian pendidikan akan membawa seseorang keluar dari dirinya sendiri untuk mendapatkan jati diri, terlebih jati diri kemanusiaan, karena hakikat dari pendidikan adalah upaya untuk memanusiakan manusia (humanisasi).

Dalam sejarah perkembangan pendidikan di dunia, peningkatan kualitas pendidikan selalu menjadi sorotan utama dalam pembuatan kebijakan pendidikan baik di negara-negara maju maupun negara berkembang. Pendidikan, pada mulanya dianggap sebagai hak-hak dasar manusia atau sebagai suatu kebutuhan dasar manusia, sehingga banyak negara di dunia menganggap pendidikan merupakan salah satu "public goods" atau objek dalam pelayanan umum pemerintah untuk rakyatnya. Namun sejalan dengan bergulirnya waktu, pendidikan kini diketahui sebagai suatu investasi sumber daya manusia (SDM) yang jauh lebih menguntungkan bagi kemajuan suatu negara dibandingkan dengan investasi fisik.

Semakin dipahaminya pendidikan sebagai "means of investment” atau suatu alat investasi sumber daya manusia memberikan konsekuensi logis bahwa pendidikan selain harus sesuai dengan kebutuhan pembangunan juga harus selalu mengedepankan mutu demi tercapainya keluaran (output) yang mampu mendukung proses pembangunan di berbagai sektor. Di samping bermutu dan sesuai dengan kebutuhan pembangunan, akses terhadap kesempatan memperoleh pendidikan juga harus dimiliki oleh masyarakat secara meluas, sehingga pelayanan umum melalui pendidikan tidak lagi “membagi-bagikan” kesempatan pendidikan sebagai kebutuhan dasar tetapi menyebarluaskan kesempatan pendidikan untuk dapat dilaksanakan sebagai kegiatan produktif yang bisa dilakukan oleh seluruh warga negara tanpa terkecuali (equality of access of education).

Selain itu, pendidikan harus bersifat normatif dan etis-religius baik bagi masyarakat yang sedang dibangun maupun masyarakat yang telah membangun dan terus-menerus memperbaharui diri. Hal ini menjadi mutlak untuk dilaksanakan, terutama dalam era globalisasi saat ini, di mana semakin jelas tampak bahwa kedua unsur “perubahan” dan “kontinuitas” dalam pembangunan masyarakat perlu diberi perhatian yang memadai. Juga semakin transparan pula bahwa perubahan kini menjadi bagian mutlak yang tak terpisahkan dari kehidupan manusia modern. Tentunya, perubahan yang membuat manusia menjadi berkualitas dan bukan malah membuat manusia menjadi marjinal atau tanpa kualitas.

Kelemahan dan Problema Sistem Pendidikan di Indonesia

Di dalam undang-undang tentang sistem pendidikan nasional sudah secara gamblang dan komprehensif dicantumkan bahwa pendidikan merupakan usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui berbagai jalur pendidikan yang berguna bagi peranan mereka di masa yang akan datang. Sebagai usaha sadar ini, maka proses pendidikan harus dijalankan dengan sungguh-sungguh, dilaksanakan dengan sengaja, teratur, dan berencana. Pendidikan yang meliputi transfer ilmu pengetahuan dan pengalaman manusia diharapkan akan mengubah tingkah laku manusia ke arah yang diinginkan (humanisasi).

Sistem pendidikan nasional yang ada selama ini rupanya mengandung banyak kelemahan. Dari soal buruknya manajemen pendidikan sampai pada soal mengenai minimnya dana untuk pengembangan pendidikan. Ahli pendidikan, HAR Tilaar, seperti dikutip Qodri Azizi, menyebut ada beberapa kelemahan dalam sistem pendidikan nasional. Pertama, sistem pendidikan itu kaku dan sentralistik. Pola penyeragaman (uniformitas) dalam tubuh persekolahan, misalnya dalam pembuatan kurikulum yang tidak dipahami menurut kebutuhan masing-masing penyelenggara pendidikan. Kedua, sistem pendidikan nasional tidak pernah mempertimbangkan kenyataan yang ada di masyarakat. Masyarakat hanya dianggap sebagai objek saja (alat investasi sumber daya manusia bagi negara) sehingga masyarakat tidak pernah diperlakukan atau diposisikan sebagai subjek dalam pendidikan. Ketiga, dua problem di atas didukung oleh sistem birokrasi kaku yang dijadikan alat kekuasaan atau alat politik penguasa.2 Pendidikan tidak lagi menjadi subjek dalam pelayanan umum pemerintah untuk rakyatnya melainkan menjadi subjek bagi pemerintah.

Selain lemahnya sistem pendidikan nasional, pendidikan di Indonesia, khususnya di jenjang Dasar hingga Menengah mengalami problem pendidikan yang sifatnya sangat substansial. Problem-problem itu di antaranya: Pertama, beragamnya subjek mata pelajaran yang diramu menjadi suatu kegiatan belajar yang terpadu menyulitkan pengintegrasian di antaranya. Kehidupan nyata selalu membutuhkan integrasi beragam ilmu pengetahuan, kemampuan kognisi, kemampuan afektif, dan spirit berkinerja. Namun, kehidupan belajar di sekolah justru memisah-misahkannya karena guru-guru sesuai sistem pendidikan nasional berpanduan pada referensi atau kurikulum yang memisah-misahkan ilmu pengetahuan. Hal ini mengakibatkan kegagapan kolektif ketika lulusan sekolah masuk ke dunia nyata. Membutuhkan proses cukup panjang untuk bisa merubah paradigma dan cara mengajar yang integratif.

Kedua, sekolah terlalu berorientasi pada kecerdasan siswa. Di mana representasi kecerdasan telah tereduksi sedemikian rupa menjadi angka-angka (nilai). Padahal, tugas hakiki sekolah, sebagaimana mengutip Mohammad Fauzil Adhim (Suara Hidayatullah, 2008) adalah membentuk pribadi yang memiliki integritas moral tinggi, berakhlak mulia dan produktif yang berpijak pada fondasi akidah (keimanan). Banyak hal dalam definisi kecerdasan yang tak bisa diwakili dalam angka, namun nampak nyata-nyata ada dalam kehidupan.

Ketiga, sulitnya penerapan prinsip belajar yang menyenangkan dan kesetaraan guru-murid sebagai subyek pembelajar. Tanpa disadari, model pendidikan yang ada saat ini, dengan beban kurikulum yang padat sangat membelenggu bagi peserta didik. Peserta didik lebih diarahkan untuk memenuhi sejumlah target kurikulum. Sementara itu, lingkungan sekitar, konteks tempat seseorang hidup, dan tanda-tanda zaman kurang diberi perhatian.

Beragam permasalahan di atas berusaha untuk kita temukan jawabannya. Di saat bangsa kita sedang mengalami devaluasi nilai dan moralitas maka yang sangat diperlukan saat ini adalah mengkonstruksi kembali sebuah sistem pendidikan nasional yang berangkat dan bertumpu lewat wacana mengenai pendidikan yang memberdayakan. Nilai-nilai kemanusiaan perlu dimasukkan ke dalam karakter pendidikan sehingga akan menghasilkan kualitas manusia yang berwawasan dan berorientasi kemanusiaan. Konteks global pun sangat kita perlukan guna memperoleh bangunan paradigmatik yang kuat. Pendidikan yang memberikan bekal untuk memahami kehidupan dan bukan hanya pendidikan yang berorientasi bagi pemenuhan bekal “penghidupan” an saja. Pendidikan yang membebaskan (humanis) adalah harapan besar kita.

Pendidikan yang Membebaskan

Jika kita berbicara tentang pendidikan, kita juga harus berbicara tentang nilai-nilai kemanusiaan. Pendidikan dan manusia adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Mendidik berarti memperbaiki, menyempurnakan atau memanusiakan manusia.3 Dan pendidikan merupakan media kultural untuk membentuknya. Pendidikan yang dibutuhkan dalam hal ini adalah pendidikan yang membebaskan manusia untuk selalu sadar akan dirinya dan tidak tereksklusi dari masyarakat dan dunianya. Sebuah proses pendidikan yang tidak tercerabut dari realitas sosial, bukan pendidikan yang malah menjauhkan manusia atau peserta didik dari kenyataan hidup yang ada. Karena pada hakikatnya, pendidikan secara murni berupaya membentuk insan akademis yang berwawasan dan berkepribadian kemanusiaan.

Meminjam terminologi Paulo Freire, yang banyak kita kenal dengan gagasan penyadaran (conscientizacao)-nya. Freire mendeskripsikan bahwa pendidikan adalah suatu kampanye dialogis sebagai suatu usaha pemanusiaan secara terus-menerus.4 Pendidikan bukan menuntut ilmu, tetapi bertukar pikiran dan saling mendapatkan ilmu (kemanusiaan) yang merupakan hak bagi semua
orang tanpa kecuali. Gagasan Freire ini sangat menarik karena beliau ingin memperhadapkan pendidikan dengan realitas yang tengah bergumul di sekitarnya.

Pendidikan kritis (sebuah gagasan yang memang banyak dipengaruhi oleh Freire) merupakan suatu bentuk kritisisme sosial. Menurut Freire untuk menguasai realitas hidup ini termasuk menyadari
kebisuan itu, maka bahasa harus dikuasai. Menguasai bahasa berarti mempunyai kesadaran kritis dalam mengungkapkan realitas. Untuk itu, pendidikan yang dapat membebaskan dan memberdayakan adalah pendidikan yang melaluinya peserta didik dapat mendengar suaranya yang asli. Pendidikan yang relevan dalam masyarakat berbudaya bisu adalah mengajar untuk memampukan mereka mendengarkan suaranya sendiri dan bukan suara dari luar termasuk suara sang pendidik.5 Pendidikan adalah momen kesadaran kritis kita terhadap berbagai problem sosial yang ada dalam masyarakat.

Pendidikan pembebasan akan dicapai dengan menumbangkan realitas penindasan, yaitu dengan mengisi konsep pedagogis yang memberikan kekuatan pembebasan yang baru. Salah satu kritikan Freire adalah pendidikan yang berupaya membebaskan kaum tertindas untuk menjadi penindas baru. Bagi Freire pembebasan kaum tertindas tidak dimaksudkan supaya ia bangkit menjadi penindas yang baru, tetapi supaya sekaligus membebaskan para penindas dari kepenindasannya.6

Pendidikan “Hadap-Masalah”: Suatu Pendidikan Alternatif

Freire mengurai secara gamblang problem pengetahuan yang dipolakan dari sistem pendidikan yang menindas dan kontra-pembebasan. Selama ini, tradisi atau pola pendidikan gaya bank (Banking System Education) menjadi patokan dan rujukan dalam proses pendidikan yang kita jalankan. Disebut pendidikan gaya bank sebab dalam proses belajar mengajar guru tidak memberikan pengertian kepada peserta didik, tetapi memindahkan sejumlah dalil atau rumusan kepada siswa untuk disimpan yang kemudian akan dikeluarkan dalam bentuk yang sama jika diperlukan. Peserta didik adalah pengumpul dan penyimpan sejumlah pengetahuan, tetapi pada akhirnya peserta didik itu sendiri yang “disimpan” sebab miskinnya daya cipta. Karena itu pendidikan gaya bank menguntungkan kaum penindas dalam melestarikan penindasan terhadap sesamanya manusia.

Bertolak dari pemahaman yang demikian itu, maka Fraire menawarkan sistem pendidikan alternatif sebagai pengganti pendidikan “gaya bank” yang ditolaknya. Sistem pendidikan alternatif yang ditawarkan Freire disebut pendidikan “hadap-masalah”. Pendidikan “hadap-masalah” sebagai pendidikan alternatif yang ditawarkan oleh Freire lahir dari konsepsinya tentang manusia. Manusia sendirilah yang dijadikan sebagai titik tolak dalam pendidikan hadap-masalah. Manusia tidak mengada secara terpisah dari dunia dan realitasnya, tetapi ia berada dalam dunia dan bersama-sama dengan realitas dunia. Realitas itulah yang harus diperhadapkan pada peserta didik supaya ada kesadaran akan realitas itu. Konsep pedagogis yang demikian didasarkan pada pemahaman bahwa manusia mempunyai potensi untuk berkreasi dalam realitas dan untuk membebaskan diri dari penindasan budaya, ekonomi dan politik.7

Bagi Freire pendidikan yang membebaskan adalah pendidikan yang menumbuhkan kesadaran kritis
transitif. Dalam proses belajar yang demikian kontradiksi guru-murid tidak ada. Peserta didik tidak dilihat dan ditempatkan sebagai obyek yang harus diajar dan menerima. Demikian pula sebaliknya
guru tidak berfungsi sebagai pengajar. Guru dan murid adalah sama-sama belajar dari masalah yang
dihadapi. Guru dan peserta didik bersama-sama sebagai subyek dalam memecahkan permasalahan. Guru bertindak dan berfungsi sebagai koordinator yang memperlancar percakapan dialogis. Ia adalah teman dalam memecahkan permasalahan. Sementara itu, peserta didik adalah partisipan aktif dalam dialog tersebut.

Tinjauan Pemikiran Freire dalam Realitas Sosial Indonesia

Sistem pendidikan di Indonesia belum membebaskan. Peserta didik menjalani proses belajar bagaikan dalam penjara. Sekolah alternatif bisa menjadi solusi. Demikian disampaikan Ketua Komnas Perlindungan Anak DR. Seto Mulyadi kepada Subhi Azhari dari the WAHID Institute.8 Pendidikan yang membebaskan sejatinya adalah pendidikan yang membebaskan guru dan peserta didik dari hubungan dangkal dan temporer yang terbatas pada pemenuhan nilai-nilai dalam angka.

Pendidikan yang membebaskan adalah jawaban dari sebuah fakta mengejutkan bahwa pendidikan yang membebaskan menghargai kecerdasan majemuk setiap siswa, kaya metodologi, belajar tanpa batasan waktu, dan memperlakukan semua hal sebagai guru. Materi dalam proses pendidikan yang demikian tidak diambil dari sejumlah rumusan baku atau dalil dalam buku paket tetapi diambil sejumlah permasalahan yang terjadi di sekitar kita. Permasalahan itulah yang menjadi topik dalam diskusi dialogis itu yang diangkat dari kenyataan hidup yang dialami oleh peserta didik dalam konteksnya sehari-hari.

Dalam proses belajar mengajar, pemerintah Republik Indonesia telah mengupayakan untuk menerapkan pendekatan cara belajar siswa aktif (CBSA), tetapi hanya metodenya sajalah yang CBSA. Sementara materi yang disampaikan masih merupakan barang asing yang tidak lahir dari dalam konteks dimana manusia itu ada sehingga pada akhirnya siswa kembali menjadi “bank” penyimpanan sejumlah pengetahuan. Memang siswa aktif belajar dan mungkin berdiskusi dalam kelas tetapi yang didiskusikan dan dipelajari dalam kelas adalah sejumlah dalil dan rumus yang tidak punya hubungan dengan kehidupannya. Lagi pula relasi guru-siswa adalah pengajar dan yang diajar. Siswa adalah yang belum tahu dan harus diberitahu sedangkan guru adalah yang sudah tahu dan akan memberitahukan.

Adalah Bahruddin, pionir dari Kalibening, Kepala Sekolah SMP Qoryah Thoyyibah Kalibening, Salatiga. Bahruddin dengan komunitas belajar Qaryah Thayyibahnya adalah cara intelek pemuda masa kini menyelesaikan sekelumit permasalahan yang membelenggu dalam sistem pendidikan di Indonesia. Karena ia mendobrak dan merubah. Ia pendobrak kebekuan berpikir linear bahwa bersekolah itu harus di sekolah formal dan agen perubah dari kondisi status quo; yaitu sulit dan mahalnya mengakses pendidikan bermutu lagi membebaskan, terutama bagi warga desanya.

Pendidikan di Indonesia seharusnya belajar dari pendidikan yang dipelopori oleh Bahruddin ini. Pendidikan harus terlepas dari belenggu dan keharusan untuk menciptakan dan menghasilkan manusia-manusia yang instant tanpa kualitas. Kesadaran bahwa pendidikan itu untuk anak, belajar
itu hak bukan kewajiban. Pendidikan harus jauh berorientasi untuk menghasilkan sumber daya manusia yang secara kualitatif mampu melakukan transformasi secara aktif dan progessif dalam beragam level dan tingkatan masyarakat secara konsisten dan komprehensif. Sebuah proses pendidikan yang memanusiakan manusia atau membebaskan akan menjadi kenyataan dan bukan angan-angan tak berujung.

Kebenaran hanya milik Allah...
Wa Allahu a'lam bisshowab

Tidak ada komentar: