Rabu, 01 Juli 2015

Menilik Keputusan Menpora No. 01307 Tahun 2015 Tentang Pengenaan Sanksi Administratif Berupa Kegiatan Keolahragaan PSSI Tidak Diakui (Polemik Menpora vs PSSI)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Kementerian Pemuda dan Olahraga (“Kemenpora”) Republik Indonesia telah resmi membekukan Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (“PSSI”) melalui Keputusan Menpora Nomor 01307 Tahun 2015 tentang Pengenaan Sanksi Administratif Berupa Kegiatan Keolahragaan PSSI Tidak Diakui (“KEP 01307/2015”) yang ditandatangani oleh Menteri Pemuda dan Olahraga Imam Nahrawi pada Jumat, 17 April 2015. Berdasarkan Siaran Pers No. 19/Kom-Publik/Kemenpora/4/2015 yang dilansir dalam situs resmi Kemenpora (www.kemenpora.go.id) pada tanggal 18 April 2015, adapun pertimbangan dikeluarkannya KEP 01307/2015 ini adalah: bahwa dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 121 ayat (2) dan Pasal 122 ayat (2) huruf g Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Keolahragaan, Menteri mempunyai kewenangan untuk pengenaan sanksi administratif pada tiap pelanggaran administratif dalam pelaksanaan penyelenggaraan keolahragaan tingkat nasional.

Selain itu, bahwa secara de facto dan de jure sampai dengan tenggat batas waktu yang telah ditetapkan dalam Teguran Tertulis Nomor 01133/Menpora/IV/2015 tanggal 8 April 2015, Teguran Tertulis II Nomor 01286/Menpora/IV/2015 tanggal 15 April 2015 dan Teguran Tertulis III Nomor 01306/Menpora/IV/2015 tanggal 16 April 2015, PSSI nyata-nyata secara sah dan meyakinkan telah terbukti mengabaikan dan tidak mematuhi kebijakan Pemerintah melalui Teguran Tertulis dimaksud.

Lebih lanjut lagi, isi dari KEP 01307/2015 secara lengkap adalah sebagai berikut:
1. Pengenaan Sanksi Adminsitratif kepada Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia, yang selanjutnya disingkat Sanksi Adminsitratif kepada PSSI berupa kegiatan keolahragaan yang bersangkutan tidak diakui.
2. Dengan pengenaan Sanksi Administratif sebagaimana dimaksud pada DIKTUM PERTAMA, maka seluruh kegiatan PSSI tidak diakui oleh Pemerintah, oleh karena- 2 nya setiap Keputusan dan/atau tindakan yang dihasilkan oleh PSSI termasuk Keputusan hasil Kongres Biasa dan Kongres Luar Biasa tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, tidak sah dan batal demi hukum bagi organisasi, Pemerintah di tingkat pusat dan daerah maupun pihak-pihak lain yang terkait.
3. Dengan pengenaan Sanksi Administratif sebagaimana dimaksud pada DIKTUM PERTAMA dan DIKTUM KEDUA, maka seluruh jajaran Pemerintahan di tingkat pusat maupun di tingkat daerah, termasuk Kepolisian Negara Republik Indonesia, tidak dapat lagi memberikan pelayanan dan fasilitasi kepada kepengurusan PSSI, dan seluruh kegiatan keolahragaannya.
4. Pada saat Keputusan Menteri ini mulai berlaku:
a. Pemerintah akan membentuk Tim Transisi yang mengambil alih hak dan kewenangan PSSI sampai dengan terbentuknya kepengurusaan PSSI yang kompeten sesuai dengan mekanisme organisasi dan statuta FIFA;
b. Demi kepentingan nasional, maka persiapan Tim Nasional Sepakbola Indonesia untuk menghadapi SEA Games 2015 harus terus berjalan, dalam hal ini Pemerintah bersama KONI dan KOI sepakat bahwa KONI dan KOI bersama Program Indonesia Emas (PRIMA) akan menjalankan persiapan Tim Nasional;
c. Seluruh pertandingan Indonesia Super League/ISL 2015, Divisi Utama, Divisi I, II, dan III tetap berjalan sebagaimana mestinya dengan supervisi KONI dan KOI bersama Asprov PSSI dan Klub setempat.
5. Dalam pelaksanaan tugas dan kewenangan Tim Transisi sebagaimana dimaksud pada DIKTUM KEEMPAT huruf a, bertanggungjawab dan berkewajiban menyampaikan laporan kepada Menteri Pemuda dan Olahraga.
6. Biaya yang timbul akibat dari ditetapkannya Keputusan Menteri ini dibebankan pada Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran/DIPA Kementerian Pemuda dan Olahraga Tahun Anggaran 2015.
7. Keputusan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Berdasarkan isi dari KEP 01307/2015 di atas, pemerintah melalui Kemenpora telah menggunakan hak konstitusionalnya untuk tidak mengakui kepengurusan PSSI dengan melakukan pembekuan terhadap institusi tersebut. Di sisi lain, berdasarkan Pasal 2 ayat (2) 3 dan (4) Statuta PSSI, PSSI adalah organisasi kemasyarakatan dan independen yang didirikan berdasarkan hukum dan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, terdaftar di Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia dan berdomisili di Jakarta dan PSSI adalah anggota Fédération Internationale de Football Association (“FIFA”). PSSI sebagai salah satu anggota dari FIFA memiliki kewajiban sebagaimana tercantum dalam Pasal 13 ayat (1) Statuta FIFA yang berbunyi: “Members have the following obligations: a) to comply fully with the Statutes, regulations, directives and decisions of FIFA bodies at any time as well as the decisions of the Court of Arbitration for Sport (CAS) passed on appeal on the basis of art. 66 par. 1 of the FIFA Statutes;” Hal tersebut berarti, PSSI berkewajiban untuk tunduk pada aturan-aturan standar yang telah ditetapkan FIFA. Di lain pihak, keputusan pembekuan PSSI yang dikeluarkan oleh Menpora menjadi buah simalakama bagi PSSI karena PSSI menjadi tidak independen karena adanya intervensi dari Pemerintah, sehingga berbuah pada ancaman sanksi dari FIFA.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan fakta yang dijabarkan oleh penulis di atas, penulis kemudian tertarik untuk menilik Keputusan Menpora KEP 01307/2015 yang telah menimbulkan banyak reaksi dan pertanyaan tidak hanya bagi pengurus PSSI, tetapi seluruh komponen dan pelaku sepak bola di Tanah Air, baik itu manajemen klub, pemain, pelatih, suporter, sponsor dan tentu saja insan sepak bola. Sampai saat penulisan paper ini, Kemenpora dan PSSI belum menemukan titik temu dari polemik antara kedua belah pihak, padahal polemik ini apabila tidak segera ditangani bisa berujung pada sanksi yang diberikan oleh FIFA yang mengakibatkan Indonesia tidak dapat berlaga dalam kompetisi internasional.

Pembahasan yang akan dilakukan akan berkaitan dengan teori-teori etika yang telah dipelajari dalam buku Business Ethics Now karangan Andrew Ghillyer. Apakah peran Pemerintah melalui Kemenpora dalam keputusan pembekuan PSSI sudah tepat dan merupakan keputusan terbaik bagi semua pihak, mengingat konflik dalam kepengurusan sepak bola Indonesia antara PSSI dan Kemenpora mau tidak mau juga melibatkan FIFA sebagai induk dari PSSI (adanya conflicts of interest).


BAB 2 ANALISIS

Ethics atau Etika adalah standar mengenai benar atau salah yang dimiliki oleh seseorang. Etika adalah tentang bagaimana kita bersikap kepada orang lain dan bagaimana kita mengharapkan orang lain bersikap kepada kita.

Setiap orang memiliki standar etika yang berbeda-beda yang dipengaruhi oleh lingkungannya seperti teman, keluarga, etnis, agama, sekolah, media, maupun panutan yang dimilikinya. Lingkungan sekitar dan pengalaman yang diperolehnya membentuk standar etika yang berbeda-beda dan seiring dengan waktu, etika yang dimiliki seseorang juga dapat berevolusi sesuai pengalaman hidup yang dimilikinya.

Suatu kesamaan dalam standar etika yang dimiliki sekumpulan orang atau komunitas disebut dengan value yang kemudian jika diformalisasikan menjadi sebuah value system. Namun dalam kenyataannya, value dari suatu komunitas dengan komunitas lain dapat berbeda sehingga dibutuhkan sesuatu yang lebih kuat yang mengaturnya yaitu hukum negara dimana kumpulan orang tersebut berada.

Dalam penyelenggaraan pemerintahan, segala sesuatu sudah diatur menurut undang-undang yang ada dengan urutan dari yang tertinggi ke terendah adalah sebagai berikut UndangUndang Dasar 1945, Undang-Undang, Peraturan Pemerintah atau Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Peraturan Presiden, Peraturan Menteri, Peraturan Daerah, Peraturan Gubernur, dst, sesuai hierarkinya. Adapun peraturan yang lebih rendah adalah sebagai penjelasan dari peraturan di atasnya untuk lebih merinci, dan begitu seterusnya. Dalam penyelenggaraan hukum, hal ini dikenal sebagai azas “Lex speciali derogate lex generalis”. Namun azas ini berlaku dengan syarat bahwa peraturan yang lebih rendah yang dikeluarkan tidak menyalahi atau bertentangan dengan peraturan yang sebelumnya.

Dalam polemik antara Menpora dan PSSI, penulis mencoba untuk meninjau dari segi etika hukum undang-undang. Dari latar belakang permasalahan yang sebelumnya dijabarkan, kita 5 sudah mengetahui bahwa PSSI berkewajiban untuk tunduk pada aturan-aturan standar yang telah ditetapkan FIFA.

PSSI berdasarkan pasal 13 ayat (1) Statuta FIFA juga berkewajiban untuk: “1. Members have the following obligations: (g) to manage their affairs independently and ensure that their own affairs are not influenced by any third parties;” Kewajiban menjaga independensi organisasi itu kembali ditekankan pada pasal 17 ayat (2) Statuta FIFA tentang independensi anggota FIFA. Pada ayat ini diatur bahwa Setiap anggota harus mengelola semua urusannya secara independen dan tanpa pengaruh dari pihak ketiga, yaitu sebagai berikut: “Each Member shall manage its affairs independently and with no influence from third parties”.

Jika ada asosiasi yang melanggar, maka berdasarkan pada pasal 14 ayat (1) Statuta FIFA disebutkan bahwa Kongres FIFA bertanggung jawab untuk membekukan status keanggotaan sebagai berikut: “The congress is responsible for suspending a Member. The Executive Committee may, however, suspend a Member that seriously and repeatedly violates its obligations as a Member with immediate effect”. Lebih lanjut lagi, FIFA mengatur secara tegas anggota FIFA yang terkena sanksi bukan hanya dilarang, bahkan kemungkinan bisa dikucilkan oleh asosiasi yang lain. Bila ada asosiasi yang bekerja sama atau melaksanakan pertandingan atau hubungan kerjasama olahraga serta kompetisi dengan anggota yang dikenakan sanksi maka anggota tersebut juga akan terkena sanksi. “A suspended Member shall lose its membership rights. Other Members may not entertain sporting contact with a suspended Member. The Disciplinary Committee may impose

Keputusan Menpora yang tidak memberikan izin dan legalitas kepada PSSI dengan demikian bisa dianggap sebagai intervensi Pemerintah sebagai pihak ketiga sehingga mempengaruhi independensi dari PSSI. Sebagai Pemerintah yang memiliki peranan dalam menjalankan hukum dan perundang-undangan di Indonesia (the role of government), Menpora berwenang untuk mengambil tindakan sanksi bagi organisasi yang tidak menaati hukum di Indonesia, yang dalam hal ini, akibat dari polemik berkepanjangan di tubuh PSSI yang masih berseteru dengan Badan Olahraga Profesional Indonesia (“BOPI”) sebagai perwakilan pemerintah dalam kasus pengelolaan Liga Indonesia. 6 Wewenang dan tugas Kemenpora tersebut diatur dalam Undang-Undang Nomor 3 tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional yang disebutkan dalam pasal 12, 13, 14, 15 dan 16 .yang berbunyi sebagai berikut: pasal 12 ayat (1) berbunyi: “Pemerintah mempunyai tugas menetapkan dan melaksanakan kebijakan serta standardisasi bidang keolahragaan secara nasional.” Ayat (2): “Pemerintah daerah mempunyai tugas untuk melaksanakan kebijakan dan mengoordinasikan pembinaan dan pengembangan keolahragaan serta melaksanakan standardisasi bidang keolahragaan di daerah.” Pasal 13 ayat (1): “Pemerintah mempunyai kewenangan untuk mengatur, membina, mengembangkan, melaksanakan, dan mengawasi penyelenggaraan keolahragaan secara nasional.” Ayat (2) berbunyi: “Pemerintah daerah mempunyai kewenangan untuk mengatur, membina, mengembangkan, melaksanakan, dan mengawasi penyelenggaraan keolahragaan di daerah.”

Lebih lanjut, Pasal 14 ayat (1) berbunyi: “Pelaksanaaan tugas penyelenggaraan keolahragaan sebagaimana dimaksud dalam pasal 13 pada tingkat nasional dilakukan secara terpadu dan berkesinambungan yang dikoordinasikan oleh Menteri.” Ayat (2): “Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat 1, Pemerintah dapat melimpahkan sebagian kewenangannya kepada pemerintah daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.” Ayat (3): “Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2), pemerintah daerah membentuk sebuah dinas yang menangani bidang keolahragaan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.” Pasal 15 berbunyi : “Pemerintah pusat dan pemerintah daerah bertanggung jawab untuk mewujudkan tujuan penyelenggaraan keolahragaan nasional.” Pasal 16: “Ketentuan lebih lanjut mengenai tugas, wewenang, dan tanggung jawab Pemerintah dan pemerintah daerah sebagaimana dimaksud dalam pasal 12 sampai dengan pasal 15 diaturdengan Peraturan Pemerintah.”

Pembekuan PSSI oleh Pemerintah melalui Menpora merupakan buntut dari kekisruhan panjang yang terjadi dalam tubuh PSSI serta sikap PSSI yang tidak mengindahkan BOPI. PSSI sendiri memiliki begitu banyak catatan hitam dalam beberapa tahun terakhir. Sebagai sebuah lembaga yang kerap berlindung di bawah Statuta FIFA pasal 13 ayat (1) huruf g, PSSI tidak pernah menjadi organisasi yang transparan terkait masalah organisasi maupun masalah yang berhubungan dengan anggaran organisasi. Padahal PSSI mendapatkan anggaran dari 7 Kemenpora setiap tahunnya. Tidak berhenti sampai disitu. Pengelolaan Liga yang benaung di bawah kekuasaan PSSI terkesan amburadul. Pada masa tersebut, PSSI dengan mudahnya mengganti Liga Super Indonesia (“LSI”) menjadi QNB League, yang notabene hanya satu hari sebelum Liga tersebut bergulir.

Kekisruhan di tubuh PSSI bahkan telat berlangsung jauh sebelumnya. Indonesia saat itu mendapat sorotan dan menjadi pembicaraan Internasional setelah kasus “Sepakbola gajah” di pertandingan PSS Sleman vs PSIS Semarang. Dimana dari sisi klub Sepakbola, wacana klub LSI yang digadang-gadang oleh PSSI menjadi klub profesional hanyalah pepesan kosong semata dari saat wacana tersebut digulirkan sejak tahun 2004. Banyak klub LSI yang masih menggunakan bantuan untuk menjalankan operasional klub dari Pemerintah Daerah atau Pemerintah Kota yang tidak lain bertugas menjadi perwakilan dari Pemerintah Pusat untuk melaksanakan kebijakan dan mengoordinasikan pembinaan dan pengembangan keolahragaan serta melaksanakan standardisasi bidang keolahragaan di daerah sebagaimana telah disebutkan di atas. Hal tersebut diperparah dengan prestasi Timnas Indonesia yang nihil gelar dari tahun ke tahun, hingga berujung pada jebloknya peringkat Indonesia berdasarkan peringkat FIFA, yaitu di bawah Timor Leste.

Berdasarkan prinsip Corporate Governance dalam buku Business Ethics Now yang dikarang oleh Andrew Ghillyer dikenal dua metodologi Tata Kelola, yaitu: “Comply or Explain”: A set of guidelines that require companies to abide by set of operating standards or explain why they choose not to atau “Comply or Else”: A set of guidelines that require companies to abide by a set of operating standards or face stiff financial penalties Bila sepakbola Indonesia mendapatkan sanksi dari FIFA, maka pertanyaan yang akan muncul adalah apakah Indonesia tidak bisa bermain sepakbola akibat tidak adanya pengakuan dari FIFA (Comply or Else)? Secara peraturan hukum di Indonesia sebagaimana telah dijelaskan di atas, Indonesia bukan berarti tidak bisa memiliki Liga Sepakbola sendiri apabila sanksi dari FIFA benar-benar dijatuhkan untuk di Indonesia. Sepakbola tetaplah bisa dimainkan dan Indonesia tetap bisa memiliki LSI meski tidak diakui oleh dunia Internasional. 8 Secara implisit, Menpora tidak melakukan pelanggaran terhadap Statuta FIFA pasal 13 ayat (1) huruf g karena dianggap telah melakukan intervensi terhadap PSSI terkait dengan keputusan pembekuan PSSI oleh Menpora. Dalam hal ini, Menpora tidak mengganggu urusan internal PSSI karena pada saat dikeluarkan Keputusan pembekuan PSSI ini, pihak PSSI pun tengah mengadakan Kongres Luar Biasa PSSI. Selain itu, tidak ada campur tangan dari Menpora kepada para pemangku jabatan di PSSI.

KEP 01307/2015 hanya tidak mengakui PSSI sebagai sebuah organisasi yang legal karena dianggap tidak mengindahkan peraturan dan himbauan Kemenpora. Itu sebabnya, ancaman sanksi FIFA memang membayangi Indonesia. Hingga saat penulisan paper ini, FIFA telah bereaksi dengan memberikan tenggat waktu hingga 29 Mei 2015 kepada Kemenpora dan PSSI untuk dapat menyelesaikan polemik yang terjadi di antara kedua belah pihak. Apabila konflik tidak dapat diselesaikan, maka Indonesia akan mendapat sanksi dari FIFA sehingga tidak dapat ikut berlaga dalam kompetisi Internasional. Secara hukum, Keputusan Menpora yang membekukan PSSI dan memberikan sanksi tidak diakui oleh Pemerintah merupakan keputusan final yang harus dilaksanakan oleh PSSI. Apabila terdapat pihak yang tidak setuju dengan keputusan tersebut, maka jalan yang dapat ditempuh adalah dengan menggugat Keputusan Menpora tersebut yaitu dengan melakukan pengujian materi di Pengadilan Tata Usaha Negara (“PTUN”).

Dilihat dari perspektif hukum, Keputusan Menpora tersebut merupakan keputusan eksekutif dari seorang pejabat publik. Jika dikaitkan dengan prinsip etika, tindakan yang dilakukan oleh Menpora adalah melakukan apa yang benar sesuai dengan amanah Undang-Undang (doing the right things) yang dalam Hukum Tata Usaha Negara hal tersebut disebut dengan istilah beschikking. Dengan demikian, keputusan tersebut dianggap sah selama belum diuji di PTUN dan dianggap sah juga karena sesuai dengan pasal 1 angka 9 Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang PTUN serta keputusan ini dianggap final. Jika keputusan itu bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan asas-asas umum tata kelola pemerintahan yang baik (good governance), demi tercapainya legal standing yang pasti, keputusan Menpora tersebut dapat diajukan ke PTUN untuk dilakukan uji materiil.

BAB 3 KESIMPULAN DAN SARAN

3.1. Kesimpulan

Berdasarkan analisis di atas, penulis menarik kesimpulan bahwa Keputusan Menpora Nomor 01307 Tahun 2015 tentang Pengenaan Sanksi Administratif Berupa Kegiatan Keolahragaan PSSI Tidak Diakui yang dikeluarkan oleh Imam Nahrawi sebagai Menteri Pemuda dan Olahraga telah sesuai dengan amanat Undang-undang yang berlaku. Jika dikaitkan dengan prinsip etika, tindakan yang dilakukan oleh Menpora adalah melakukan apa yang benar sesuai dengan amanah Undang-Undang (doing the right things).

Walaupun pada saat keputusan ini dikeluarkan timbul banyak reaksi pro dan kontra, namun perlu dipahami bahwa keputusan tersebut merupakan keputusan yang diambil oleh Pemerintah yang secara tugas dan tanggung jawabnya memang berwenang untuk menetapkan dan melaksanakan kebijakan serta standardisasi bidang keolahragaan secara nasional. Pemerintah dalam rangka memperbaiki kekisruhan yang terjadi pada PSSI dan demi tercapainya tata kelola pemerintahan yang baik, keputusan tersebut layak diambil walaupun dengan dikeluarkannya keputusan tersebut, Indonesia mungkin terkena sanksi dari FIFA (comply or else). Dengan demikian, keputusan tersebut secara hukum mengikat dan harus dilaksanakan sepenuhnya oleh PSSI.

3.2. Saran

Permasalahan yang terjadi dalam konflik PSSI menjadi sangat rumit karena banyak kepentingan bagi para pihak yang berkonflik (conflict of interest). Dilema terjadi dalam tubuh pemerintah karena beberapa peraturan di Statuta FIFA tentang pelarangan pihak ketiga untuk ikut campur dalam penyelesaian konflik PSSI. 10 Para pihak yang berkonflik juga harus bekerja sama untuk tujuan bersama yaitu kebangkitan persepakbolaan Indonesia dan mengesampingkan kepentingan pribadi dan kelompok. Menurut penulis, Keputusan Menpora tentang pembekuan PSSI tersebut sudah tepat. Demi tercapainya kebangkitan persepakbolaan di negeri sendiri, Indonesia perlu berbenah diri terlebih dahulu dengan carut marut yang ada. Dukungan dari pemerintah juga sangat diperlukan bagi segenap lapis insan persepakbolaan, seperti kemudahaan fasilitas dalam berlaga, jaminan pengelolaan klub sepakbola yang professional, dan lain-lain. Pada saat penyelesaian paper ini, belum ada titik temu antara kedua belah pihak dalam menanggapi sanksi yang akan dijatuhkan oleh FIFA. Namun demikian, pembekuan PSSI oleh Menpora diharapkan dapat menjadi titik awal dari bangkitnya persepakbolaan di Indonesia

Minggu, 24 Mei 2015

ITALIAN CRISIS AT A GLANCE


The Lehman Brothers collapse in September 2008 revealed the seriousness of the crisis and it represents the starting point of the financial and economic crisis. The Lehman Brothers collapse initiated the most dramatic phase of the crisis by bringing about a contraction in the interbank loan market.Banks refused to lend money to each other because of a lack of liquidityand uncertainty about the financial soundness of borrowers. The liquidity crisis induced governments to support national banks with loans, and the European Central Bank cut the discount rate. However, banks reduced the availability of credit to clients to regain liquidity.

At this event, the 2008 financial crisis rapidly developed and spread into a global economic shock, which resulted in a number of European bank failures and stock market declines. Economies worldwide slowed during this period due to tightening credit and drops in international trade,following the rapid decline of economic activity in Europe.Italy was among those Euro area countries which have been particularly struck by the financial and economic crisis in 2008.

The Italian economy is the third largest in the Euro area and the global economic crisis hit Italy harder than expected. The economy was severely hit by the crisis, recording a huge collapse in exports and investment.According to data published in the July 2009 update of the International Monetary Fund’s (IMF) World Economic Outlook, real output growth in Italy contracted by 1 percent in 2008 and 5.1 percent in 2009.

In Italy there are a few large banks and many small and medium-sized banks operating on a regional scale. The crisis touched the larger banks, which lost funds as a result of the Lehman Brothers crash, or found their assets devalued by the stock-market collapse. However, Italian banks were not very heavily involved in highly speculative sectors. The main problem for Italian banks,apart from the reduction in liquidity, came from links with Central and Eastern European countries which is a part of European Union network. There was a risk of the collapse or illiquidity of this part of the network.

Moreover, small and medium-sized banks reacted to the liquidity crisis by reducing credit to clients and consumers and raising the amount of collateral required for new loans. This policy reduced investment in machinery and houses and threatened the viability of small and medium sized firms in various sectors, in particular the more obsolete or export oriented of them. Moreover, credit restrictions and pessimistic outlooks deterred consumers from spending. 2 The Italian Government dealt with the crisis in two main ways: supporting banks to avoid the domino effect of their fall and supporting large firms which allowed them to retain their employees, and cutting public spending.

In November 2008, the Italian Government was introduced the first stimulus package amounting to US$3.8 billion (€3 billion) to counter the contagion effects of the global economic crisis. Based on the above background, this paper will outline Italy’s economic situation in the midst of the current crisis.This paper gives an overview of the evolution of the financial and economic crisis from its very inception in 2008 with the subprime crisis in the US, the current situation of Italy’s economy, including a discussion of the effects of the economic and financial crisis in Italy, and how the Italian Government dealt with the Italian crisis.