Rabu, 15 September 2010

Untuk Kalian Wahai Jiwa-Jiwa Yang Masih Merasakan Pilu, Bangkit dan Bergegaslah!!!



Sebuah judul artikel membawa saya pada suatu titik ke’muak’an yang teramat sangat. Laporan dari Den Haag Selasa, 14 September 2010 yang saya unduh dari situs detikcom pukul 19:09 WIB yang berjudul Saatnya Rakyat Mengambil Sikap untuk Menghukum DPR” begitu mematahkan hati, menohok, dan mencabik-cabik rasa kebangsaaan ini. Sebuah artikel yang semakin mengugurkan tiap-tiap kebanggaan atas betapa besarnya anugerah Tuhan untuk bangsa yang begitu kaya akan keberagamannya ini. Artikel yang kadang kala membawa saya pada kelemahan kepercayaan akan harapan kembalinya kejayaan bangsa ini seperti waktu dahulu kala. Artikel yang disisi lain justru memberikan sebuah semangat untuk semakin giat menjadi agen perubahan bagi bangsa ini.


Masih segar diingatan saya kala Dosen dalam kelas Kebijakan Pajak memberikan sebuah tamparan atas carut marutnya bangsa ini. Krisis kepercayaan, krisis kebangsaaan, krisis atas kemampuan bangsa sebesar Indonesia untuk bangkit dari keterpurukan menjadi sebuah triggerbagi generasi digital macam kita ini untuk memasuki dunia yang tentunya tidak baru tetapi membutuhkan nyali dan pengorbanan yang tidak sedikit untuk terus berbuat yang terbaik bagi bangsa ini.


Wahai Jiwa Yang Mati, bukan karena kematian dalam keniscayaan, tapi kematian yang terselubung, menutupi, dan menggerogoti jiwa ini. Naudzubillah…

Den Haag - Anggota DPR ibarat gerombolan penggangsir uang pajak rakyat. Apapun suara keberatan rakyat atas penghambur-hamburan uang pajak, terbukti tak pernah didengar. Saatnya rakyat bersikap untuk menghukum mereka.

Hal itu disampaikan President of Islamic University of Europe, Rotterdam, Dr. Sofjan Siregar, MA kepada detikcom, Selasa (14/9/2010), menanggapi rencana studi banding Panja DPR ke beberapa negara tujuan.

"Uang rakyat dipungut paksa melalui instrumen pajak, dari kelas miskin, menengah, sampai yang kaya raya semuanya kena tanpa kecuali. Kita rela membayar pajak, tapi seperti di Eropa harus sen demi sen digunakan untuk kesejahteraan rakyat. Bukan untuk digangsir secara legal dengan macam-macam kedok," kecam Sofjan.

Menurut Sofjan, suara-suara keberatan dari rakyat itu karena uang yang dipakai anggota DPR untuk program jalan-jalan berkedok studi banding itu berasal dari uang jerih payah rakyat yang terkumpul melalui pajak.

"Supaya disadari oleh anggota DPR, bahkan uang untuk pakaian perlente mereka, untuk makan mereka dan mengisi perut anak istrinya itu dari uang rakyat," tegas Sofjan.

Lanjut Sofjan, ulah dan tingkah laku anggota DPR nampaknya semakin terang-terangan bertambah rakus dan tidak sesuai akal sehat. Rakyat yang merasa tersakiti dan selalu protes menyampaikan keberatan, tapi tidak pernah di dengar oleh mereka.

"Saatnya sekarang rakyat menghukum DPR. Seperti di Negeri Belanda, menghukum DPR itu melalui pemilu. Jangan lagi asal percaya," Sofjan mengingatkan.

Dikatakan, bahwa studi banding-studi banding DPR dengan biaya miliaran ke semua pelosok hampir seluruh negara-negara di dunia itu sudah terbukti tidak ada feedback yang signifikan buat negara dan legislasi.

"Konyolnya lagi, RUU terkait akan dibahas bulan Oktober 2010, tapi DPR mau studi banding beberapa hari saja sebelum pembahasan RUU. Kalau mau menipu, mbok ya jangan lebih bodoh dari penipu jalanan," kritik pria yang juga Ketua ICMI Eropa ini.

Untuk program-program penggangsiran uang rakyat berkedok studi banding itu, lanjut Sofjan, DPR sebenarnya bisa meminta informasi via KBRI di negara yang mau dikunjungi, apalagi cuma soal kepramukaan.

Seluruh dana studi banding tahun ini agar dialokasikan ke korban bencana alam seperti korban letusan Gunung Sinabung di Sumatera. "Jika anggota DPR merasa bukan Dewan Perampok Rakyat, semestinya mereka studi banding ke Gunung Sinabung ketimbang ramai-ramai kelayapan ke berbagai negara, sambil menggangsir uang rakyat melalui Surat Perintah Dinas atau uang saku," tandas Sofjan. Eddi Santosa - detikNews


Baca dan rasakan sensasinya! Wahai jiwa-jiwa yang masih merasakan pilunya dikhianati jiwa-jiwa yang dahulu telah engkau pilih dan percayakan untuk membawa perubahan pada bangsa ini, mari bangun dan bergegaslah menantang zona nyaman kita selama ini. Barikade kedzaliman ini sudah harus segera mungkin diruntuhkan dan saya yakin generasi seperti Kita lah yang pada saat fajar esok menyingsing mampu melangkahkan kaki lebih cepat untuk menyegerakan berbuat (sekecil) apapun untuk menggoreskan perubahan bagi bangsa ini. Bangkit dan Bergegaslah!!!

Senin, 13 September 2010

Pelajaran Dari Lantai Ini: "Boleh Berharap, Tapi Jangan Berharap-harap"

Pelajaran Dari Lantai Ini: "Boleh Berharap, Tapi Jangan Berharap-harap"



Ini pagi indah…

Bagaimana caranya agar ini tidak terlihat begitu berlebihan? Tapi, perasaan saya sudah cukup sangat berlebihan merasakan hal ini. Kalau diingat dan dihitung, berarti saya sudah 60 hari meninggalkannya, meninggalkan lantai itu. Lantai itu saya beri nama lantai 6. Lantai 6, ya..di lantai yang menyenangkan, di lantai yang membuka mata saya, lantai di mana saya terpesona oleh keelokan suasana dan kondisi indah religi yang saya lihat saat pertama kali bercengkrama dengan lantai ini.

Lantai ini, lantai 6 ini, tak pernah seperti yang saya bayangkan sebelumnya. Lantai yang penuh keseriusan, lantai yang hanya menawarkan kesibukan yang tiada henti tanpa memberikan ampun atas segala rupa transaksi yang berlangsung dan terjadi di atas lantai ini.

Lantai ini, lantai 6 ini, tak pernah seperti yang saya rasakan sebelumnya. Lantai yang penuh romantika cinta dan segala rupa nuansa kekerabatan yang begitu kental. Antara yang muda dan yang sudah berumur berbaur menjadi satu dalam sebuah keluarga di lantai 6.

Barangkali saya pikir, ini sudah sangat berlebihan ketika saya harus memintakan diri ini untuk bercerita atas perasaan yang saya rasakan dalam hati. Hampir dua bulan sudah, tapi rasanya begitu menyedihkan. Ketika harus mengingat betapa buruknya pengalaman yang saya rasakan di lantai yang berbeda. Pengalaman kecewa yang begitu amat-amat mendalam harus saya rasakan. Sampai-sampai diri ini tak sanggup untuk memendamnya dan mau tidak mau melampiaskannya dengan bergalau ria di jejaring sosial. Yang itu cukup menandakan betapa saya hampir gila atas perlakuan yang saya terima di lantai lain itu.

Kekecewaan yang sangat mendalam atas sebuah keterasingan yang menurut saya tidak layak untuk saya terima. Kekecewaan atas keterasingan yang telah sengaja diberikan atas mekanisme yang aneh dari lantai lainnya. Menyebalkan sekali, ketika apa yang seharusnya kita terima sebagaimana mestinya ternyata tidak kita terima akibat kesalahan system atau mungkin karena memang system yang salah menerapkan apa yang telah menjadi code of conduct yang dijunjung tinggi di pelbagai lantai di bawah atap ini.

Ah, tapi sudah cukuplah, mengeluh dan mengaduh atas yang tidak perlu diaduhkan. Jadi teringat, ini memang salah saya, atas tamparan yang diberikan lewat status orang. Salah saya, ketika menaruh harapan yang berlebih pada sesuatu yang tidak seharusnya tidak disandarkan untuk diharapkan. Karena sesungguhnya pengharapan tertinggi memang haruslah teruntuk kepada yang Maha Pemberi. Bahwasanya, penggantungan harapan itu tak seperlunya setinggi apa yang tidak mungkin kita raih dalam hal menjadikan orang lain, institusi, atau yang setara dengannya sebagai tujuan akhir kita. Salah, itu salah besar. Jangan sekali-kali berkepercayaan tinggi bahwa yang kita harapkan atas hal tersebut padanya akan berjalan sebagaimana yang kita inginkan.

"Boleh berharap, tapi jangan berharap-harap!" Tapi intinya, ujungnya, bahwasanya seorang manusia seperti saya ini haruslah mawas diri apabila berpengharapan. Haruslah mengerti dan memahami betul tidak semua yang kita inginkan akan kita dapatkan. Yang maha Pemberi sudah memiliki aturanNya kepada manusia masing-masing. Maka dari itu, berpengharapan lah terbesar hanya kepada Sang maha Pemberi. Karena sesungguhnya Dia telah memiliki banyak hal yang tidak kita ketahui untuk Dia bagi pada Kita, yaitu apa yang menjadi kebutuhan kita, bukan apa yang kita inginkan.

Kembali lagi ke lantai 6, lantai di mana pengharapan itu akhirnya bersemi kembali. Saat di mana, harapan sudah mulai tumbuh seiring dengan apa yang telah menjadi harapan saya sebelumnya kala itu, kala waktu dahulu saya telah memintanya untuk dapat bergabung dengan yang sesuai yang saya inginkan. Singkat kata, maka saya dengan hati gembira menerima bahwa di lantai inilah saya akan memulai melakukan banyak aktivitas.

Hari demi hari berlalu, dan saya boleh tau kalau ternyata, tetap saja apa yang saya inginkan tidak sebagaimana yang saya harapkan dari awal saya mulai berada di lantai ini. Ternyata tetap saja, kekecewaan ini muncul manakala hal ini masih tidak sesuai dengan pengharapan sesungguhnya yang saya inginkan. Saya kecewa, lagi-lagi kecewa. Sempatlah saya untuk menyadari bahwa saya mulai hampir menyerah pada keadaan. Tapi begitulah pelajaran yang berharga dari lantai ini, sungguh kekecewaan akan muncul manakala pengharapan tidak bergantung pada Yang Maha Tinggi. Sebuah pelajaran yang begitu berharga.

Minggu, 12 September 2010

Kesetaraan Gender: Menuju Dunia yang Lebih Adil

Kesetaraan Gender: Menuju Dunia yang Lebih Adil

Wilis Windar Astri[1]



All human being are born free and equal in dignity and right.
There are endowed with reason and conscience and should act
towards one another in a spirit of brotherhood.
(Article I, Universal Declaration of Human Rights)



Memaknai kesetaraan bukanlah sesederhana yang dibayangkan. Ibarat timbangan, maka kesetaraan akan dapat terlihat dari adanya keseimbangan yang terjadi antara sisi timbangan yang satu dengan sisi timbangan lain. Yang harus dipahami lebih lanjut bahwa bila kesetaraan merujuk pada tingkatan nilainya, maka keseimbangan tersebut lebih merujuk pada berat suatu nilai. Hal tersebut sangat identik dengan keadilan, sesuatu yang sama kedudukannya dan tidak berat sebelah. Menurut Rawls[2] kata adil mengandung lebih dari satu arti. Adil dapat berarti menurut hukum dan apa yang sebanding, yaitu yang semestinya. Menilik pada hal tersebut, maka dengan demikian kesetaraan gender pun mempunyai misi yang sama pula. Misi yang memberikan ruang bagi adanya keseimbangan peran seorang manusia baik itu laki-laki atau perempuan.

Wacana dan isu mengenai kesetaraan gender ini memang selalu menarik untuk dibahas, terutama dalam kaitannya dengan permasalahan peran struktural gender di kehidupan sosial. Judith Lorber dalam The Social Construction of Gender[3] mengungkapkan bahwa berbicara tentang gender bagi sebagian besar orang setara dengan ikan yang berbicara mengenai air. Gender dalam kehidupan sosial merupakan proses menciptakan pembedaan status sosial atas peran yang diemban dan tanggung jawab, biasanya mempertimbangkan gangguan-gangguan atas ekspektasi bagaimana perempuan dan laki-laki seharusnya berperilaku. Sebagai bagian dari sistem stratifikasi yang menempatkan status sosial dengan tidak adil, gender justru menjadi sebab utama penghalang dalam struktur sosial yang dibangun atas ketidakadilan status tersebut. Merujuk pada hal ini, lantas, apakah kesetaraan gender mampu menjawab tantangan ketidakadilan yang disebabkan oleh ideologi gender itu sendiri?

Seiring dengan hal tersebut dan dengan semakin dipahaminya kesetaraan gender sebagai sebuah tuntutan yang tidak terelakkan lagi ditengah derasnya arus globalisasi, membuat permasalahan ini kian mendapat sorotan, baik dari para aktivis LSM maupun para penggiat kesetaraan gender. Kesetaraan gender diharapkan mampu membawa manusia menuju dunia yang lebih adil melalui perspektif gender. Kesetaraan gender menjadi sebuah jawaban mengejutkan atas fakta ketidakseimbangan peran laki-laki dan perempuan yang berujung pada ketidakadilan gender.

Gender sebagai konstruksi sosial, yang telah disosialisasikan sejak lahir, ternyata telah menyumbangkan ketidakadilan (inequalities).[4] Prof. Dr. Agnes Widanti[5] dalam bukunya Hukum Berkeadilan Jender mengungkapkan bahwa ketidakadilan gender ini merupakan ketidakadilan sosial yang menyertakan struktur-struktur kekuasaan dalam masyarakat dalam bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, hukum, dan ideologi. Ketidakadilan gender selanjutnya dimaknai sebagai akibat dari sistem dan struktur dimana baik laki-laki dan perempuan menjadi korban dari sistem dan struktur tersebut. Ketidakadilan gender yang lahir dari perbedaan gender termanifestasikan dalam pelbagai bentuk ketidakadilan yakni[6]: marjinalisasi atau proses pemiskinan ekonomi, subordinasi atau anggapan tidak penting dalam keputusan politik, pembentukan stereotip atau melalui pelabelan negatif, kekerasan (violent), beban kerja lebih banyak dan lebih panjang (burden), serta sosialisasi ideologi nilai gender.

Marjinalisasi atau pemiskinan ekonomi terjadi karena adanya pandangan yang masih bias gender. Jika menelisik lebih lanjut, pemiskinan ekonomi tersebut seringkali terjadi pada perempuan. Pekerjaan perempuan dilihat sebagai hal yang sekunder dan bagian alami dari peran biologisnya, suatu proses yang dilukiskan oleh Barbara Rogers sebagai “domestifikasi perempuan” (domestication of women). Hal tersebut berakibat pada pembagian kerja yang cenderung menempatkan laki-laki untuk melakukan pekerjaan yang dibayar dan perempuan mengerjakan pekerjaan yang tidak dibayar sehingga berimplikasi pada pemiskinan kaum perempuan.

Selanjutnya, salah satu ideologi yang paling kuat yang menyokong perbedaan gender adalah pembagian dunia ke dalam ranah publik dan privat. Menurut Roos Pool[7], distingsi antara privat dan publik, perempuan dan laki-laki, sebetulnya merupakan hasil sejarah modern, yang juga mengakibatkan nilai-nilai dan moralitas—sebentuk watak—yang berbeda. Ini berimplikasi penting terhadap praktik pembangunan dan kemampuan perencanaan pembangunan untuk memastikan bahwa pembangunan tidak berat sebelah serta menguntungkan perempuan maupun laki-laki.

Di masyarakat sendiri, subordinasi terhadap perempuan terjadi justru karena kebijakan pemerintah, tafsir agama, hukum, tradisi, atau kebiasaan.[8] Akibatnya perempuan tidak terwakili dengan semestinya dalam ranah publik, sehingga perempuan tersubordinasi dalam pengambilan keputusan yang mempengaruhi kesejahteraan gendernya. Masalah ini kian diperparah dengan adanya stereotip yang menyebabkan pembagian kerja antara laki-laki dan perempuan berbeda, di mana laki-laki mendapat porsi yang lebih menguntungkan dari perempuan dengan alasan laki-laki cocok menjadi makhluk publik yang berupah dan perempuan makhluk domestik yang tidak berupah.[9]

Selain itu, manifestasi dari ketidakadilan gender tersebut juga berdampak pada kekerasan khususnya terhadap perempuan. Hal ini dipahami dengan menguraikan peran laki-laki maupun perempuan yang kemudian dikonstruksi dalam peran gender yang pada tingkat selanjutnya banyak melahirkan bentuk-bentuk ketidakadilan gender, di mana laki-laki baik secara sadar maupun tidak sadar bertindak sebagai pelaku kekerasan.

Ketidakadilan gender pun tercermin pula pada adanya beban ganda yang dipukul oleh perempuan. Walaupun beban antara laki-laki dan perempuan dalam sebuah rumah tangga telah dipilah sedemikian rupa secara tegas, di mana tugas-tugas domestik menjadi tanggung jawab perempuan, sedangkan tugas-tugas publik menjadi tanggung jawab laki-laki. Pada kenyataannya, perempuan di samping menjadi makhluk domestik juga dituntut bekerja sebagai makhluk publik karena penghasilan tidak mencukupi. Beban ganda ini yang dirasakan tidak adil dan melahirkan dominasi laki-laki.

Begitu kompleksnya manifestasi dari ketidakadilan gender ini sedikit banyak membuka mata bahwa permasalahan sesungguhnya bukanlah terletak pada perempuan maupun laki-laki, tetapi dalam ideologi, sistem, struktur yang bersumber dari ketidakadilan gender (gender inequalities). Sayangnya, menolak ketidakadilan gender (gender inequalities) bukanlah jalan yang tepat, bisa jadi ini justru merupakan sesuatu yang sangat mengancam karena berarti menolak seluruh struktur sosial. Maka, yang menjadi fokus utama dalam menyelesaikan permasalahan di atas adalah dengan mewujudkan keadilan gender yang tak lain merupakan manifestasi dari kesetaraan gender.

Perwujudan kesetaraan gender sebenarnya telah termaktub pada Kovenan Ekosob, di mana Indonesia sebagai pihak yang terlibat dalam Kovenan ini telah terikat dan berjanji untuk menjamin hak yang sama antara laki-laki dan perempuan untuk menikmati semua hak-hak ekonomi, sosial dan budaya yang tercantum dalam Kovenan ini. Selain itu, dengan diratifikasinya Konvensi CEDAW (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Againts Women), Indonesia berkewajiban untuk melaksanakan langkah-langkah khusus sementara (temporary special measure) untuk mencegah terjadinya diskriminasi akibat ketidakadilan gender. Tindakan-tindakan tersebut merupakan affirmative action yang diharapkan menjawab kebutuhan praktis maupun strategis perempuan, memperjuangkan perubahan posisi perempuan, termasuk membangun diskursus terhadap ideologi gender yang telah mengakar dalam keyakinan perempuan dan laki-laki.

Salah satu langkah affirmative action untuk mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender adalah dengan pengarusutamaan gender agar laki-laki dan perempuan secara bersama-sama bisa berada pada tingkatan partisipasi yang adil dan setara dalam pembangunan. Adapun gagasan yang dapat dikembangkan, di antaranya:

1. Pengentasan kemiskinan, dengan memberikan ruang bagi perempuan untuk mengembangkan bisnis mikro rumahan sebagai jalan yang paling rasional bagi pemberdayaan (empowerment) perempuan.

2. Keterlibatan yang adil dalam perekonomian, adanya jaminan bagi perbaikan kualitas hidup bagi laki-laki dan perempuan berkenaan dengan akses dan informasi yang berguna dalam pengambilan keputusan

3. Pembentukan kembali pembagian kerja secara seksual untuk menghindari adanya diskriminasi akibat stereotip yang melekat dalam diri laki-laki dan perempuan

4. Penciptaan pranata politik yang melindungi dan memungkinkan pelaksanaan hak azasi warga negara dan sosial (termasuk hak-hak perempuan) dalam hukum berkeadilan gender[10] yaitu hukum yang memungkinkan keseimbangan hubungan dinamis antara laki-laki dan perempuan dalam struktur-struktur kekuasaan dalam masyarakat dan negara dalam bidang sosial, ekonomi, politik, hukum, dan ideologi.

5. Adanya penghargaan terhadap nilai kultural dan aspirasi berbagai kelompok sosial sebagai katalisator dalam pembangunan.

DAFTAR PUSTAKA

Budiman, Arief. 1981. Pembagian Kerja Secara Seksual. Jakarta: PT Gramedia

Fakih, Mansour. 1996. Analisa Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Mosse, Julia C. 2003. Gender & Pembangunan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Ore, Tracy E. 2000. The Social Constructions of Difference and Inequality Race, Class, Gender, and, Sexuality. California: Mayfield Publishing Company

Pool, Roos. 1993. Moralitas & Modernitas. Di bawah baying-bayang Nihilisme (terj. Budihardiman). Yogyakarta: Kanisius

Rawls, J.A. 1973. Theory of Justice. London: Oxford University Press

Sadli, Saparinah dkk. 2001. Wanita dalam Masyarakat Indonesia Akses, Pemberdayaan dan Kesempatan. Yogyakarta: Sunan Kalijaga Press

Widanti, Agnes. 2005. Hukum Berkeadilan Jender. Jakarta: Penerbit Buku Kompas



[1] Mahasiswa aktif Jurusan Ilmu Administrasi Fiskal. Saat ini, aktif pula sebagai Deputi Internal Pusat Kajian dan Studi Gerakan-Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia (PUSGERAK BEM UI) 2010

[2] J.A. Rawls, Theory of Justice, (London: Oxford University Press, 1973), hal. 212.

[3] Tracy E. Ore, The Social Constructions of Difference and Inequality Race, Class, Gender, and, Sexuality, (California: Mayfield Publishing Company), 2000, hal. 106

[4] Lihat Dr. Mansour Fakih Menuju Dunia yang Lebih Adil melalui Perspektif Gender: Sebuah Pengantar pada Julia Cleves Mosse, Gender & Pembangunan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar), April 2003, hal. vi.

[5] Prof.Dr.Agnes Widanti, Hukum Berkeadilan Jender, (Jakarta: Penerbit Buku Kompas), Juni 2005

[6] Mansour Fakih, Analisa Gender dan Transformasi Sosial, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), hal. 18; 20-24.

[7] Roos Pool, Moralitas & Modernitas. Di bawah baying-bayang Nihilisme. (terj. Budihardiman), (Yogyakarta: Kanisius, 1993), hal. 60-67

[8] Prof. Dr. Agnes Widanti, op. cit, hal. 171

[9] Arief Budiman, Pembagian Kerja Secara Seksual, (Jakarta: PT Gramedia, 1981), hal. 14-20

[10] Prof. Dr. Agnes Widanti, op. cit, hal. 250

Rabu, 08 September 2010

Ramadhan Menghadap Rabb-Nya

Ramadhan Menghadap Rabb-Nya



Ramadhan akan menghadap Rabb-nya, seraya membawa amal hamba yang beribadah didalamnya..
Ramadhan akan menghadap Rabb-nya, seraya meninggalkan jejak-jejak tersendiri di hati manusia..
Ramadhan akan menghadap Rabb-nya, seraya tangisan dari seluruh alam semesta yang ditinggalkannya..
Ramadhan akan menghadap Rabb-nya, seraya hati-hati yang hitam kembali memutih..


Kini sewaktu Ramadhan itu tiba dipenghujung waktunya, penyesalan selalu muncul...
Padahal nafas ini masih diberi kesempatan untuk berhembus, padahal syaitan pun telah dibelenggu.
Tapi, sekali lagi, penyesalan selalu datang terlambat, selalu merasa kurang melakukan yang terbaik di Ramadhan yang hampir usai ini.


Karena kurasa...
Ada yang kurang ketika tiap malam belum sepenuhnya bertaqqorrub kepada Allah..
Ada yang kurang ketika Aku menangis tapi belum sepenuhnya bertaubat minta ampun kepada Allah..
Ada yang kurang ketika Aku meminta seluruh dosaku dimaafkan, Aku justru lebih sibuk bermunajat untuk urusan dunia..
Ada yang kurang ketika Allah mengusap tetesan air mata ini dengan hangatnya maghfirohnya, justru Aku lupa bersyukur padanya..
Ada yang kurang ketika Aku melazimi lisan dengan Qur'an dan dzikir, Aku seperti orang yang hanya menggugurkan targetan tanpa pemaknaan yang lebih dalam..


Sungguh, mutiara Ramadhan itu terlalu indah untuk disia-siakan.
Tapi sekali lagi, selalu ada alasan bagi Ku untuk berkelit dan malas menggapai cinta-Nya, padahal Yang Maha Pengasih sudah mengobral habis cinta-Nya di bulan yang penuh rahmat ini.


*Ya Robb, Ya Rohmaan, Ya Ghoffur..
Ampunilah hambamu yang tidak pandai meraih cintaMU.
Semoga Aku dapat berjumpa kembali denganmu, wahai Ramadhan yang Aku cintai.. Amien

Sabtu, 04 September 2010

Bicara Cinta

Bicara Cinta


Sungguh, tidak terbersit suatu apapun ketika menuliskan kata demi kata dalam rangkaian logika atas pertanyaan yang sebenarnya saya sendiri pun bingung untuk menjawabnya. Rasa-rasanya seperti tidak ada suatu apapun yang sedang terjadi dalam diri saya hingga jari jemari ini mudah sekali menulis tulisan ber-genre labil seperti ini. Tetapi satu hal yang pasti, saya hanya ingin merangkai kata dan mengungkap makna dibalik semua pertanyaan yang selama ini belum saya temukan jawabnya. Karena bisa jadi teman-temanlah orang yang mengerti tentang apa yang sedang saya pertanyakan. Maka, jangan seganlah berbagi atas semua ketidakmengertian saya tentang cinta.



Bagi saya,

Bukan cinta jika itu buta

Karena cinta tidak membutakan

Hanya saja diri Kita yang buta akan cinta

Karena cinta itu punya hati

Dan hati adalah milik diri

Dan diri ini adalah milik Ilahi



Memang, cinta itu sulit terdefinisi

Apalagi bagi orang seperti saya

Hemm, mungkin tidak bagi teman-teman

Maka, ketika saya bicara cinta pada teman-teman dan kemudian bertanya:

“Apa definisi dari cinta?”

Maka sangat mungkin jika teman-teman menjawab dengan beragam makna dibaliknya

Makna yang lagi-lagi menurut saya sangat luas dan kompleks

Setiap hati dapat berbeda dalam memaknainya

Memaknai lima huruf yang dirangkai menjadi suatu kata yang bisa membuat orang stabil jadi labil

Memaknai lima huruf yang bisa membuat group band D’Bagindas lagunya laris manis di pasaran atau yang membuat Citra Idol keliatan keren banget gara-gara menyanyikan lagu ini

Memaknai lima huruf yang kata orang indah dan bikin hati jadi berbunga-bunga (kok bisa ya hati ada bunganya? Hemm)

Ya, Memaknai sebuah kata C.I.N.T.A dalam berbagai ruang dan waktu



Hemmm…

Cinta itu seperti apa ya?

Kalau yang biasanya cinta digambarkan dengan gambar hati

Kali ini, saya ingin menggambarkannya dengan angka

Kalau cinta itu dimisalkan sebagai konstanta kemudian dibagi dengan nol

Maka hasilnya pun menjadi tidak terhingga

Lantas, kalau saya bilang cinta itu seperti matematika

Maka setiap angka haruslah diperhitungkan dengan cermat

Tiap hati harus mampu memainkan setiap angka dalam ular tangga kehidupan

Hingga memberi nilai yang sempurna atau bahkan tak terhingga

Sempurna bagi yang pandai memperhitungkan angka dalam tiap perjalanan cintanya

Tak terhingga bagi yang berpengharapan lebih atas makna cinta yang hakiki

Dan lagi-lagi sampai sejauh ini, saya berkesimpulan bahwa memaknai C.I.N.T.A itu memang rumit, serumit perjalanannya, “deritanya tiada akhir” (tambahan dari Ti Pat Kai, adiknya Sun Go Kong, bukan saya yang bilang)



Selanjutnya,

Cinta itu gimana ya rasanya?

Kalau cinta itu rasanya kaya permen nano-nano, ada rasa manis asam asinnya

Pikir saya, berarti cinta itu enak juga ya.

Tapi kalau pas kebagian asam, gak enak banget pasti, apalagi kalau pas sariawan, (loh? Hehe)

Oh, ada yang lebih keren lagi (tiba-tiba ingat)

Kalau cinta itu rasanya seperti permen segala rasanya Harry Potter pasti disetiap permen selalu ada kejutan rasa ya.

Kalau dapat permen yang dibuat dari 100% coklat Swiss pasti enak banget ya itu cinta.

Sebaliknya, kalau dapet permen rasa luka akibat sayatan pisau pasti menyedihkan sekali ya itu cinta.

Dan lagi-lagi sampai sejauh ini, saya berkesimpulan bahwa C.I.N.T.A itu bisa dimaknai dengan berjuta-juta rasa, tergantung pada apa yang Kita rasakan, manis asam asinnya hanya diri Kita sendiri yang bisa merasakannya.



Lalu,

Darimana Kita tahu itu cinta?

Kalau saya bilang tahu dari D’bagindas, kan gak lucu juga.

Mungkin yang agak tepat dan sepertinya masih berlaku sampai sekarang

“Darimana datangnya cinta?” Ya dari mata, turun ke hati.

Hemmm, dipikir-pikir aneh juga.

Memangnya ada apa di mata kita, sampai cinta bisa jatuh ke hati (tanya kenapa???)

Kalau cinta itu dimisalkan seperti udara kehidupan

Maka, layaknya udara yang tak dapat dilihat, kehadiran cinta pun tak dapat dilihat

Namun, setiap jiwa yang hidup pasti mampu merasakan kehadiran udara dalam tiap hembusan nafas walau udara itu sendiri tidak dapat Kita lihat

Begitu pula dengan cinta, tak dapat dilihat darimana datangnya, namun dapat dirasakan kehadirannya

Dan sampai pada tahap ini, saya bingung memaknai C.I.N.T.A, karena tiap jiwa mau tidak mau harus merasakannya sebagai sebuah kehidupan, sebagai anugerah dari Allah SWT Sang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Segala Puji Bagi Allah…