Rabu, 19 Mei 2010

Contoh Analisa Kasus PHK

All human being are born free and equal in dignity and right.
There are endowed with reason and conscience and should act
towards one another in a spirit of brotherhood.
(Article I, Universal Declaration of Human Rights)

Pengabdian Yang Berujung PHK,

Kasus PHK Karyawan Securicor (238 Orang)

Setiap individu memiliki kewajiban dan hak untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Sebagai manusia yang dituntut untuk mengolah dan menata kehidupan yang bermartabat dan layak. Maka dalam hal ini bahwa setiap individu untuk selalu menjalankan aktifitas dengan bekerja pada berbagai sektor kehidupan, dan salah satunya adalah bekerja sebagai karyawan buruh.

Menjadi persoalan besar pada kondisi negara kita yang kini terpuruk, di tengah-tengah krisis ekonomi yang semakin sulit, pengangguran dimana-mana, sulitnya lapangan kerja lebih diperparah lagi dengan menjamurnya pemutusan hubungan kerja dan kebijakan-kebijakan yang sering kali bertentangan dengan Undang-undang, masalah ini telah menjadi budaya dikalangan Perusahaan. Menjadi fakta bagi karyawan buruh securicor yang telah bekerja puluhan tahun menggantungkan nasibnya akan tetapi telah menjadi korban pemutusan hubungan kerja (PHK).

Berawal pada tanggal 19 juli 2004 lahirlah sebuah merger antara Group 4 Flack dengan Securicor International di tingkat internasional. Terkait dengan adanya merger di tingkat international, maka para karyawan PT. Securicor yang diwakili oleh Serikat Pekerja Securicor Indonesia mengadakan pertemuan dengan pihak manajemen guna untuk membicarakan status mereka terkait dengan merger di tingkat Internasional tersebut. Akan tetapi, pertemuan tersebut tidak menghasilkan solusi apapun, dan justru karyawan PT. Securicor yang semakin bingung dengan status mereka. Bahwa kemudian, Presiden Direktur PT Securicor Indonesia, Bill Thomas mengeluarkan pengumuman bahwa PHK mulai terjadi, sehingga divisi PGA dan ES telah menjadi imbasnya, yang lebih ironisnya adalah Ketua Serikat Pekerja Securicor cabang Surabaya di PHK karena alasan perampingan yang dikarenakan adanya merger di tingkat internasional.Yang memutuskan rapat itu adalah Branch manager Surabaya.

Pada tanggal 8 Maret 2005. PHK ini mengakibatkan 11 karyawan kehilangan pekerjaan. Proses yang dilakukan ini juga tidak prosedural karena tidak ada anjuran dari P4P seperti di atur dalam UU tahun 1964 tentang PHK di atas 9 orang harus terlebih dahulu melaporkan ke instansi (P4P). Akan tetapi pihak, PT. Securicor dan kuasa hukumnya, Elsa Syarief, SH, selalu mengatakan tidak ada merger dan tidak ada PHK, akan tetapi pada kenyataanya justru PHK terjadi. Mengacu pada hal tersebut dengan ketidakjelasan status mereka maka karyawan PT. Securicor memberikan surat 0118/SP Sec/IV/2005, hal pemberitahuan mogok kerja kepada perusahaan dan instansi yang terkait pada tanggal 25 April 2005 sebagai akibat dari gagalnya perundingan tentang merger (deadlock).

Persoalan ini terus bergulir dari mulai adanya perundingan antara manajemen PT. Securicor Indonesia dengan Serikat Pekerja Securicor Indonesia (SPSI) dimana pihak perusahaan diwakili oleh Leny Tohir selaku Direktur Keuangan dan SPSI di wakili oleh Fitrijansyah Toisutta akan tetapi kembali deadlock, sehingga permasalahan ini ditangani oleh pihak Disnakertrans DKI Jakarta dan kemudian dilanjutkan ke P4P, dan P4P mengeluarkan putusan dimana pihak pekerja dalam putusannya dimenangkan.

Fakta dari P4P

  1. Agar pengusaha PT.Securicor Indonesia, memanggil dan mempekerjakan kembali pekerja Sdr. Denny Nurhendi, dkk (284 orang) pada posisi dan jabatan semula di PT. Securicor Indonesia terhitung 7 (tujuh) hari setelah menerima anjuran ini;
  2. Agar pengusaha PT.Securicor Indonesia, membayarkan upah bulan mei 2005 kepada pekerja sdr. Denni Nurhendi, dkk (284) orang;
  3. Agar pekerja sdr. Denni Nurhendi, dkk (284) orang, melaporkan diri untuk bekerja kembali pada pengusaha PT.Securicor Indonesia terhitung sejak 7 (tujuh) hari sejak diterimanya surat anjuran ini;

Akan tetapi pihak perusahaan tidak menerima isi putusan tersebut. Kemudian perusahaan melakukan banding ke PT. TUN Jakarta dan melalui kuasa hukumnya Elsza Syarief, S.H., M.H. memberikan kejelasan bahwa perusahaan tidak mau menerima para karyawan untuk kembali bekerja dengan alasan Pihak Perusahaan sudah banyak yang dirugikan dan para pekerja sendiri menolak untuk bekerja kembali sehingga sudah dianggap mengundurkan diri. Ternyata ungkapan tersebut tidak benar dan itu hanya rekayasa perusahaan karena selama ini berdasarkan bukti-bukti yang ada bahwa para pekerja sama sekali tidak minta untuk di PHK dan tidak pernah mengutarakan kepada kuasa hukum perusahaan soal pengunduran diri atapun mengeluarkan surat secara tertulis untuk minta di PHK. Justru kuasa hukum dari perusahaan menganggap para karyawan telah melakukan pemerasan dan melakukan intimidasi. Dan itu kebohongan besar. Sebab berdasarkan bukti pihak pekerja hanya meminta pihak pengusaha untuk membayar pesangon sebanyak 5 PMTK apabila terjadi PHK massal dan ternyata perusahaan tidak merespon. Adapun terkait dengan aksi demo yang dilakukan oleh para serikat pekerja adalah untuk meminta:

Dasar Tuntutan

  1. Bahwa pekerja tetap tidak pernah minta di PHK. Akan tetapi apabila terjadi PHK massal maka para pekerja minta untuk dibayarkan dengan ketentuan normatif 5 kali sesuai dengan pasal 156 ayat 2,3 dan 4 UU No. 13 tahun 2003
  2. Bahwa Penggugat melakukan pemutusan hubungan kerja bertentangan dengan pasal 3 ayat (1) UU No. 12 tahun 1964 karena penggugat mem-PHK pekerja tidak mengajukan ijin kepada P4 Pusat
  3. Bahwa para pekerja meminta uang pembayaran terhitung dari bulan juli 2005 dan meminta dibayarkan hak-haknya yang selama ini belum terpenuhi.

Perjalanan kasus ini telah melewati proses-proses persidangan di P4 Pusat yang telah diputus pada tanggal 29 Juni 2005, dan putusan itu telah diakui dan dibenarkan oleh Majlis Hakim Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta yang telah diambil dan dijadikan sebagai Pertimbangan hukum. Kemudian dengan melalui pertimbangan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta pada hari Rabu, tanggal 11 Januari 2006 harumnya keadilan telah berpihak kepada buruh (238 karyawan) dan Majlis Hakim menolak isi gugatan penggugat untuk seluruhnya. Dan kondisi sekarang pihak perusahaan, melalui kuasa hukumnya tersebut telah mengajukan permohonan kasasi. dan surat tersebut telah diberitahukan ke PBHI sebagai pihak termohon kasasi II Intervensi, dengan putusan yang telah diputuskan bisa menjadi nilai-nilai keadilan, kebenaran dan kejujuran yang sejati.

David Oliver Sitorus, S.H., Ali Imron, S.H.

Diunduh dari: http://www.pbhi.or.id

Analisa Kasus

Dari kasus di atas, dapat kita tilik bahwasanya pekerja lebih menyukai untuk merespon secara positif apabila diberikan feedback yang kurang baik mengenai kinerjanya lewat proses penilaian yang jujur dalam tiga dimensi. Ketiga dimensi tersebut yaitu; outcome fairness, procedural juctice, dan, interactional justice.[1]

Outcome fairness berarti menilai bahwa seseorang menghargai hasil yang diterimanya tergantung dari hasil yang diterima pula oleh orang lain yang oleh orang itu mudah diidentifikasi. Lebih jelas lagi, situasi dimana seseorang kehilangan pekerjaannya sementara orang lain tidak sangat kondusif pada persepsi mengenai adanya ketidakjujuran hasil.

Sementara outcome fairness lebih berfokus kepada hasil, procedural and interactional justice lebih berfokus pada prosesnya. Procedural justice secara spesifik berfokus pada metode yang digunakan untuk menentukan hasil yang diterima. Berikut ini adalah tabel enam kunci prinsip yang menentukan telah melakukan apakah seseorang telah sesuai melakukan secara jujur sesuai dengan prosedur.

1. Consistency. Prosedur yang diaplikasikan secara konsisten lintas waktu dan pada orang-orang yang berlainan.

2. Bias suppression. Prosedur yang diaplikasikan oleh seseorang yang tidak memeliki kepentingan pada hasil dan tidak memiliki dasar prasangka individu.

3. Information accuracy. Prosedur yang berdasarkan pada informasi yang sesuai dengan fakta.

4. Correctability. Prosedur dibuat dengan pengamanan yang memungkinkan salah satu salah atau keputusannya buruk.

5. Representativeness. Prosedur menjelaskan perhatian pada seluruh kelompok atau stakeholders (kepala pekerja, pelanggan, pemilik) yang berdampak pada keputusan, termasuk kekeliruan individu

6. Ethically. Prosedur konsisten dengan pengembangan standar moral sebagai hal utama seperti invansi privasi.

Apabila procedural justice berhubungan dengan bagaimana keputusan dibuat, interactional justice berhubungan dengan sifat interpersonal mengenai bagaimana hasil tersebut dapat diimplementasikan. Berikut ini adalah empat determinan dari interactional justice:

1. Explanation. Mengembangkan aspek dari kejujuran prosedural yang menjustifikasi keputusan

2. Social sensitivity. Memperlakukan orang dengan mendalaminya dan menghormatinya

3. Consideration. Mendengar apa yang menjadi perhatian seseorang

4. Empathy. Identifikasi dengan perasaan orang lain.

Kasus PHK PT Securicor berawal karena ketidakjelasan status para pekerja akibat adanya merger di tingkat internasional. Hal ini mendorong karyawan PT. Securicor untuk melakukan mogok kerja kepada perusahaan dan instansi yang terkait sebagai akibat dari gagalnya perundingan tentang merger (deadlock). Karyawan buruh Securicor yang telah bekerja puluhan tahun dan menggantungkan nasibnya pada PT.Securicor pada akhirnya menjadi korban pemutusan hubungan kerja (PHK). Padahal dalam kenyataan, yang juga telah ditemukan pada fakta P4P, PHK yang dilakukan oleh PT Securicor jelas-jelas tidak memenuhi outcomes fairness dimana adanya kejelasan dan kejujuran pihak PT. Securicor atas penilaiannya hasil kinerja terhadap para karyawannya. PHK tersebut menunjukkan tidak adanya kesetaraan outcome yang diperoleh antara karyawan satu dengan karyawan lain, terbukti dengan PHK yang awalnya peruntukkannya hanya untuk beberapa karyawan, malah meluas mencapai ratusan karyawan (238 orang), padahal PT Securicor sendiri belum memenuhi kewajibannya untuk memberikan keterangan yang sejelas-jelasnya, dengan dalih tidak terjadinya proses merger di pihak internasional. Dengan demikian, PHK yang terjadi tidak lebih dari PHK secara sepihak.

Jika kita telusuri lebih dalam, kasus di atas membuktikan adanya ketidakmampuan manajemen perusahaan dalam melakukan pengelolaan sumber daya manusianya. Sebelum melakukan PHK, perusahaan seharusnya telah melakukan proses penilaian dengan berpatok pada prinsip procedural justice, dimana dengan metode apapun dilakukan penilaian, nantinya akan meghasilkan sebuah keputusan yang menjunjung tinggi sebuah keadilan. PT. Securicor di atas jelas belum mampu memenuhi tahapan ini dengan baik. Ketika tahapan lewat meja hijau dipenuhi untuk penyelesaian sengketa PHK tersebut, PT Securicor member kejelasan bahwa perusahaan tidak mau menerima para karyawan untuk kembali bekerja dengan alasan Pihak Perusahaan sudah banyak yang dirugikan dan para pekerja sendiri menolak untuk bekerja kembali sehingga sudah dianggap mengundurkan diri. Ternyata ungkapan tersebut tidak benar dan itu hanya rekayasa perusahaan karena selama ini berdasarkan bukti-bukti yang ada bahwa para pekerja sama sekali tidak minta untuk di PHK dan tidak pernah mengutarakan kepada kuasa hukum perusahaan soal pengunduran diri atapun mengeluarkan surat secara tertulis untuk minta di PHK. Di sini sangat terlihat tidak adanya procedural justice sebagai prosedur yang menjunjung keadilan

Selanjutnya, masalah PHK ini kemudian juga menyentuh dimensi interactional justice. Hal tersebut terbukti dari adanya penolakan besar-besaran lewat unjuk rasa yang dilakukan oleh karyawan PT. Securicor. Karyawan berada dalam ketidakjelasan status, di mana tidak ada penjelasan yang dinilai adil terkait PHK yang Explanation. Mengembangkan aspek dari kejujuran prosedural yang menjustifikasi keputusandijalankan perusahaan. Selain itu, perusahaan juga dinilai karyawan tidak menjunjung social sensitivity akibat adanya PHK tersebut, yang nantinya dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan (consideration) sebelum pengambilan keputusan terjadi. Manajemen perusahaan juga mengesampingkan empathy terhadap karyawannya yang dalam hal ini telah melakukan pengabdian pada perusahaan selama puluhan tahun.

Sebenarnya, perusahaan dapat menghindari hal-hal tersebut di atas, apabila menerapkan alternative tahapan dalam penyelesaian dispute. Berikut ini merupakan tahapannya:

Stages in Alternative Dispute Resolution[2]

Stage 1: Open door policy.

The two people in conflict (e.g., supervisor and subordinate) attempt to arrive at settlement together. If none can be reached, they proceed to

Stage 2: Peer review.

A panel composed of representatives from organization that are the same level of those people in the dispute hears the case and attempts to help the parties arrive settlement. If none can be reached, they proceed to

Stage 3: Mediation.

A neutral party from outside the organization hears the case and, via nonbinding process, tries to help the disputants arrive at a settlement. If none can be reached, they proceed to

Stage 4: Arbitration.

A professional arbitrator from outside the organization hears the case and resolves it unilaterally by rendering a specific decision or award. Most arbitrators are experienced employment attorneys or retired judges.

Tahapan di atas menjelaskan adanya sebuah proses penyelesaian terhadap dispute yang terjadi dalam sebuah perusahaan. Keempat tahapan tersebut telah secara gamblang menentukan bagaimana seharusnya manajemen melakukan penyelesaian dispute. Apabila tahapan-tahapan ini dilakukan dengan baik oleh manajemen PT. Securicor, pastilah kasus PHK terhadap ratusan karyawan PT. Securicor tidak akan sampai menimbulkan gejolak yang berkepanjangan sampai prosesnya dibawa ke meja hijau.



[1] Raymond A. Noe, John R. Hollenback, Barry Gerhart, Patrick M. Wright. Human Resouces Management: gaining a competitive advantage. 4th edition. 2003. New York: Mc Graw-Hill Companies.

[2] Raymond A. Noe, John R. Hollenback, Barry Gerhart, Patrick M. Wright. Human Resouces Management: gaining a competitive advantage. 4th edition. 2003. New York: Mc Graw-Hill Companies.