Senin, 08 Juni 2009

Analisa Pemilu 2009

Analisa Pemilu 2009



“Pemilu adalah salah satu pilar demokrasi, dimana rakyat menyerahkan mandat kepada wakil-wakilnya untuk bertindak atas nama rakyat. Begitu pentingnya tradisi pemilu di Indonesia, maka orangpun menyamakannya dengan pesta demokrasi”
(Eko Prasojo)


Pemilihan umum merupakan salah satu sarana demokrasi. Pemilihan Umum, selanjutnya disebut Pemilu adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat yang diselenggarakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pesta demokrasi yang merupakan perwujudan tatanan kehidupan negara dan masyarakat yang berkedaulatan rakyat dilaksanakan guna menghasilkan pemerintahan negara yang demokratis berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pemerintahan dari dan untuk rakyat. Melalui pemilu, rakyat melakukan evaluasi terhadap kinerja dan moral wakil-wakilnya di lembaga legislatif dan pemerintah. Pemilu juga dimaksudkan untuk membangun kembali kepercayaan baru masyarakat terhadap pemerintah dan negara.

Sebagai sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, dimana kekuasaan yang tertinggi berada di tangan rakyat, pemilihan umum diselenggarakan secara demokratis, jujur, dan adil dengan mengadakan pemberian dan pemungutan suara secara langsung, umum, bebas, dan rahasia. Pemungutan suara tersebut dilakukan serentak di seluruh wilayah kesatuan Republik Indonesia. Pemilu yang dilaksanakan setiap lima tahun sekali ini pada umumnya mempunyai tujuan untuk melaksanakan asas kedaulatan rakyat, hak asasi warga negara, dan memungkinkan terjadinya transformasi pemerintahan secara aman dan tertib.

Namun, penyelenggaraan pemilihan umum secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil hanya dapat terwujud apabila dilaksanakan oleh penyelenggara pemilihan umum yang mempunyai integritas, profesionalitas, dan akuntabilitas. Penyelenggara Pemilihan Umum adalah lembaga yang menyelenggarakan Pemilu untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Presiden dan Wakil Presiden, serta kepala daerah dan wakil kepala daerah secara langsung oleh rakyat. Pasal 1 ayat 6 UU No.22 Tahun 2007 tentang penyelenggaraan Pemilihan Umum menyatakan bahwa pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri yang selanjutnya disebut KPU. Yang selanjutnya berpedoman pada asas: mandiri, jujur, adil, kepastian hukum, tertib penyelenggara Pemilu, kepentingan umum, keterbukaan, proporsionalitas, profesionalitas, akuntabilitas, efisiensi, dan efektivitas. Amanat konstitusi tersebut untuk memenuhi tuntutan perkembangan kehidupan politik, dinamika masyarakat, dan perkembangan demokrasi yang sejalan dengan pertumbuhan kehidupan berbangsa dan bernegara. Di samping itu, wilayah negara Indonesia yang luas dengan jumlah penduduk yang besar dan menyebar di seluruh Nusantara serta memiliki kompleksitas nasional menuntut penyelenggara pemilihan umum yang profesional dan memiliki kredibilitas yang dapat dipertanggungjawabkan.

Pemilu 2009
Pemilihan Umum 2009 baru saja kita lalui. Tradisi akbar lima tahun sekali ini diselenggarakan untuk memilih wakil-wakil rakyat (anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah) yang akan duduk di kursi Majelis yang terhormat. Pemilu 2009 yang berlangsung pada tanggal 9 April 2009 sekali lagi telah menorehkan sejarah baru dalam transformasi pemerintahan di Indonesia. Itu berarti dalam konteks transformasi demokrasi, bangsa Indonesia telah sepuluh kali menyelenggarakan pemilihan umum yaitu tahun 1955, 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997, 1999, 2004, dan terakhir pemilu 2009. Pemilu di Indonesia pada awalnya ditujukan untuk memilih anggota lembaga perwakilan, yaitu DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota. Namun, setelah amandemen keempat UUD 1945 pada 2002, pemilihan presiden dan wakil presiden (pilpres) yang semula dilakukan oleh MPR disepakati untuk dilakukan langsung oleh rakyat sehingga pilpres pun dimasukkan ke dalam rezim pemilu.

Pemilu 2009 diikuti oleh 34 partai politik. Menurut UU No.2 Tahun 2008, Partai Politik adalah organisasi yang bersifat nasional dan dibentuk oleh sekelompok warga negara Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggota, masyarakat, bangsa dan negara, serta memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Jumlah parpol nasional peserta Pemilu 2009 ini lebih banyak dibandingkan peserta Pemilu 2004, tetapi lebih sedikit dibanding Pemilu 1999. Pemilu 2004 diikuti oleh 24 parpol sedangkan Pemilu 1999 diikuti 48 parpol. Adapun Parpol peserta pemilu 2009 berjumlah 34, dimana 16 partai politik lama dan 18 partai politik baru yang telah lolos seleksi. Berikut daftar parpol peserta pemilu 2009:

1. Partai Hati Nurani Rakyat (baru)
2. Partai Karya Peduli Bangsa
3. Partai Pengusaha dan Pekerja Indonesia (baru)
4. Partai Peduli Rakyat Nasional (baru)
5. Partai Gerakan Indonesia Raya (baru)
6. Partai Barisan Nasional (baru)
7. Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia
8. Partai Keadilan Sejahtera
9. Partai Amanat Nasional
10. Partai Perjuangan Indonesia Baru (baru)
11. Partai Kedaulatan (baru)
12. Partai Persatuan Daerah (baru)
13. Partai Kebangkitan Bangsa
14. Partai Pemuda Indonesia (baru)
15. Partai Nasional Indonesia Marhaenisme
16. Partai Demokrasi Pembaruan (baru)
17. Partai Karya Perjuangan (baru)
18. Partai Matahari Bangsa (baru)
19. Partai Penegak Demokrasi Indonesia
20. Partai Demokrasi Kebangsaan
21. Partai Republik Nusantara (baru)
22. Partai Pelopor
23. Partai Golongan Karya
24. Partai Persatuan Pembangunan
25. Partai Damai Sejahtera
26. Partai Nasional Benteng Kerakyatan Indonesia (baru)
27. Partai Bulan Bintang
28. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan
29. Partai Bintang Reformasi
30. Partai Patriot (baru)
31. Partai Demokrat
32. Partai Kasih Demokrasi Indonesia (baru)
33. Partai Indonesia Sejahtera (baru)
34. Partai Kebangkitan Nasional Ulama (baru)
Sumber: www.kpu.go.id

Selain itu, Pemilu 2009 adalah pemilu pertama yang menyertakan enam partai lokal Aceh. Kecuali di Nanggroe Aceh Darusalam, nomor urut partai peserta pemilu 2009 yang tertera di kertas suara akan ‘lompat’ dari partai bernomor 34 ke partai bernomor 41 di seluruh daerah pemilihan. Karena partai nomor urut 35 sampai 40 adalah partai lokal Aceh.
Dalam hal mekanisme pemungutan suara, berbeda dengan pemilu 2004, pada pemilu 2009 proses pemungutan suara dilakukan dengan cara membubuhkan tanda centang atau contreng bukan dicoblos lagi (Pasal 176 UU No.10/2008).

Tipe Pemilu 2009
Secara umum pemilu-pemilu di dunia dikelompokkan dalam dua tipe umum pemilu yaitu sistem distrik (single member district system) dan sistem proporsional (multymember proportional system). Sistem distrik merupakan wujud dari perwakilan wilayah. Karenanya sistem ini sering dipergunakan oleh beberapa negara untuk menentukan siapa yang berhak menjadi wakil dari suatu daerah pemilihan dan menduduki posisi di parlemen. Cara kerjanya sederhana: siapapun yang memperoleh suara terbanyak dari suatu daerah pemilihan maka dialah yang akan menjadi pemenangnya dan mewakili daerah pemilihan tersebut. Prinsip ini juga dipergunakan oleh beberapa negara untuk menentukan siapa yang menjadi pemimpin suatu negara tidak hanya menentukan siapa yang mewakili suatu daerah pemilihan.
Selain sistem distrik, tipe lainnya adalah proporsional atau dikenal pula di Indonesia dengan sistem pemilu perwakilan berimbang. Berbeda dengan distrik, tipe ini merupakan perwakilan rakyat sehingga setiap suara yang diberikan oleh pemilih harus direpresentasi di dalam parlemen. Dengan demikian tidak boleh terdapat suara yang dihilangkan karena setiap suara pemilih harus dihargai. Di dalam tipe ini tidak dikenal istilah pemenang melainkan siapa yang memperoleh suara terbanyak atau menempatkan perwakilan terbanyak dalam parlemen.

Sistem Pemilu 2009
a. Sistem Pemilihan DPR/DPRD
Berdasarkan UU No.10/2008, sistem yang digunakan dalam pemilihan legislatif adalah sistem pemilu proporsional dengan daftar calon terbuka terbatas. Dalam sistem ini, selain dicantumkan lambang partai dicantumkan pula daftar nama calon legislatif serta nomor urutnya. Dengan demikian, para pemilih dapat memilih partai dan calon yang dikehendaki. Melalui sistem pemilu proporsional dengan daftar terbuka terbatas, masyarakat pemilih tidak lagi hanya mencontreng tanda gambar partai, tetapi boleh mencontreng orang dari masing-masing kontestan. Parpol dapat mengajukan calon sebanyak-banyaknya 120% dari jumlah kursi satu daerah pemilihan (pasal 54 UU No.10/2008). Daftar calon yang diajukan oleh parpol disusun berdasarkan nomor urut yang ditetapkan parpol sesuai dengan tingkatanya (pasal 55 ayat 1 UU No.10/2008).
Sistem pemilu proporsional dengan daftar terbuka terbatas dapat menghindari bias terhadap parpol kecil yang merupakan salah satu kelemahan sistem distrik. Artinya, suara yang diperoleh partai tidak serta merta hangus dan sia-sia jika tidak memenuhi bilangan pembagi. Bilangan Pembagi Pemilihan bagi kursi DPR, yang selanjutnya disebut BPP DPR,
adalah bilangan yang diperoleh dari pembagian jumlah suara sah seluruh Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi ambang batas perolehan suara 2,5% (dua koma lima perseratus) dari suara sah secara nasional di satu daerah pemilihan dengan jumlah kursi di suatu daerah pemilihan untuk menentukan jumlah perolehan kursi Partai Politik Peserta Pemilu. Sedangkan Bilangan Pembagi Pemilihan bagi kursi DPRD, selanjutnya disebut BPP DPRD adalah bilangan yang diperoleh dari pembagian jumlah suara sah dengan jumlah kursi di suatu daerah pemilihan untuk menentukan jumlah perolehan kursi Partai Politik Peserta Pemilu dan terpilihnya anggota DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota. Secara teknis, sistem ini juga memringankan beban calon dalam meniti karir di partai politik. Selain itu, partai politik tidak bisa sewenang-wenang menetapkan calon terpilih kecuali jika suara tidak memenuhi BPP. Dengan demikian, akuntabilitas calon terhadap pemilihan dan daerah pemilihan jauh lebih besar dibanding pemilu sebelumnya.

Namun, jika kita mementingkan tingkat akuntabilitas, permasalahan yang mengemuka pada pemilu DPR/DPRD adalah tidak adanya keharusan bagi pemilih untuk mencontreng nama calon legislatif. Suara dianggap sah dengan beberapa kemungkinan, misalnya suara sah jika lambang partai dicontreng atau pemilih hanya mencontreng nama calon legislatif saja atau pemilih mencontreng lambang partai dan nama calon dari partai yang sama (Perppu No.01/2009 tentang pemilu). Dengan Perppu tersebut, sekaligus membatalkan Pasal 176 UU No.10/2008 tentang pemilu yang menyatakan suara hanya dianggap sah jika dicontreng sekali. Dengan pencontrengan kolom parpol dan kolom caleg, suaranya akan diberikan kepada caleg yang dicontreng. Pencontrengan yang dianggap tidak sah apabila mencontreng dua caleg
Selain itu, dengan disahkannya peraturan Mahkamah Konstitusi tentang suara terbanyak bukan lagi sesuai dengan nomor urut membuat regulasi ini dimanfaatkan oleh calon legislatif untuk menyerukan kepada pemilih (kampanye) agar ramai-ramai mencontreng sesuai dengan nomor urut calon legislatif tersebut. Sehingga bisa memicu sengketa antarpartai, antarparpol.

b. Sistem Pemilihan DPD
Berbeda dengan logika yang dibangun dalam sistem pemilu DPR/DPRD, logika keterwakilan dalam DPD dibangun dengan beberapa asumsi. Pertama, DPD merupakan perwakilan ruang. Artinya DPD tidak mewakili orang sebagaimana DPR. DPD mewakili wilayah yang disebut sebagai provinsi. Setiap wilayah yang diwakili DPD dianggap memiliki kekhususan lokal yang harus diapresiasi dalam tingkat nasional. Kedua, komposisi suara DPD dalam MPR dipakai sebagai penyeimbang perwakilan antara Jawa-luar Jawa. Jumlah anggota DPR yang mewakili orang akan sebanding dengan jumlah penduduk dimana 70 % penduduk tinggal di Jawa. Sedangkan dalam sistem perwakilan DPD dimana setiap provinsi memiliki keterwakilan yang sama yaitu 4 orang (pasal 30 UU No.10/ 2008), Jawa hanya akan memiliki 24 orang wakil dari 6 provinsi. Sedangkan luar Jawa akan memiliki sekitar 108 wakil dari 27 provinsi.
Sistem pemilihan DPD dilaksanakan dengan menggunakan sistem distrik berwakil banyak (UU 10/2008, Pasal 5 Ayat 2). Tujuan penggunaan sistem ini untuk peningkatkan keterikatan anggota DPD dengan warga daerah konstituennya. Artinya, dengan sistem ini berarti anggota DPD memiliki tanggungjawab moral maupun politik yang besar untuk memperjuangkan kepentingan daerah. Dengan kata lain, anggota DPD sangat terikat dan tidak bisa ‘lari’ dari konstituennya. Keuntungan lain dari sistem pemilihan ini adalah secara politis anggota DPD memiliki legitimasi yang jauh lebih besar dibandingkan dengan anggota DPR. Karena dukungan bersifat distrik maka hubungan antara konstituen dengan anggota DPD lebih riil dan langsung. Bahkan, jika anggota DPD cukup tekun, maka berdasarkan hasil perolehan suara, dia bisa mempunyai peta politik tentang pengaruhnya dan bisa menyusun perkiraan tentang karakter dan aspirasi konstituen (Legowo, dkk, 2005:171).

Sungguhpun demikian, sistem distrik yang digunakan dalam pemilihan DPD di Indonesia tidak sama dengan sistem distrik yang dipakai di Amerika, Canada, India, New Zealand, dsb. Beberapa perbedaan tersebut adalah: (Pratikno, 2004)
1. Tidak memperhitungkan jumlah penduduk. Padahal dalam sistem distrik yang lazim, jumlah penduduk merupakan penentuan bagi jumlah distrik dan keterwakilannya, karena mewakili distrik tertentu dianggap mewakili orang yang ada di distrik tersebut. Dengan demikian, sistem distrik dalam pemilu DPD menggunakan logika perwakilan ruang bukan orang.
2. Setiap pemenang memperoleh suara yang berbeda-beda. Jumlah suara yang diperoleh anggota DPD dari Provinsi DKI akan jauh lebih banyak dari suara yang diperoleh anggota DPD dari Provinsi Gorontalo. Usaha untuk memenangkan pemilu DPD pada daerah padat penduduk akan lebih susah dari yang penduduknya sedikit. Pada sistem distrik yang lazim, suara yang didapatkan untuk setiap kandidat relatif sama, karena distrik dibagi berdasarkan jumlah penduduk.
3. Pemilih hanya diberi kesempatan memilih satu kali untuk 4 orang perwakilan. Hal ini menyebabkan prosentase suara yang didapatkan pemenang sangat bergantung kepada peserta pemilu DPD untuk setiap Provinsi. Dalam sistem Block Vote, pemilih diberi kesempatan untuk memilih sebanyak kandidat yang akan mewakili setiap distrik.
4. Pemenang tidak akan mencapai mayoritas. Pemenang maksimal hanya akan mendapatkan dukungan 20% seandainya peserta DPD hanya 5 orang dengan asumsi semua orang memiliki dukungan yang hampir sama. Prosentase ini akan semakin kecil dengan semakin banyakya jumlah kandidat. Dalam Block Vote System, kandidat yang terpilih dapat memperoleh mayoritas suara lebih dari 50%. Block Vote lebih menunjukkan tingkat dukungan riil yang didapatkan.

c. Sistem Pemilihan Presiden
Pemilihan umum presiden dan wakil presiden diatur dalam UU RI No.42/2008. Sistem pemilihan presiden langsung di Indonesia mengacu pada pasal 159 terutama dalam ayat 1. Dimana calon dinyatakan sebagai pemenang bila pasangan calon terpilih adalah pasangan calon yang memperoleh suara lebih dari 50% (lima puluh persen) dari jumlah suara dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dengan sedikitnya 20% (dua puluh persen) suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari ½ (setengah) jumlah provinsi di Indonesia, dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden. Jika tidak ada yang mendapatkan suara itu diadakan pemilu ulang diantara dua calon yang memperoleh suara terbanyak. Menurut Smita Notasusanto, pemilihan presiden dan wakil presiden dengan dua putaran dijalankan dengan tujuan pokoknya membangun dukungan luas bagi presiden, legislatif maupun masyarakat, sehingga legitimasi politik lebih kokoh dan stabilitas pemerintahan lebih terjamin. Paling tidak ada lima kelebihan dengan memakai sistem ini (Notosusanto, 2002):
1. Memiliki mandat dan legitmasi yang sangat kuat karena didukung oleh suara rakyat secara langsung;
2. Tidak perlu terikat pada konsensi partai-partai atau faksi-faksi politik yang telah memilihnya;
3. Lebih akuntabel dibandingkan sistem lain. Karena rakyat tidak harus menitipkan suaranya kepada legislatif atau ‘electoral college’ secara sebagian atau sepenuhnya;
4. Check and balances antara lembaga legislatif dan eksekutif dapat lebih seimbang;
5. Kriteria calon proses dapat dinilai secara langsung oleh rakyat yang akan memberikan suaranya.

Perhitungan Pemilu Legislatif
Jika dibandingkan dengan pemilu Presiden, Gubernur/Bupati/Walikota, dan DPD yang menggunaan sistem pluralitas-mayoritas, tata cara dan proses penghitungan pemilu legislatif di Indonesia lebih rumit. Ini disebabkan pemilu legislatif menggunakan sistem proporsional daftar terbuka terbatas dimana anggota legislatif terpilih bukan hanya yang memenuhi BPP tetapi juga menghitung jumlah suara yang partai politik untuk dikonversi menjadi kursi. Pemungutan suara pemilihan anggota DPR/DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota dilakukan secara serentak pada hari dan tanggal yang telah ditentukan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Pada saat pemberian suara, pemilih dapat mencoblos dengan tiga kemungkinan, yaitu mencontreng gambar partai atau mencontreng gambar partai dan gambar calon anggota legislatif dari partai yang sama atau mencontreng nama calon legislatifnya saja. Dalam pemilu legislatif penghitungan suara untuk menentukan alokasi kursi yang diperoleh partai politik peserta pemilu harus memenuhi ambang batas perolehan suara sekurang-kurangnya 2,5% (dua koma lima perseratus) dari jumlah suara sah secara nasional untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi DPR (pasal 202 ayat 1 UU No.10/2008).

Hasil Akhir Pemilu Legislatif 2009
Komisi Pemilihan Umum telah mengumumkan dan menetapkan perolehan suara partai politik peserta Pemilu 2009 dengan perolehan jumlah total suara sah nasional mencapai 104.099.785 suara dari total jumlah suara yang masuk di 33 provinsi dari 77 dapil. Sedangkan 17.488.581 tercatat sebagai suara tidak sah dan total pemilih 121.588.366. Hasil rekapitulasi perolehan suara secara nasional Pemilu 2009 yang ditetapkan KPU Pusat di Jakarta, Sabtu malam, peringkat pertama hingga ketiga diraih secara berturut-turut oleh Partai Demokrat, Golkar, dan PDIP. Berikut hasil perolehan suara partai politik Pemilu 2009 untuk DPR sesuai dengan nomor urut parpol:

1. Partai Hanura 3.922.870 (3,77%)
2. PKPB 1.461.182 (1,40%)
3. PPPI 745.625 (0,72%)
4. PPRN 1.260.794 (1,21%)
5. Gerindra 4.646.406 (4,46%)
6. Barnas 761.086 (0,73%)
7. PKPI 934.892 (0,90%)
8. PKS 8.206.955 (7,88%)
9. PAN 6.254.580 (6,01%)
10. PPIB (0,19%)
11. Partai Kedaulatan 437.121 (0,42%)
2. PPD 550.581 (0,53%)
13. PKB 5.146.122 (4,94%)
14. PPI 414.043 (0,40%)
15. PNI Marhaenisme 316.752 (0,30%)
16. PDP 896.660 (0,86%)
17. Pakar Pangan 351.440 (0,34%)
18. PMB 414.750 (0,40%)
19. PPDI 139.554 (0,13%)
20. PDK 669.417 (0,64%)
21. Republika-N 630.780 (0,64%)
22. Partai Pelopor 341.914 (0,33%)
23. Golkar 15.037.757 (14,45%)
24. PPP 5.533.214 (5,32%)
25. PDS 1.541.592 (1,48%)
26: PNBK 468.696 (0,45%)
27. PBB 1.864.752 (1,79%)
28. PDI-P 14.600.091 (14,03%)
29. PBR 1.264.333 (1,21%)
30. Partai Patriot 547.351 (0,53%)
31. Demokrat 21.703.137 (20,85%)
32. PDKI 252.293 (0,31%)
33. PIS 320.665 (0,31%)
34. PKNU 1.327.593 (1,43%)
41. Partai Merdeka 111.623 (0,11%)
42. PPNUI 146.779 (0,14%)
43. PSI 140.551 (0,14%)
44. Partai Buruh 266.203 (0,25%)
Sumber: KPU
Sabtu, 09/05/2009 22:29 WIB

Sebanyak sembilan partai politik lolos dari Parliamentary Threshold (PT) atau ambang batas perolehan suara sebanyak 2,5 persen dari jumlah suara sah secara nasional. Menurut hasil rekapitulasi nasional yang ditetapkan Komisi Pemilihan Umum tersebut, posisi tiga besar dari sembilan parpol tersebut adalah Demokrat dengan 21.703.137 suara atau 20,85 persen, Golkar dengan 15.037.757 suara atau 14,45 persen, dan PDIP dengan 14.600.091 suara atau 14,03 persen. Setelah itu, posisi keempat hingga keenam adalah PKS dengan 8.206.955 suara atau 7,88 persen, PAN dengan 6.254.580 suara atau 6,01 persen, dan PPP dengan 5.533.214 suara atau 5,32 persen. Selanjutnya, posisi ketujuh hingga kesembilan adalah PKB dengan 5.146.122 atau 4,94 persen, Gerindra dengan 4.646.406 suara atau 4,46 persen, dan terakhir Hanura dengan 3.922.870 suara atau 3,77 persen. Sesuai dengan Pasal 202 UU 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Legislatif, parpol peserta pemilu yang memenuhi ambang batas perolehan sekurang-kurangnya 2,5 persen dari jumlah suara sah secara nasional dapat diikutkan dalam penentuan perolehan kursi.

Permasalahan Seputar Pemilu 2009
Dengan ditetapkannya peraturan perundang-undangan baru untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Presiden dan Wakil Presiden, serta kepala daerah dan wakil kepala daerah secara langsung oleh rakyat, ruang gerak partisipasi politik warga negara menjadi semakin luas. Warga negara memperoleh hak untuk memberikan suaranya dan turut serta terlibat dalam kegiatan-kegiatan kenegaraan di bidang politik dari tingkat daerah sampai tingkat pemerintahan. Partisipasi politik ini mencakup semua kegiatan yang sah oleh semua warga negara yang kurang lebih langsung dimaksudkan untuk mempengaruhi pemilihan pejabat pemerintahan dan atau tindakan-tindakan yang mereka ambil.

Sayangnya, pemberian ruang gerak yang semakin meluas atas partisipasi politik di atas tidak serta merta meningkatkan kesadaran warga negara untuk turut serta dalam proses elektoral. Walaupun kesadaran politik rakyat tidak hanya diukur dengan tingkat partisipasi pemilu yang hanya berlangsung lima tahun sekali, melainkan juga dengan sejauh mana mereka aktif mengawasi atau mengoreksi kebijakan dan perilaku pemerintahan selama lima tahun pemerintahan tahun berjalan. Kesadaran politik warga negara untuk berpartisipasi dalam kehidupan politik bangsa baik secara langsung maupun tidak langsung menjadi hal yang begitu krusial. Krusial dalam artian bahwa keterlibatan warga negara dalam transisi demokrasi menjadi begitu penting dalam penentuan pemimpin bangsa dan wakil-wakil rakyat yang diharapkan bertindak atas nama rakyat yang memilihnya.

Berjalan baiknya sebuah negara tidak terlepas dari partisipasi politik warga negaranya. Tingginya partisipasi politik menunjukkan bahwa warga negara memahami kehidupan politik. Di sisi lain, rendahnya partisipasi politik dapat dianggap sebagai rendahnya kepedulian dan pengetahuan warga negara dalam kehidupan politik atau bisa jadi terdapat batasan serta tidak adanya kesempatan dalam kehidupan politik. Adapun warga negara yang sama sekali tidak melibatkan diri dalam partisipasi politik disebut apati (apaty). Hal ini terjadi karena beberapa sebab. Pertama, adanya sikap acuh tak acuh, tidak tertarik atau rendahnya pemahaman mereka mengenai masalah politik. Kedua, adanya keyakinan bahwa usaha mereka untuk mempengaruhi kebijakan pemerintah tidak berhasil. Ketiga, mereka tinggal dalam lingkungan yang menganggap bahwa tindakan apati merupakan suatu tindakan yang terpuji.

Dalam perjalanan historis pemilihan umum di Indonesia, kemudian kita temui lagi adanya istilah Golongan putih (golput). Berbeda dengan tindakan apatis, golput merupakan predikat bagi orang-orang yang memilih untuk tidak menggunakan hak suaranya pada Pemilihan Umum (Pemilu). Pada Pilpres 2004, angka golput mencapai 20 persen dan pada pemilu tahun 2009 meningkat lagi mencapai sekitar 40 persen. Tingginya angka golput ini semakin mempertegas posisi tawar dari masyarakat dalam bernegara atau berpartisipasi dan terlibat dalam pemerintahan, saat ini masyarakat mulai apatis terhadap ‘pesta demokrasi’. Sebuah survei pemilih Indonesia tahun 2003 dengan tema besar demokrasi di Indonesia yang dilakukan The Asian Foundation memaparkan alasan ketidaktertarikan pemilih pada politik di antaranya adalah sebagai berikut:
Alasan Ketidaktertarikan pada Politik
Jika tak tertarik pada politik, mengapa? [Q. 86 base 376]
Tidak suka berpolitik 37%
Saya tidak berpendidikan/terlalu miskin 30%
Politik sangat kotor 13%
Buang-buang waktu/saya terlalu sibuk 8%
Lainnya 5%
Tidak tahu 16%

Mayoritas pemilih (58%) yang menyatakan kurang tertarik pada politik memberikan alasan-alasan yang lebih menunjukkan adanya keterasingan dari proses politik ketimbang alasanketidakmampuan untuk berpartisipasi dalam politik. Proporsi terbesar (37%) – khususnya yang berusia muda, berpendidikan, dan berdomisili di mengambil sikap demikian tampaknya disebabkan karena apa yang selama ini mereka saksikan, sehingga mereka mengatakan “tak suka politik”. Tiga belas persen lainnya menyatakan “politik itu kotor” jelas menunjukkan persepsi yang berkembang mengenai korupsi dalam kehidupan politikdi Indonesia. Di lain pihak, lebih sedikit pemilih yang menyebutkan alasan kurang mampu untuk berpartisipasi dalam politik. Sekitar 30%, terutama pemilih berusia lanjut, kurang pendidikan, dan berpenghasilan rendah, menyalahkan kurangnya materi dan pendidikan sebagai penyebab sikap apatisme mereka. Dengan demikian, alasan-alasan mendasar atas ketidaktertarikan pada politik terlihat berkaitan erat dengan ketidaksenangan pemilih terhadap situasi politik saat ini.

Secara umum, semakin tinggi tingkat pendidikan, semakin tinggi pula tingkat partisipasinya dalam politik. Demikian juga dalam hal tingkat penghasilan. Tingkat pendidikan merupakan faktor yang paling signifikan mempengaruhi tingkat partisipasi politik. Namun, perlu digarisbawahi bahwa pengertian partisipasi politik di sini bukan semata keikutsertaan yang terbatas pada pemilu atau pemilihan presiden. Artinya, meningkatnya angka golput itu sendiri merupakan pertanda meningkatnya daya kritis masyraskat terhadap partai politik.
Tingginya angka golput ini disebabkan karena tiga hal yang sifatnya sangat krusial, yakni masalah pendataan, ideologis, dan teknis. Jika dahulu orang didatangi petugas ke rumah untuk didaftar, kini dasarnya hanya KTP. Masalah ideologis, yang based on pemahaman dan pengetahuan orang bersangkutan. Ada penilaian bahwa pemerintahnya siapa saja ternyata tidak berubah. Oleh karena tidak ada perubahan maka lebih baik memilih golput. Dan yang terakhir, masalah teknisnya adalah kartu suara. Entah karena kartu suara ganda atau pendistribusiannya yang tidak terlaksana dengan baik.

Keengganan masyarakat mengikuti pemilu tak selamanya menunjukkan terjadinya penurunan demokrasi. Karena keengganan itu di samping muncul akibat apatisme publik pada partai politik, bisa juga karena semakin tumbuhnya kesadaran masyarakat bahwa partisipasi politik demokratis selama ini tidak selamanya – bahkan harus – melalui aktivitas pemilu. Pada saat seperti inilah dengan sendirinya golput akan meningkat.

Pada pemilu 2009, jumlah suara sah menurun dibandingkan dengan pemilu 2004 yakni jumlah suara sah sebesar 104.099.785. Dimana jumlah suara sah yaitu 104.099.785 suara, sedangkan suara tidak sah yaitu 17.488.58. Jumlah suara sah ini lebih rendah dibandingkan dengan pemilu legislatif 2004. Pada pemilu 5 April 2004, jumlah suara sah yaitu 113.462.414. Menurunnya jumlah suara sah ini tidak lepas dari daftar pemilih tetap yang kurang akurat. Banyak Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang ganda dan banyak pemilih yang belum terdaftar dalam pemilu legislatif. Selain karena DPT yang tidak akurat, penyebab suara sah nasional 2009 menurun dibandingkan 2004 adalah perubahan sistem memilih. Perubahan sistem memilih dari coblos menjadi contreng ini telah mempengaruhi pemilih. Selain itu sosialisasi tentang tata cara pemilihan juga mempengaruhi tingkat suara sah. Kami menilai sosialisasi dari KPU dan partai politik kurang untuk menjelaskan tentang suara sah.

Selain itu, ada “kontroversi” antara UU. No. 10/2008 dengan Peraturan KPU No. 15/2009 serta tentang Peraturan KPU Nomor 15 Tahun 2009 khususnya terhadap pasal-pasal yang mengatur tentang Pedoman Teknis Penetapan Perolehan Kursi Legislatif Hasil Pemilu 2009. Yang mana dalam Peraturan KPU Nomor 15 Tahun 2009 tersebut, dipandang bertentangan dengan semangat Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu. Yang berpedoman pada azas jujur, adil, kepastian hukum (universal), tertib penyelenggara Pemilu, kepentingan umum, keterbukaan, proporsionalitas, profesionalitas, serta electabilitas (suara terbanyak), dan penyederhanaan (efesiensi dan efektifitas).

Kebijakan yang diatur dalam Peraturan KPU tersebut dipandang melampaui mandat Undang-Undang,karena KPU telah menginterpretasikan dan merumuskan istilah “sisa suara” dengan tidak tepat dan melampaui kewenangan. Karena di dalam UU No.10/2009 tidak menjelaskan lagi istilah “sisa suara” tersebut, karena dipandang cukup jelas, mengingat “sisa suara” adalah “suara lebih” yang telah dipergunakan pada putaran pembagian kursi tahap pertama. Bukan akumulasi perolehan suara partai politik yang tidak mencapai BPP, namun oleh Peraturan KPU No. 15/2009, akumulasi perolehan suara tersebut kemudian di “terjemahkan secara sepihak” sebagai sisa suara.

Terjemahan yang “mengkategorikan” akumulasi perolehan suara yang tidak mencapai BPP itulah, yang dipandang sebagai perbuatan “melawan hukum” yang “melampaui kewenangan”, mengingat KPU adalah institusi pelaksana Undang-Undang, bukan sebagai penterjemah atau pembuat Undang-Undang. Kontroversi terhadap pemahaman UU. No. 10/2008 versus Peraturan KPU No. 15/2009, khususnya terhadap pasal-pasal yang mengatur tentang Mekanisme dan Tatacara Penetapan Perolehan Kursi Legislatif. Adapun terjemahan umum yang dipahami dari kata dan kalimat yang termuat dalam pasal-pasal yang mengatur tentang mekanisme dan tatacara Penetapan Perolehan Kursi Legislatif Pemilu 2009 ini, adalah dilakukan dalam 3 (tiga) tahap, dengan mekanisme dan tatacara sebagai berikut : (a). Pembagian perolehan kursi Tahap Pertama, diberikan kepada Partai Politik yang mencapai BPP; (b). Pembagian Perolehan Kursi Tahap Kedua, diberikan kepada Partai Politik yang memiliki sisa suara BPP terbanyak secara berurutan; (c). Pembagian perolehan kursi Tahap Ketiga, diberikan kepada Partai Politik yang memperoleh akumulasi suara secara berurutan berdasarkan sisa kursi yang belum terbagi sampai habis.

Pemilu 2009 memang begitu banyak meninggalkan catatan. Walaupun banyak pihak menilai pemilu 2009 memiliki banyak kekurangan, sepatutnya kita harus menghargai ini sebagai sebuah proses demokrasi yang agaknya begitu sangat kompleks dengan berbagai aturan yang ada. Kita patut menghargai KPU sebagai lembaga penyelenggara pemilu yang telah mampu menyelenggarakan pemilu dengan damai dan lancar walaupun banyak kekurangan di sana-sini.



Daftar Pustaka

AA GN Ari Dwipayana. Pemilu-pemilu di Indonesia. Jakarta: 2004
Budiyanto. Kewarganegaraan. Penerbit Erlangga, Jakarta: 2004
Prasojo, Eko. Demokrasi Di Negeri Mimpi: Catatan Kritis terhadap Pemilu 2004 dan Good Governance. Departemen Ilmu Administrasi FISIP UI, Jakarta: 2005
Priyo Sukanto, Budi, Panduan Belajar Kewarganegaraan. Primagama, Jakarta: 2006
Demokrasi di Indonesia: Sebuah Survei Pemilih indonesia 2003. The Asia Foundation, Jakarta: 2003
Muhammad Tiro, Hasan. Demokrasi untuk Indonesia. Teplok press, Jakarta: 1993
UU No.22 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum
UU No.10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
www.kpu.go.id