Kamis, 29 Juli 2010

Untuk Kita renungkan

Dunia terus berputar. Lembaran hidup terus berjalan: "detik-detik berganti dengan menit, menit pun silih berganti, hari-hari pun terus berlalu". Detakan jantung seseorang berkata kepadanya, Sesungguhnya kehidupan itu merupakan menit-menit dan detik-detik.Dalam hitungan waktu, peristiwa datang dan pergi silih berganti. Sejarah pun akan terukir, berawal dari nol hingga tak terhingga. Tapi, satu yang pasti semua yang datang pasti pergi, semua yang terbit pasti akan terbenam, semua yang kokoh pasti akan luluh lantak, dan semua yang telah terjadi tak pernah akan kembali. Kecuali DIA--ALLOH Subhanallohu Wa Ta'ala, Tuhan Semesta Alam, Pemilik Kerajaan Langit dan Bumi.

In The Name of GOD, Most Gracious Most Merciful..
Bismillahirohmaanirrohiim.
.
"Sesungguhnya urusan-Nya apabila Dia Menghendaki sesuatu Dia hanya berkata kepadanya, "Jadilah!" Maka jadilah sesuatu itu. Maka Maha Suci (Alloh) yang di tangan-Nya kekuasaan atas segala sesuatu dan kepada-Nya kamu dikembalikan" (Q.S. Ya Sìn: 82-83)
Shadaqallohul azhim..

Untuk Kita Renungkan
Oleh Ebiet G.Ade

Kita mesti telanjang dan benar-benar bersih, suci lahir dan di dalam batin
TENGOKLAH KE DALAM SEBELUM BICARA, singkirkan debu yang masih melekat hohoo…
SINGKIRKAN DEBU yang MASIH MELEKAT!

ANUGERAH dan BENCANA adalah KEHENDAK-NYA, KITA MESTI TABAH MENJALANI
Hanya cambuk kecil agar kita sadar, adalah DIA di ATAS SEGALANYA
Hohohoo… adalah Dia di atas segalanya

Anak menjerit-jerit asap panas membakar, lahar dan badai menyapu bersih
INI BUKAN HUKUMAN HANYA SATU ISYARAT, bahwa KITA MESTI BANYAK BERBENAH!
Memang bila kita kaji lebih jauh
DALAM KEKALUTAN MASIH BANYAK TANGAN yang TEGA BERBUAT NISTA, hohohoo…

Tuhan pasti telah memperhitungkan, amal dan dosa yang kita perbuat, hohohoo…
Kemanakah lagi kita ‘kan sembunyi, HANYA KEPADA-NYA KITA KEMBALI
Tak ada yang bakal bisa menjawab, mari hanya ‘tuk bersujud padaNya

KITA MESTI BERJUANG MEMERANGI DIRI, BERCERMIN dan BANYAK BERCERMIN!
Tuhan ADA DI SINI DI DALAM JIWA INI, berusahalah agar Dia tersenyum
Hohohoo… BERUSAHALAH agar DIA TERSENYUM!

Entahlah...

Dua tiga hati terlampaui
Mencoba meng-Aku
Tapi Aku tak bisa menjadi Aku

Mungkin malam tak menemani nurani, nurani yang terkoyak akibat tak mampu menjawab suara hati. Antara dulu sekali, sekarang, dan seterusnya, mungkin akan selalu seperti ini.

Dulu itu satu, nurani kemudian bersinergi dengan bijak dalam tigaperempat bagiannya. Walaupun demikian, tak sekalipun terasa hampa. Seperti mengisi penuh nurani dalam sebuah bejana terbuka yang berdiri sama tinggi duduk sama rendah, bagaimanapun ruangnya Ia akan sama tinggi.

Dulu itu baru, ya baru.. Baru sekali dalam setiap langkah. Keberadaan kemudian terbaharui, terwarnai dengan sebuah gejolak, gejolak yang menggebu atas nilai-nilai yang baru. Baru bukan baru sekali tapi yang baru itu selalu membuat yang sebelumnya terasa lebih lalu.

Dulu tak pernah kelu, kelu terlalu dalam nuansa biru.
Dulu tak pernah beku, beku terlalu dalam dinginnya hati.
Dulu tak pernah kaku, kaku terlalu dalam patahan-patahan ruang gerak.

Hanya dulu, tentang dulu, dan cuma dulu..
Semua tak pernah kembali lagi, tak pernah tersatu dalam hati, tak pernah bersyair layaknya sufi, tak lagi dan tak pernah seperti itu lagi.

Ini bukan tentang Aku, tapi Aku yang mencoba meng-Aku.
Tak pernah mencoba menjadi dulu, tapi akan selalu merindukan dulu.

Entahlah...

Stop Playing Small!

Mungkin hari ini puncak, puncak dari segala keriuhan yang ada di benak. Belajar untuk memulai segala sesuatu melewati sebuah proses yang terus berkesinambungan. Satu demi satu yang terus dijaga adalah keterbalikannya. Terus mencoba membaliknya kemudian menanamkannya dalam sebuah konstruksi yang melekat erat kokoh pada pusat memori.

Setiap proses dipahami keterbalikannya seperti anak-anak yang sedang belajar menggambar. Ya... Mewarnai setiap lembar dengan sesuka hati, walau terkadang tak beratur warna, atau kontras bertabrakan, atau bisa jadi memang seindah yang nampak. Lagi-lagi, yang coba dipahami adalah bagaimana mereka berproses dengan sesuatu yang lekat dalam pusat memori. Membalik-balik sesukanya, memilih sekenanya, bersinergi dalam imajinasi lalu mereduksasi dalam sebuah konstruksi yang sengaja dilekatkan. Selanjutnya, berbuah hasil sebagaimana sejauh proses itu melangkah, manakala tahapan diminta kemudian terulang kembali.

Terus dan terus berproses layaknya mereka, mencoba memahami dengan runut prosesnya untuk mengawal segala sesuatu. Kian jelas nampak, proses itu akan terlihat sama saja dan terulang dalam sebuah kesadaran atas dasar konstruksi yang telah ditanamkan sebelumnya. Dalam hal itu, yang kian dipahami adalah sekuat apa konstruksi tersebut ditanamkan. Bukan hal yang tak mungkin bila konstruksi itu runtuh karena dari awal prosesnya pun tak dibangun dengan pondasi kuat, atau mungkin berawal proses dengan kuat namun dalam perjalanannya tidak bersinergi dengan proses lain yang saling menguatkan.

Apa yang coba digaris tebalkan dalam hal ini juga berkait dengan sinergisasi proses dengan pusat memori. Ini menyoal besar dan kecil. Besar dan kecil yang relatif, tapi bermakna. Bagaimana membesarkan sebuah proses yang kecil atau mengecilkan proses yang besar, sangat tergantung dari apa yang kita mungkinkan untuk lebih dominan dari keduanya. Proses besar berawal dari proses kecil, tapi yang harus dipahami bahwa proses besar itu bisa saja tidak akan pernah besar jika dalam berjalannya waktu, mengecilkan prosesnya menjadi lebih dimungkinkan dominan. Demikian pula sebaliknya.


Stop Playing Small! Yakinlah bahwa sesuatu yang besar memang harus dimulai dengan proses besar pula..

Mencoba tetap menjaga keterbalikannya, hari ini menjadi bukti. Sesuatu yang besar tidak dimungkinkan besar kalau Kita mengecilkan prosesnya.

Jika Kau yang menerima surat ini...

"Kami masih ada pada awal hidup kami. Namun rasanya seolah-olah kami sudah jauh melalui jalan hidup ini. Hidup yang penuh pergulatan batin serta derita... Jika saya sekarang melihat kembali, saya melihat dimana-mana tangan Tuhan dan saya mengakui dan ingat dengan rasa terimakasih yang besar bahwa pada saat-saat kesukaran Tuhan tidak pernah meninggalkan kami... Dahulu yg demikian itu nampaknya misterius,tetapi sekarang telah menjadi terang dan sederhana saja: hanya Tuhan yang mengetahui teka-teki dunia. Tangan-Nya yg mengatur alam semesta. IA-lah yg mempersatukan jalan orang-orang yang berjauhan untuk membangun jalan baru"

(Surat kepada Nyonya Nellie van Kol, 21 Juli 1902, DDTL, hal221)

"Kartini, sebuah biografi"
Sitisoemandari Soeroto

Samudera Mengering, Tetap Percaya

Aku harus bisa mengalahkan
Malam-malam kesepian
Yang menjadi musuh besarku

Aku harus bisa menaklukkan
Hari-hari sendirian
Yang menjadi lawan tangguhku

Tak ada yang akan bisa meruntuhkan niatku
Tuk bertemu, memeluk, dan menyanding
Meski surya membenamkan tubuhku di lautan
Ku tunggu sampai samudera mengering

Tetap percaya
Tetap disampingku
Walau terluka, hatiku..

Ku akan bertahan dengan semua beban
Walau terluka, hatiku..

Kala senja telah hilang dan tenggelam
Kala hati tlah terluka dan terbuang
Sekuat mungkin ku akan membuktikan
Bahwa hati itu luas tak berbatas
Jika senja pasti akan tergantikan fajar

Aku percaya
Aku bertahan
Walau terluka, hatiku...

(Samudera Mengering, Tetap Percaya -- JIKUSTIK)

Senin, 05 Juli 2010

Pajak Hiburan

BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang

Dalam rangka meningkatkan kemampuan keuangan daerah agar dapat melaksanakan otonomi khususnya yang berasal dari pajak daerah dan retribusi daerah, Pemerintah menetapkan berbagai kebijakan perpajakan daerah, diantaranya dengan menetapkan UU No.28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah sebagaimana telah diubah beberapa kali atas UU No.34 Tahun 2000 dan UU No.18 Tahun 1997. UU No.28 Tahun 2009 yang baru-baru ini disahkan oleh Pemerintah diharapkan dapat lebih mendorong peningkatan pelayanan kepada masyarakat dan kemandirian daerah. Dalam UU tersebut, pajak daerah dan retribusi daerah menjadi salah satu sumber pendapatan daerah yang penting guna membiayai pelaksanaan pemerintahan daerah sehingga terdapat perluasan objek pajak daerah dan retribusi daerah serta adanya pemberian diskresi (keleluasaan) dalam penerapan tarif.

Perubahan Undang-Undang Nomor 34 tahun 2000 tentang pajak dan retribusi daerah yang tertuang dalam Undang-Undang tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Nomor 28 Tahun 2009 selain menambah jenis pajak daerah, juga dikembangkan dalam perluasan basis pajak. Perubahan tersebut salah satunya mengakibatkan perubahan tarif Pajak Hiburan. Tiga kelompok tarif pajak hiburan yang diperkenankan bagi pemerintah kabupaten/kota sebagai berikut: Pertama, tarif maksimal 35% (tiga puluh lima persen), antara lain untuk pertunjukan sirkus, akrobat, sulap, dan tontonan film. Kedua, tarif maksimal 10% (sepuluh persen) khusus untuk hiburan kesenian rakyat dan tradisional. Ketiga, bertarif maksimal 75% (tujuh puluh lima persen), yakni untuk permainan ketangkasan, diskotek, klab malam, karaoke, mandi uap, panti pijat, pagelaran busana, dan kontes kecantikan.

I.2 Pembatasan Permasalahan

Makalah ini bertujuan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut:

a. Apa tujuan kenaikan tarif Pajak Hiburan?

b. Apa saja tantangan yang akan dihadapi dalam penerapan tarif Pajak Hiburan yang baru?

I.3 Tujuan Penulisan

Adapun tujuan yang diharapkan dari penulisan ini adalah:

1. Untuk memenuhi tugas mata kuliah Pajak Daerah dan Retribusi Daerah

2. Untuk mengetahui apa tujuan kenaikan tarif Pajak Hiburan

3. Untuk mengetahui tantangan apa saja yang dihadapi dalam penerapan tarif Pajak Hiburan yang baru.

I.4 Metode Penulisan

Metode penulisan yang digunakan oleh Penulis adalah studi kepustakaan yaitu mengumpulkan data dengan menelusuri dan mempelajari bahan-bahan yang berasal dari buku, tesis, situs-situs internet, dan data-data penunjang lainnya. Peneliti menggunakan studi kepustakaan untuk menambah data dan/atau informasi yang menunjang penulisan ini.

I.5 Sistematika Penulisan

Agar penulisan ini lebih mudah untuk dipahami, maka akan disajikan sistematika penulisan sebagai berikut:

Bab 1 Pendahuluan

Pada bab ini akan dijelaskan secara garis besar dari keseluruhan penulisan ini yang terdiri atas latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penulisan, metode penulisan serta sistematika penulisan.

Bab 2 Pembahasan

Pada bab ini akan dipaparkan dasar hukum dan analisa masalah.

Bab 3 Penutup

Pada bab ini berisi kesimpulan dan saran penulis. Setelah menganalisa permasalahan dengan meninjau teori-teori yang telah dipaparkan sebelumnya, maka dalam bab ini Penulis berusaha untuk merumuskan benang merahnya ke dalam poin-poin penting berupa kesimpulan.

BAB II

PEMBAHASAN

II.1 Kerangka Teori

II.1.1 Pengertian Pajak Hiburan

Pajak Hiburan adalah pajak atas penyelenggaraan hiburan. Selain itu, Pajak Hiburan dapat pula diartikan sebagai pungutan daerah atas penyelenggaraan hiburan. Dalam pemungutan Pajak Hiburan terdapat beberapa terminologi yang perlu diketahui. terminologi tersebut antara lain:

1. Hiburan adalah semua jenis pertunjukkan, permainan, permainan ketangkasan, dan atas keramaian dengan nama dan bentuk apa pun, yang ditontotn atau dinikmati oleh setiap orang dengan dipungut bayaran, tidak termasuk penggunaan fasilitas untuk berolahraga.

2. Penyelenggara hiburan adalah orang pribadi atau badan yang bertindak baik untuk atas namanya sendiri atau badan yang bertindak baik untuk atas namanya sendiri atau untuk dan atas nama pihak lain yang menjadi tanggungannya dalam menyelenggarakan suatu hiburan.

3. Penonton atau pengunjung adalah setiap orang yang menghadiri suatu hiburan untuk melihat dan atau mendengar atau menikmatinya atau menggunakan fasilitas yang disediakan oleh penyelenggara hiburan, kecuali penyelenggara, karyawan, artis (para pemain), dan petugas yang menghadiri untuk melakukan tugas pengawasan.

4. Pembayaran adalah jumlah yang diterima atau seharusnya diterima dalam bentuk apa pun untuk harga pengganti yang diminta atau seharusnya diminta wajib pajak sebagai penukar atas pemakaian dan atau pembelian jasa hiburan serta fasilitas penunjangnya termasuk pula semua tambahan dengan nama apa pun juga yang dilakukan oleh wajib pajak yang berkaitan langsung dengan penyelenggaraan hiburan. Termasuk dalam pengertian pembayaran adalah jumlah yang diterima atau seharusnya diterima, termasuk yang akan diterima, antara lain pembayaran yang dilakukan tidak secara tunai.

5. Tanda masuk adalah semua tanda atua alat atau cara yang sah dengan nama dan dalam bentuk aapa pun yang dapat digunakan untuk menonton, menggunakan fasilitas, atau menikmati hiburan. Tanda atau alat atau cara yang sah adalah berupa tanda masuk yang dilegalsasu oleh Dinas Pendapatan Daerah Kabupaten/Kota. Termasuk tanda masuk di sini adalah tanda masuk dalam bentuk dan dengan nama apa pun, misalnya karcis, tiket undangan, kartu langganan, kartu anggota (membership), dan sejenisnya.

6. Harga tanda masuk, selanjutnya disingkat HTM, adalah bayaran nilai uang yang tercantum pada tanda masuk yang harus dibayar oleh penonton atau pengunjung.

Objek Pajak

Disebutkan dalam UU PDRD No 28 tahun 2009 Pasal 42 bahwa:

(1) Objek Pajak Hiburan adalah jasa penyelenggaraan Hiburan dengan dipungut bayaran.

(2) Hiburan tersebut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:

a. tontonan film;

b. pagelaran kesenian, musik, tari, dan/atau busana;

c. kontes kecantikan, binaraga, dan sejenisnya;

d. pameran;

e. diskotik, karaoke, klab malam, dan sejenisnya;

f. sirkus, akrobat, dan sulap;

g. permainan bilyar, golf, dan boling;

h. pacuan kuda, kendaraan bermotor, dan permainan ketangkasan;

i. panti pijat, refleksi, mandi uap/spa, dan pusat kebugaran (fitness center); dan

j. pertandingan olahraga.

(3) Penyelenggaraan Hiburan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dikecualikan dengan Peraturan Daerah.

II.1.2 Subjek Pajak dan Wajib Pajak

Disebutkan dalam UU PDRD No 28 tahun 2009 Pasal 43 bahwa:

(1) Subjek Pajak Hiburan adalah orang pribadi atau Badan yang menikmati Hiburan.

(2) Wajib pajak hiburan adalah orang pribadi atau Badan yang menyelenggarakan hiburan.

II.1.3 Dasar pengenaan pajak

Disebutkan dalam UU PDRD No 28 tahun 2009 Pasal 44 bahwa:

(1) Dasar pengenaan Pajak Hiburan adalah jumlah uang yang diterima atau yang seharusnya diterima oleh penyelenggara Hiburan.

(2) Jumlah uang yang seharusnya diterima sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk potongan harga dan tiket cuma-cuma yang diberikan kepada penerima jasa Hiburan.

II.1.4 Tarif pajak

Disebutkan dalam UU PDRD No 28 tahun 2009 Pasal 45 bahwa:

(1) Tarif Pajak Hiburan ditetapkan paling tinggi sebesar 35% (tiga puluh lima persen).

(2) Khusus untuk Hiburan berupa pagelaran busana, kontes kecantikan, diskotik, karaoke, klab malam, permainan ketangkasan, panti pijat, dan mandi uap/spa, tarif pakak Hiburan dapat ditetapkan paling tinggi sebesar 75% (tujuh puluh lima persen).

(3) Khusus Hiburan kesenian rakyat/tradisional dikenakan tarif Pajak Hiburan ditetapkan paling tinggi sebesar 10% (sepuluh persen).

(4) Tarif Pajak Hiburan ditetapkan dengan Peraturan Daerah

II.1.5 Besaran pajak terutang

Disebutkan dalam UU PDRD No 28 tahun 2009 Pasal 46 bahwa:

(1) Besaran pokok pajak Hiburan yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif pajak sebagaimana dimaksud dalam pasal 45 ayat (4) dengan dasar pengenaan pajak sebagaimana dimaksud dalam pasal 44.

(2) Pajak Hiburan dipungut di wilayah daerah tempat hiburan diselenggarakan.

II.2 Analisa Masalah

Pajak merupakan sumber utama untuk pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan suatu negara. Secara umum, tujuan adanya pajak adalah sebagai alat untuk memasukkan dana secara optimal ke Kas Negara berdasarkan Undang-Undang Perpajakan yang berlaku. Dan Pajak daerah merupakan sumber pendapatan daerah yang penting guna memenuhi kas daerah yang diperuntukkan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah. Serta merupakan salah satu bentuk peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan otonomi daerah.

Permasalahan yang dihadapi oleh Daerah pada umumnya dalam kaitan penggalian sumber-sumber pajak daerah dan retribusi daerah yang merupakan salah satu komponen dari Pendapatan Asli Daerah (PAD) adalah belum memberikan kontribusi yang signifikan terhadap penerimaan daerah secara keseluruhan. Untuk itu diperlukan intensifikasi dan ekstensifikasi subyek dan obyek pendapatan untuk mendongkrak penerimaan perpajakan di daerah. Dalam jangka pendek, kegiatan yang paling mudah dan dapat segera dilakukan adalah dengan melakukan intensifikasi terhadap obyek atau sumber pendapatan daerah yang sudah ada. Dan dalam konteks Pajak Hiburan, Pemerintah kemudian memperluas basis Pajak Hiburan dengan membaginya ke dalam tiga kelompok tarif Pajak Hiburan yang diperkenankan bagi pemerintah kabupaten/kota untuk menariknya. Pertama, tarif maksimal 35% (tiga puluh lima persen), antara lain untuk pertunjukan sirkus, akrobat, sulap, dan tontonan film. Kedua, tarif maksimal 10% (sepuluh persen) khusus untuk hiburan kesenian rakyat dan tradisional. Ketiga, bertarif maksimal 75% (tujuh puluh lima persen), yakni untuk pagelaran busana, kontes kecantikan, diskotik, karaoke, klab malam, permainan ketangkasan, panti pijat, dan mandi uap/spa.

Selain untuk tujuan umum, pajak dapat pula digunakan oleh pemerintah sebagai alat mencapai untuk tujuan-tujuan tertentu (regulerend), seperti membatasi dan mengurangi konsumsi barang yang berdampak negatif secara sosial, salah satunya yaitu kenaikan tarif Pajak Hiburan untuk tempat-tempat hiburan tertentu sebesar 75%. Kenaikan pajak hiburan hingga 75 persen mulai 1 Januari mendatang dimaksudkan untuk menekan tingkat kunjungan ke tempat-tempat hiburan tertentu, seperti panti pijat, karaoke, dan sauna. Penetapan tarif tinggi itu tidak dimaksudkan untuk mengurangi pertumbuhan tempat hiburan mahal ini sebab harga bukan penentu utama datangnya konsumen ke tempat tersebut. Tarif ditinggikan dengan harapan pemerintah kabupaten/kota bisa mengambil manfaat maksimal.

Kenaikan tarif Pajak Hiburan pada Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 ini baru berlaku efektif pada 1 Januari 2010. Menurut Direktur Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Departemen Keuangan Budi Sitepu, ketiga jenis hiburan tersebut adalah hiburan mewah yang bukan tergolong kebutuhan pokok.[1] Pajak tinggi itu ditetapkan pada jenis tempat hiburan tertentu yang dianggap memberikan pelayanan mewah dan dinikmati masyarakat berkecukupan. Tempat hiburan seperti panti pijat, karaoke, atau klab malam dikenai tarif tertinggi karena dianggap jasa mewah. Hiburan tersebut dikenai tarif tertinggi karena tingkat elastisitas terhadap harga jual layanannya rendah. Artinya, meskipun tarif layanannya dinaikkan, tidak akan mengurangi jumlah konsumen sebab pengguna jasanya merupakan kelompok masyarakat kelas menengah ke atas. Dengan demikian, penetapan tarif tinggi itu tidak dimaksudkan untuk mengurangi pertumbuhan tempat hiburan mahal ini sebab harga bukan penentu utama datangnya konsumen ke tempat tersebut. Tarif ditinggikan dengan harapan pemerintah kabupaten/kota bisa mengambil manfaat maksimal.

Contoh kasus Penghitungan Pajak Hiburan:

Pada tahun 2010, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata menargetkan penerimaan cukai tembakau dan rokok dari Provinsi Jawa Timur mencapai sebesar Rp 32 triliun. Hitunglah besar penerimaan Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kota/Kabupaten Jawa Timur dari pajak rokok pada tahun 2014?

Namun dalam Menurut Tony, penentuan pajak haruslah mengajak bicara pengusaha hiburan. Pemerintah daerah Bogor, misalnya, selama ini selalu mengajak bicara pengusaha dalam penentuan pajak hiburan.”Bagi pengusaha hiburan, kenaikan pajak memang bisa saja tinggal meningkatkan harga tiket. Namun, kalau sekadar meningkatkan harga bakal berimplikasi pada animo pengunjung wisata. Akibatnya, perolehan pajak juga pasti akan sedikit,” ujar Tony.Pemerintah dan DPR semestinya menilik kembali perjalanan penentuan pajak. Tahun 1993, pemerintah Orde Baru pernah menghapuskan semua retribusi hotel dan hiburan



[1]

Pajak Rokok

BAB I

PENDAHULUAN



1.1 Latar Belakang

Dalam rangka meningkatkan kemampuan keuangan daerah agar dapat melaksanakan otonomi khususnya yang berasal dari pajak daerah dan retribusi daerah, Pemerintah menetapkan berbagai kebijakan perpajakan daerah, diantaranya dengan menetapkan UU No.28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah sebagaimana telah diubah beberapa kali atas UU No.34 Tahun 2000 dan UU No.18 Tahun 1997. UU No.28 Tahun 2009 yang baru disahkan oleh DPR pada 18 Agustus 2009 lalu diharapkan dapat lebih mendorong peningkatan pelayanan kepada masyarakat dan kemandirian daerah. Dalam UU tersebut, pajak daerah dan retribusi daerah menjadi salah satu sumber pendapatan daerah yang penting guna membiayai pelaksanaan pemerintahan daerah sehingga terdapat perluasan objek pajak daerah dan retribusi daerah serta adanya pemberian diskresi (keleluasaan) dalam penerapan tarif. Kebijakan pajak daerah dan retribusi daerah untuk kemudian dilaksanakan berdasarkan prinsip demokrasi, pemerataan dan keadilan, peran serta masyarakat, dan akuntabilitas dengan memperhatikan potensi daerah.

Pasca pembaharuan UU No.34 Tahun 2000 menjadi UU No.28 Tahun 2009, Pajak Propinsi kemudian ditetapkan sebanyak 5 (lima) jenis pajak, yaitu : (i) Pajak Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air (PKB & KAA); (ii) Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air (BBNKB & KAA); (iii) Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBBKB); (iv) Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan (P3ABT & AP); (v) Pajak Rokok.

Salah satu jenis pajak baru yang Dalam UU PDRD yang disahkan pada 18 Agustus 2009 adalah Pajak Rokok. Pajak rokok adalah pungutan atas cukai rokok yang dipungut oleh pemerintah. Secara efektif pemberlakuan pajak rokok ini baru akan diterapkan pada tahun 2014. Dasar Pengenaan Pajak rokok adalah cukai rokok dan besarnya tarif ditetapkan sebesar 10 persen dari cukai rokok. Pajak rokok masuk dalam kategori pajak provinsi yang menjadi penyempurna kebijakan dan peraturan pajak daerah dalam bentuk perluasaan objek pajak daerah. Artinya, pajak rokok ini nantinya akan menjadi sumber pendapatan asli daerah (PAD). Meskipun demikian pemerintah provinsi diharuskan membagi penerimaan dari Pajak Rokok ini dengan pemerintah kabupaten/kota dengan porsi sebesar 70 persen untuk kabupaten/kota sisanya sebesar 30 persen diperuntukkan bagi pemerintah provinsi. Terdapat alokasi (earmark tax) paling sedikit 50 persen dari hasil penarikan pajak rokok, dipakai untuk mendanai fasilitas pelayanan kesehatan masyarakat dan penegakan hukum. Di bidang kesehatan keputusan ini diambil sebagai langkah pengimbangan antara konsumsi rokok dengan kesehatan masyarakat. dan di bidang penegakan hukum terkait permasalahan rokok illegal.

1.2 Pembatasan Permasalahan

Makalah ini bertujuan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut:

a. Apa tujuan utama dari pengenaan Pajak Rokok?

b. Apakah pengenaan pajak rokok merupakan double taxation terhadap cukai rokok?

c. Bagaimana penerapan earmarking tax berhubungan dengan implementasi penerapan Pajak Rokok?

1.3 Tujuan Penulisan

Adapun tujuan yang diharapkan dari penulisan ini adalah:

1. Untuk memenuhi tugas mata kuliah Pajak Daerah dan Retribusi Daerah

2. Untuk mengkaji apa tujuan utama dari pengenaan Pajak Rokok.

3. Untuk mengkaji apakah pengenaan pajak rokok merupakan double taxation terhadap cukai rokok.

4. Untuk mengkaji bagaimana penerapan earmarking tax berhubungan dengan implementasi penerapan Pajak Rokok

1.4 Metode Penulisan

Metode penulisan yang digunakan oleh Penulis adalah studi kepustakaan yaitu mengumpulkan data dengan menelusuri dan mempelajari bahan-bahan yang berasal dari buku, tesis, situs-situs internet, dan data-data penunjang lainnya. Peneliti menggunakan studi kepustakaan untuk menambah data dan/atau informasi yang menunjang penulisan ini.

1.5 Sistematika Penulisan

Agar penulisan ini lebih mudah untuk dipahami, maka akan disajikan sistematika penulisan sebagai berikut:

Bab 1 Pendahuluan

Pada bab ini akan dijelaskan secara garis besar dari keseluruhan penulisan ini yang terdiri atas latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penulisan, metode penulisan serta sistematika penulisan.

Bab 2 Pembahasan

Pada bab ini akan dipaparkan landasan teori analisa masalah.

Bab 3 Penutup

Pada bab ini berisi Kesimpulan dan Rekomendasi penulis. Setelah menganalisa permasalahan dengan meninjau teori-teori yang telah dipaparkan sebelumnya, maka dalam bab ini Penulis berusaha untuk merumuskan benang merahnya ke dalam poin-poin penting berupa kesimpulan.

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Landasan teori

A. Objek pajak

Disebutkan dalam UU PDRD No 28 tahun 2009 Pasal 26 bahwa:

(1) Objek pajak rokok adalah konsumsi rokok.

(2) Rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi sigaret, cerutu, dan rokok daun.

(3) Dikecualikan dari objek Pajak Rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah rokok yang tidak dikenai cukai berdasarkan peraturan perundang-undangan di bidang cukai.

B. Subjek Pajak dan Wajib Pajak

Disebutkan dalam UU PDRD No 28 tahun 2009 Pasal 27 bahwa:

(1) Subjek pajak rokok adalah konsumen rokok.

(2) Wajib pajak rokok adalah pengusaha pabrik rokok/produsen dan importer rokokyang memiliki izin berupa Nomor Pokok Pengusaha Barang Kena Cukai.

(3) Pajak Rokok dipungut oleh instansi Pemerintah yang berwenang memungut cukai bersamaan dengan pemungutan cukai rokok.

(4) pajak rokok yang dipungut oleh instansi Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disetor ke rekening kas umum daerah secara proporsional berdasarkan jumlah penduduk.

(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemungutan dan penyetoran Pajak Rokok diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan

C. Dasar pengenaan pajak

Disebutkan dalam UU PDRD No 28 tahun 2009 Pasal 28 bahwa:

Dasar pengenaan Pajak Rokok adalah cukai yang ditetapkan oleh Pemerintah terhadap rokok.

D. Tarif pajak

Disebutkan dalam UU PDRD No 28 tahun 2009 Pasal 29 bahwa:

Tarif pajak rokok ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen) dari cukai rokok.

E. Besaran pajak terutang

Disebutkan dalam UU PDRD No 28 tahun 2009 Pasal 30 bahwa:

Besaran pokok pajak Rokok yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tariff pajak sebagaimana dimaksud dalam pasal 29 dengan dasar pengenaan pajak sebagaimana dimaksud dalam pasal 28.

F. Earmarking Tax

Disebutkan dalam UU PDRD No 28 tahun 2009 Pasal 31 bahwa:

Penerimaan Pajak Rokok, baik bagian provinsi maupun bagian kabupaten/kota, dialokasikan paling sedikit 50% (lima puluh persen) untuk mendanai pelayanan kesehatan masyarakat dan penegakan hukum oleh aparat yang berwenang.

2.2 Analisis Masalah

A. Tujuan Pajak Rokok

Pajak merupakan sumber utama untuk pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan suatu negara. Secara umum tujuan adanya pajak adalah sebagai alat untuk memasukkan dana secara optimal ke Kas Negara berdasarkan Undang-Undang Perpajakan yang berlaku. memperoleh dana yang digunakan untuk pembangunan, pertahanan negara, kesejahteraan dan pelayanan umum masyarakat serta biaya rutin administrasi negara. Selain untuk tujuan umum, pajak dapat pula digunakan oleh pemerintah sebagai alat mencapai untuk tujuan-tujuan tertentu (regulerend), seperti membatasi dan mengurangi konsumsi barang yang berdampak negatif secara sosial salah satunya bahaya rokok.

Tujuan utama penerapan pajak rokok adalah untuk melindungi masyarakat terhadap bahaya rokok. Penerapan pajak rokok sebesar 10 persen dari nilai cukai juga dimaksudkan untuk memberikan optimalisasi pelayanan pemerintah daerah dalam menjaga kesehatan masyarakat. Seperti diketahui bahwa rokok, membawa dampak kesehatan yang tidak baik bagi perokok itu sendiri maupun orang lain. Pemerintah daerah berkewajiban untuk menjaga kesehatan masyarakat. Selain itu pemda juga harus melakukan pengawasan terhadap rokok di daerah masing-masing termasuk rokok ilegal. Dengan pajak rokok maka kewajiban pemerintah untuk mengoptimalkan kesehatan masyarakat bisa menjadi lebih baik.

B. Pajak Rokok Vs. Cukai Rokok

Konsep dan keberadaan dari pajak berganda (Double Taxation) telah menjadi debat yang signifikan sejak masa lalu. Secara sederhana, pengertian dari pajak berganda adalah suatu prinsip perpajakan yang mengacu pada pajak yang dibayar dua kali di sumber yang sama.

Menurut Campbell R. Harvey, Pajak Berganda adalah:

Government taxation of the same money twice; specifically, earnings taxed first at the corporate level and then again as dividends at the stockholder level

Menurut Campbell R. Harvey, Pajak Berganda adalah:

A taxation principle referring to income taxes that are paid twice on the same source of earned income.[1]

Menurut David L. Scott, pengertian Pajak Berganda adalah:

Taxation of the same income twice by the same taxing authority. It is generally used to refer to the taxation of dividends that are taxed once at the corporate level (as income before dividends are declared) and again at the personal level (when the dividends are received).[2]

Menurut Denise L. Evans, JD & O. William Evans, JD, pengertian Pajak Berganda adalah:

A situation said to exist when a corporation must pay taxes on income, make dividend payments to shareholders on after-tax dollars, and then the shareholders must again pay taxes on the dividends. This is the situation with normal corporations, called C-corporations, that do not qualify for S-corporation (small corporation) status. S-corporations file reports allocating pro rata shares of all income to the individual shareholders, who then pay taxes on that number. The corporation itself does not pay any taxes.[3]

Sedangkan, menurut Penulis pengertian Pajak Berganda adalah:

Pembebanan jenis pajak yang sama dari sumber yang sama pada dua level berbeda (pajak atas pajak), ataupun dapat terjadi ketika suatu wajib pajak dikaenakan dua jenis pajak yang berbeda pada objek yang sama.

Pajak berganda pada situasi pertama dapat terjadi jika terjadi pemungutan pajak pada beberapa level, seperti Pajak Penghasilan pada kasus pembagian dividen di tingkat perusahaan (corporate) dan pemegang saham (shareholder dividend). Sedangkan situasi kedua terjadi ketika yurisdiksi pajak tumpang-tindih dan suatu transaksi, asset, atau jumlah pendapatan tunduk kepada perpajakan di pada kedua yurisdiksi tersebut.

Pajak Rokok memiliki Dasar Pengenaan Pajak yang berbeda dengan cukai rokok, dimana Dasar Pengenaan Pajak Rokok adalah cukai yang ditetapkan oleh Pemerintah terhadap rokok.[4] Sedangkan Dasar pengenaan Cukai Rokok adalah Harga Dasar yang digunakan untuk perhitungan cukai atas Barang Kena Cukai yang dibuat di Indonesia adalah Harga Jual Pabrik atau Harga Jual Eceran.[5]

Besaran pokok Pajak Rokok yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif pajak dengan Dasar Pengenaan Pajaknya. Sedangkan pada Cukai Rokok pemerintah menerapkan besarnya cukai rokok terutang dengan sistem kombinasi, yaitu menggunakan tarif spesifik dan tarif advalorum. Tarif advalorum artinya cukai dihitung sekian persen dari harga per bungkus rokok. Harga per bungkus tersebut sesuai yang tercantum pada bungkus rokok. Sedangkan tarif spesifik artinya cukai dihitung sekian persen dari harga rokok per batang. Apabila menggunakan sistem kombinasi, maka hasil perhitungan tarif advalorum dan tarif spesifikasi digabungkan.

Di bawah ini disajikan ilustrasi yang menggambarkan perbedaan dasar penghitungan antara Pajak Rokok dan Cukai Rokok:

Contoh 1

Misalkan rokok merek “X” dengan harga jual Eceran (HJE) per batang Rp 600 termasuk cukai menggunakan tarif spesifik 40% perbatang. Hitunglah Besaran Cukai Rokok dan Pajak Rokok per batang rokok?

Jawab:

HJE per batang rokok = Rp. 600

Cukai yang dibayar pengusaha per batang: 40% x Rp 600 =Rp. (240)

Pajak Rokok yang dibayar pengusaha per batang:10% x Rp. 240 = Rp. (24)

Pajak Pertambahan Nilai untuk Rokok 8,4% x Rp. 600 =Rp. (50,4)

Laba setelah pajak Rp. 285,6

Asumsikan keuntungan yang di-share kepada distributor: 5% x Rp.600 = Rp. (30)

Laba diterima Pengusaha Rokok Rp. 255,6

Contoh 2

Dengan menggunakan tarif advolrum, harga satu bungkus rokok rokok merek “Y” sebesar Rp. 10.000 dengan cukai 40%. Itu artinya nilai cukai adalah sebesar 40% x Rp 10.000 = Rp. 4.000. Kemudian pemda menambah Pajak Rokok dengan tarif 10% atas cukai. Sehingga besar pajak rokok adalah 10% x Rp 4000 = Rp. 400. Jadi, harga eceran pokok total naik menjadi Rp. 10.400.

C. Earmarking Pajak Rokok

Secara konsepsional alokasi penerimaan Negara dari Cukai Rokok selama ini menyimpang dari tujuannya. Cukai rokok Indonesia mengalir ke kas APBN untuk dana pembangunan, bukan untuk mengendalikan barang yang dikenai cukai, yaitu rokok. Hal ini menyimpang dari formula universal bahwa cukai adalah “pajak dosa” (sin tax), yaitu pajak atas konsumsi barang yang bersifat negatif.

Dalam UU PDRD No 28 tahun 2009 lahir kebijakan untuk alokasi khusus untuk mengendalikan bahaya rokok (earmarking tax), seperti dalam pasal 31 disebutkan bahwa penerimaan Pajak Rokok, baik bagian provinsi maupun bagian kabupaten/kota, dialokasikan paling sedikit 50% (lima puluh persen) untuk mendanai pelayanan kesehatan masyarakat dan penegakan hukum oleh aparat yang berwenang. Melalui kebijakan ”earmarking” ini daerah dipacu untuk secara bertahap dan terus menerus melakukan perbaikan (sustainable development) kualitas pelayanan publik di daerahnya.

Penerimaan Pajak Rokok dialokasikan untuk mendanai bidang pelayanan kesehatan (pembangunan/pengadaan dan pemeliharaan sarana dan prasarana unit pelayanan kesehatan, penyediaan sarana umum yang memadai bagi perokok (smoking area), kegiatan memasyarakatkan tentang bahaya merokok, dan iklan layanan masyarakat mengenai bahaya merokok).

Penerimaan Pajak Rokok juga dialokasikan untuk mendanai bidang penegakan hukum terkait rokok illegal, yaitu rokok yang dalam tahap produksinya tidak terdaftar sehingga tidak membayar Cukai rokok. Dalam pelaksanaannya, pajak rokok akan ditandai dengan adanya semacam stiker atau pita cukai tambahan yang dilekatkan pada masing-masing bungkus rokok. Distributor wajib menyampaikan laporan yang berisi jumlah rokok yang akan dijual kepada pemerintah provinsi.

Rokok yang beredar di satu provinsi akan berbeda dengan provinsi lainnya, lantaran memiliki stiker atau pita cukai tambahan yang berlainan. Pengawasan peredaran rokok akan langsung dilakukan oleh pemerintah daerah, baik provinsi, kabupaten, maupun kota. Tugas ini bisa diserahkan kepada Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) yang dibantu Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.

Contoh kasus Penghitungan Earmarking atas Pajak Rokok:

Pada tahun 2014 Departemen Keuangan menargetkan penerimaan cukai tembakau dan rokok dari Provinsi Jawa Timur mencapai sebesar Rp 32 triliun. Hitunglah besar penerimaan Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kota/Kabupaten Jawa Timur dari pajak rokok pada tahun 2014?

Jawab:

Besar cukai rokok = Rp. 32.000.000.000.000

Maka,Besar Pajak rokok:

DPP: 10% x Rp. 32.000.000.000.000 = Rp. 3.200.000.000.000

àPenerimaan dari Pajak Rokok

- Pemerintah Provinsi:

30% x Rp. 3.200.000.000.000 = Rp. 960.000.000.000

- Pemerintah Kabupaten/Kota:

70% x Rp. 3.200.000.000.000 = Rp. 2.240.000.000.000

àAlokasi (earmark) penerimaan pajak:

- Pemerintah Provinsi:

50% x Rp. 960.000.000.000 = Rp. 480.000.000.000

- Pemerintah Kabupaten/Kota:

50% x Rp. 2.240.000.000.000 = Rp. 1.120.000.000.000

BAB III

KESIMPULAN

3.1 Kesimpulan

Tujuan utama penerapan pajak rokok adalah untuk melindungi masyarakat terhadap bahaya rokok. Penerapan pajak rokok sebesar 10 persen dari nilai cukai juga dimaksudkan untuk memberikan optimalisasi pelayanan pemerintah daerah dalam menjaga kesehatan masyarakat.

Pajak Rokok tidak bisa dikatakan pajak berganda atau double taxation. Dilihat dari dasar penghitungannya, Pajak Rokok berbeda dengan Cukai Rokok. Dasar pemungutan Pajak Rokok dikenakan atas besaran cukai, sedangkan dasar pemungutan cukai adalah terhadap produk rokok. Pajak berganda baru akan terjadi jika Pajak Rokok dikenakan terhadap produk rokok. Sedangkan jika dilihat dari alokasi penerimaan, terdapat perbedaan antara Pajak Rokok dan Cukai Rokok, Pajak Rokok dipungut oleh Pemerintah daerah dan sepenuhnya masuk ke kas Pemerintah daerah. Sementara cukai rokok yang diterapkan selama ini,adalah pajak yang peruntukannya untuk Pemerintah Pusat.

Melalui kebijakan ”earmarkingyang ada di dalam Pajak Rokok setiap daerah akan dipacu untuk secara bertahap dan terus menerus melakukan perbaikan dan peningkatan (sustainable development) kualitas pelayanan publik di daerahnya secara nyata. Terutama di bidang pelayanan kesehatan dan penegakan hukum terkait rokok illegal.

3.2 Saran

Sebelum Pajak Rokok diimplementasikan pada tahun 2014, pemerintah diharapkan secepatnya mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara teknis penghitungan (besaran pajak), pemungutan dan penyetoran Pajak Rokok. Karena pajak Rokok merupakan jenis pajak baru, maka harus dilakukan evaluasi dan persiapan yang matang untuk masing-masing daerah supaya bisa menerapkan pajak ini dengan baik. Tidak boleh dilupakan esensi bahwa ini adalah pajak daerah jadi daerah diharuskan sudah dapat memungut pajak daerahnya sendir, tidak tergantung pada Pemerintah Pusat.



[1] Broomhead, Nick D. 1998. Avoiding Double Taxation: An Employment Tax Savings Opportunity. US: Tax Adviser.

[2] Scott, David L. 2003. Wall Street Words: An A to Z Guide to Investment Terms for Today's Investor . US: Houghton Mifflin Company.

[3] Denise L, Evans. JD & O. William Evans, JD. 2007. The Complete Real Estate Encyclopedia. US: The McGraw-Hill Companies, Inc.

[4] UU No 28 Tahun 2009 Pasal 28 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.

[5] UU No 11 Tahun 1995 Pasal 6 tentang Cukai.