Senin, 05 Juli 2010

Pajak Rokok

BAB I

PENDAHULUAN



1.1 Latar Belakang

Dalam rangka meningkatkan kemampuan keuangan daerah agar dapat melaksanakan otonomi khususnya yang berasal dari pajak daerah dan retribusi daerah, Pemerintah menetapkan berbagai kebijakan perpajakan daerah, diantaranya dengan menetapkan UU No.28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah sebagaimana telah diubah beberapa kali atas UU No.34 Tahun 2000 dan UU No.18 Tahun 1997. UU No.28 Tahun 2009 yang baru disahkan oleh DPR pada 18 Agustus 2009 lalu diharapkan dapat lebih mendorong peningkatan pelayanan kepada masyarakat dan kemandirian daerah. Dalam UU tersebut, pajak daerah dan retribusi daerah menjadi salah satu sumber pendapatan daerah yang penting guna membiayai pelaksanaan pemerintahan daerah sehingga terdapat perluasan objek pajak daerah dan retribusi daerah serta adanya pemberian diskresi (keleluasaan) dalam penerapan tarif. Kebijakan pajak daerah dan retribusi daerah untuk kemudian dilaksanakan berdasarkan prinsip demokrasi, pemerataan dan keadilan, peran serta masyarakat, dan akuntabilitas dengan memperhatikan potensi daerah.

Pasca pembaharuan UU No.34 Tahun 2000 menjadi UU No.28 Tahun 2009, Pajak Propinsi kemudian ditetapkan sebanyak 5 (lima) jenis pajak, yaitu : (i) Pajak Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air (PKB & KAA); (ii) Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air (BBNKB & KAA); (iii) Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBBKB); (iv) Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan (P3ABT & AP); (v) Pajak Rokok.

Salah satu jenis pajak baru yang Dalam UU PDRD yang disahkan pada 18 Agustus 2009 adalah Pajak Rokok. Pajak rokok adalah pungutan atas cukai rokok yang dipungut oleh pemerintah. Secara efektif pemberlakuan pajak rokok ini baru akan diterapkan pada tahun 2014. Dasar Pengenaan Pajak rokok adalah cukai rokok dan besarnya tarif ditetapkan sebesar 10 persen dari cukai rokok. Pajak rokok masuk dalam kategori pajak provinsi yang menjadi penyempurna kebijakan dan peraturan pajak daerah dalam bentuk perluasaan objek pajak daerah. Artinya, pajak rokok ini nantinya akan menjadi sumber pendapatan asli daerah (PAD). Meskipun demikian pemerintah provinsi diharuskan membagi penerimaan dari Pajak Rokok ini dengan pemerintah kabupaten/kota dengan porsi sebesar 70 persen untuk kabupaten/kota sisanya sebesar 30 persen diperuntukkan bagi pemerintah provinsi. Terdapat alokasi (earmark tax) paling sedikit 50 persen dari hasil penarikan pajak rokok, dipakai untuk mendanai fasilitas pelayanan kesehatan masyarakat dan penegakan hukum. Di bidang kesehatan keputusan ini diambil sebagai langkah pengimbangan antara konsumsi rokok dengan kesehatan masyarakat. dan di bidang penegakan hukum terkait permasalahan rokok illegal.

1.2 Pembatasan Permasalahan

Makalah ini bertujuan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut:

a. Apa tujuan utama dari pengenaan Pajak Rokok?

b. Apakah pengenaan pajak rokok merupakan double taxation terhadap cukai rokok?

c. Bagaimana penerapan earmarking tax berhubungan dengan implementasi penerapan Pajak Rokok?

1.3 Tujuan Penulisan

Adapun tujuan yang diharapkan dari penulisan ini adalah:

1. Untuk memenuhi tugas mata kuliah Pajak Daerah dan Retribusi Daerah

2. Untuk mengkaji apa tujuan utama dari pengenaan Pajak Rokok.

3. Untuk mengkaji apakah pengenaan pajak rokok merupakan double taxation terhadap cukai rokok.

4. Untuk mengkaji bagaimana penerapan earmarking tax berhubungan dengan implementasi penerapan Pajak Rokok

1.4 Metode Penulisan

Metode penulisan yang digunakan oleh Penulis adalah studi kepustakaan yaitu mengumpulkan data dengan menelusuri dan mempelajari bahan-bahan yang berasal dari buku, tesis, situs-situs internet, dan data-data penunjang lainnya. Peneliti menggunakan studi kepustakaan untuk menambah data dan/atau informasi yang menunjang penulisan ini.

1.5 Sistematika Penulisan

Agar penulisan ini lebih mudah untuk dipahami, maka akan disajikan sistematika penulisan sebagai berikut:

Bab 1 Pendahuluan

Pada bab ini akan dijelaskan secara garis besar dari keseluruhan penulisan ini yang terdiri atas latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penulisan, metode penulisan serta sistematika penulisan.

Bab 2 Pembahasan

Pada bab ini akan dipaparkan landasan teori analisa masalah.

Bab 3 Penutup

Pada bab ini berisi Kesimpulan dan Rekomendasi penulis. Setelah menganalisa permasalahan dengan meninjau teori-teori yang telah dipaparkan sebelumnya, maka dalam bab ini Penulis berusaha untuk merumuskan benang merahnya ke dalam poin-poin penting berupa kesimpulan.

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Landasan teori

A. Objek pajak

Disebutkan dalam UU PDRD No 28 tahun 2009 Pasal 26 bahwa:

(1) Objek pajak rokok adalah konsumsi rokok.

(2) Rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi sigaret, cerutu, dan rokok daun.

(3) Dikecualikan dari objek Pajak Rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah rokok yang tidak dikenai cukai berdasarkan peraturan perundang-undangan di bidang cukai.

B. Subjek Pajak dan Wajib Pajak

Disebutkan dalam UU PDRD No 28 tahun 2009 Pasal 27 bahwa:

(1) Subjek pajak rokok adalah konsumen rokok.

(2) Wajib pajak rokok adalah pengusaha pabrik rokok/produsen dan importer rokokyang memiliki izin berupa Nomor Pokok Pengusaha Barang Kena Cukai.

(3) Pajak Rokok dipungut oleh instansi Pemerintah yang berwenang memungut cukai bersamaan dengan pemungutan cukai rokok.

(4) pajak rokok yang dipungut oleh instansi Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disetor ke rekening kas umum daerah secara proporsional berdasarkan jumlah penduduk.

(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemungutan dan penyetoran Pajak Rokok diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan

C. Dasar pengenaan pajak

Disebutkan dalam UU PDRD No 28 tahun 2009 Pasal 28 bahwa:

Dasar pengenaan Pajak Rokok adalah cukai yang ditetapkan oleh Pemerintah terhadap rokok.

D. Tarif pajak

Disebutkan dalam UU PDRD No 28 tahun 2009 Pasal 29 bahwa:

Tarif pajak rokok ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen) dari cukai rokok.

E. Besaran pajak terutang

Disebutkan dalam UU PDRD No 28 tahun 2009 Pasal 30 bahwa:

Besaran pokok pajak Rokok yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tariff pajak sebagaimana dimaksud dalam pasal 29 dengan dasar pengenaan pajak sebagaimana dimaksud dalam pasal 28.

F. Earmarking Tax

Disebutkan dalam UU PDRD No 28 tahun 2009 Pasal 31 bahwa:

Penerimaan Pajak Rokok, baik bagian provinsi maupun bagian kabupaten/kota, dialokasikan paling sedikit 50% (lima puluh persen) untuk mendanai pelayanan kesehatan masyarakat dan penegakan hukum oleh aparat yang berwenang.

2.2 Analisis Masalah

A. Tujuan Pajak Rokok

Pajak merupakan sumber utama untuk pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan suatu negara. Secara umum tujuan adanya pajak adalah sebagai alat untuk memasukkan dana secara optimal ke Kas Negara berdasarkan Undang-Undang Perpajakan yang berlaku. memperoleh dana yang digunakan untuk pembangunan, pertahanan negara, kesejahteraan dan pelayanan umum masyarakat serta biaya rutin administrasi negara. Selain untuk tujuan umum, pajak dapat pula digunakan oleh pemerintah sebagai alat mencapai untuk tujuan-tujuan tertentu (regulerend), seperti membatasi dan mengurangi konsumsi barang yang berdampak negatif secara sosial salah satunya bahaya rokok.

Tujuan utama penerapan pajak rokok adalah untuk melindungi masyarakat terhadap bahaya rokok. Penerapan pajak rokok sebesar 10 persen dari nilai cukai juga dimaksudkan untuk memberikan optimalisasi pelayanan pemerintah daerah dalam menjaga kesehatan masyarakat. Seperti diketahui bahwa rokok, membawa dampak kesehatan yang tidak baik bagi perokok itu sendiri maupun orang lain. Pemerintah daerah berkewajiban untuk menjaga kesehatan masyarakat. Selain itu pemda juga harus melakukan pengawasan terhadap rokok di daerah masing-masing termasuk rokok ilegal. Dengan pajak rokok maka kewajiban pemerintah untuk mengoptimalkan kesehatan masyarakat bisa menjadi lebih baik.

B. Pajak Rokok Vs. Cukai Rokok

Konsep dan keberadaan dari pajak berganda (Double Taxation) telah menjadi debat yang signifikan sejak masa lalu. Secara sederhana, pengertian dari pajak berganda adalah suatu prinsip perpajakan yang mengacu pada pajak yang dibayar dua kali di sumber yang sama.

Menurut Campbell R. Harvey, Pajak Berganda adalah:

Government taxation of the same money twice; specifically, earnings taxed first at the corporate level and then again as dividends at the stockholder level

Menurut Campbell R. Harvey, Pajak Berganda adalah:

A taxation principle referring to income taxes that are paid twice on the same source of earned income.[1]

Menurut David L. Scott, pengertian Pajak Berganda adalah:

Taxation of the same income twice by the same taxing authority. It is generally used to refer to the taxation of dividends that are taxed once at the corporate level (as income before dividends are declared) and again at the personal level (when the dividends are received).[2]

Menurut Denise L. Evans, JD & O. William Evans, JD, pengertian Pajak Berganda adalah:

A situation said to exist when a corporation must pay taxes on income, make dividend payments to shareholders on after-tax dollars, and then the shareholders must again pay taxes on the dividends. This is the situation with normal corporations, called C-corporations, that do not qualify for S-corporation (small corporation) status. S-corporations file reports allocating pro rata shares of all income to the individual shareholders, who then pay taxes on that number. The corporation itself does not pay any taxes.[3]

Sedangkan, menurut Penulis pengertian Pajak Berganda adalah:

Pembebanan jenis pajak yang sama dari sumber yang sama pada dua level berbeda (pajak atas pajak), ataupun dapat terjadi ketika suatu wajib pajak dikaenakan dua jenis pajak yang berbeda pada objek yang sama.

Pajak berganda pada situasi pertama dapat terjadi jika terjadi pemungutan pajak pada beberapa level, seperti Pajak Penghasilan pada kasus pembagian dividen di tingkat perusahaan (corporate) dan pemegang saham (shareholder dividend). Sedangkan situasi kedua terjadi ketika yurisdiksi pajak tumpang-tindih dan suatu transaksi, asset, atau jumlah pendapatan tunduk kepada perpajakan di pada kedua yurisdiksi tersebut.

Pajak Rokok memiliki Dasar Pengenaan Pajak yang berbeda dengan cukai rokok, dimana Dasar Pengenaan Pajak Rokok adalah cukai yang ditetapkan oleh Pemerintah terhadap rokok.[4] Sedangkan Dasar pengenaan Cukai Rokok adalah Harga Dasar yang digunakan untuk perhitungan cukai atas Barang Kena Cukai yang dibuat di Indonesia adalah Harga Jual Pabrik atau Harga Jual Eceran.[5]

Besaran pokok Pajak Rokok yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif pajak dengan Dasar Pengenaan Pajaknya. Sedangkan pada Cukai Rokok pemerintah menerapkan besarnya cukai rokok terutang dengan sistem kombinasi, yaitu menggunakan tarif spesifik dan tarif advalorum. Tarif advalorum artinya cukai dihitung sekian persen dari harga per bungkus rokok. Harga per bungkus tersebut sesuai yang tercantum pada bungkus rokok. Sedangkan tarif spesifik artinya cukai dihitung sekian persen dari harga rokok per batang. Apabila menggunakan sistem kombinasi, maka hasil perhitungan tarif advalorum dan tarif spesifikasi digabungkan.

Di bawah ini disajikan ilustrasi yang menggambarkan perbedaan dasar penghitungan antara Pajak Rokok dan Cukai Rokok:

Contoh 1

Misalkan rokok merek “X” dengan harga jual Eceran (HJE) per batang Rp 600 termasuk cukai menggunakan tarif spesifik 40% perbatang. Hitunglah Besaran Cukai Rokok dan Pajak Rokok per batang rokok?

Jawab:

HJE per batang rokok = Rp. 600

Cukai yang dibayar pengusaha per batang: 40% x Rp 600 =Rp. (240)

Pajak Rokok yang dibayar pengusaha per batang:10% x Rp. 240 = Rp. (24)

Pajak Pertambahan Nilai untuk Rokok 8,4% x Rp. 600 =Rp. (50,4)

Laba setelah pajak Rp. 285,6

Asumsikan keuntungan yang di-share kepada distributor: 5% x Rp.600 = Rp. (30)

Laba diterima Pengusaha Rokok Rp. 255,6

Contoh 2

Dengan menggunakan tarif advolrum, harga satu bungkus rokok rokok merek “Y” sebesar Rp. 10.000 dengan cukai 40%. Itu artinya nilai cukai adalah sebesar 40% x Rp 10.000 = Rp. 4.000. Kemudian pemda menambah Pajak Rokok dengan tarif 10% atas cukai. Sehingga besar pajak rokok adalah 10% x Rp 4000 = Rp. 400. Jadi, harga eceran pokok total naik menjadi Rp. 10.400.

C. Earmarking Pajak Rokok

Secara konsepsional alokasi penerimaan Negara dari Cukai Rokok selama ini menyimpang dari tujuannya. Cukai rokok Indonesia mengalir ke kas APBN untuk dana pembangunan, bukan untuk mengendalikan barang yang dikenai cukai, yaitu rokok. Hal ini menyimpang dari formula universal bahwa cukai adalah “pajak dosa” (sin tax), yaitu pajak atas konsumsi barang yang bersifat negatif.

Dalam UU PDRD No 28 tahun 2009 lahir kebijakan untuk alokasi khusus untuk mengendalikan bahaya rokok (earmarking tax), seperti dalam pasal 31 disebutkan bahwa penerimaan Pajak Rokok, baik bagian provinsi maupun bagian kabupaten/kota, dialokasikan paling sedikit 50% (lima puluh persen) untuk mendanai pelayanan kesehatan masyarakat dan penegakan hukum oleh aparat yang berwenang. Melalui kebijakan ”earmarking” ini daerah dipacu untuk secara bertahap dan terus menerus melakukan perbaikan (sustainable development) kualitas pelayanan publik di daerahnya.

Penerimaan Pajak Rokok dialokasikan untuk mendanai bidang pelayanan kesehatan (pembangunan/pengadaan dan pemeliharaan sarana dan prasarana unit pelayanan kesehatan, penyediaan sarana umum yang memadai bagi perokok (smoking area), kegiatan memasyarakatkan tentang bahaya merokok, dan iklan layanan masyarakat mengenai bahaya merokok).

Penerimaan Pajak Rokok juga dialokasikan untuk mendanai bidang penegakan hukum terkait rokok illegal, yaitu rokok yang dalam tahap produksinya tidak terdaftar sehingga tidak membayar Cukai rokok. Dalam pelaksanaannya, pajak rokok akan ditandai dengan adanya semacam stiker atau pita cukai tambahan yang dilekatkan pada masing-masing bungkus rokok. Distributor wajib menyampaikan laporan yang berisi jumlah rokok yang akan dijual kepada pemerintah provinsi.

Rokok yang beredar di satu provinsi akan berbeda dengan provinsi lainnya, lantaran memiliki stiker atau pita cukai tambahan yang berlainan. Pengawasan peredaran rokok akan langsung dilakukan oleh pemerintah daerah, baik provinsi, kabupaten, maupun kota. Tugas ini bisa diserahkan kepada Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) yang dibantu Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.

Contoh kasus Penghitungan Earmarking atas Pajak Rokok:

Pada tahun 2014 Departemen Keuangan menargetkan penerimaan cukai tembakau dan rokok dari Provinsi Jawa Timur mencapai sebesar Rp 32 triliun. Hitunglah besar penerimaan Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kota/Kabupaten Jawa Timur dari pajak rokok pada tahun 2014?

Jawab:

Besar cukai rokok = Rp. 32.000.000.000.000

Maka,Besar Pajak rokok:

DPP: 10% x Rp. 32.000.000.000.000 = Rp. 3.200.000.000.000

àPenerimaan dari Pajak Rokok

- Pemerintah Provinsi:

30% x Rp. 3.200.000.000.000 = Rp. 960.000.000.000

- Pemerintah Kabupaten/Kota:

70% x Rp. 3.200.000.000.000 = Rp. 2.240.000.000.000

àAlokasi (earmark) penerimaan pajak:

- Pemerintah Provinsi:

50% x Rp. 960.000.000.000 = Rp. 480.000.000.000

- Pemerintah Kabupaten/Kota:

50% x Rp. 2.240.000.000.000 = Rp. 1.120.000.000.000

BAB III

KESIMPULAN

3.1 Kesimpulan

Tujuan utama penerapan pajak rokok adalah untuk melindungi masyarakat terhadap bahaya rokok. Penerapan pajak rokok sebesar 10 persen dari nilai cukai juga dimaksudkan untuk memberikan optimalisasi pelayanan pemerintah daerah dalam menjaga kesehatan masyarakat.

Pajak Rokok tidak bisa dikatakan pajak berganda atau double taxation. Dilihat dari dasar penghitungannya, Pajak Rokok berbeda dengan Cukai Rokok. Dasar pemungutan Pajak Rokok dikenakan atas besaran cukai, sedangkan dasar pemungutan cukai adalah terhadap produk rokok. Pajak berganda baru akan terjadi jika Pajak Rokok dikenakan terhadap produk rokok. Sedangkan jika dilihat dari alokasi penerimaan, terdapat perbedaan antara Pajak Rokok dan Cukai Rokok, Pajak Rokok dipungut oleh Pemerintah daerah dan sepenuhnya masuk ke kas Pemerintah daerah. Sementara cukai rokok yang diterapkan selama ini,adalah pajak yang peruntukannya untuk Pemerintah Pusat.

Melalui kebijakan ”earmarkingyang ada di dalam Pajak Rokok setiap daerah akan dipacu untuk secara bertahap dan terus menerus melakukan perbaikan dan peningkatan (sustainable development) kualitas pelayanan publik di daerahnya secara nyata. Terutama di bidang pelayanan kesehatan dan penegakan hukum terkait rokok illegal.

3.2 Saran

Sebelum Pajak Rokok diimplementasikan pada tahun 2014, pemerintah diharapkan secepatnya mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara teknis penghitungan (besaran pajak), pemungutan dan penyetoran Pajak Rokok. Karena pajak Rokok merupakan jenis pajak baru, maka harus dilakukan evaluasi dan persiapan yang matang untuk masing-masing daerah supaya bisa menerapkan pajak ini dengan baik. Tidak boleh dilupakan esensi bahwa ini adalah pajak daerah jadi daerah diharuskan sudah dapat memungut pajak daerahnya sendir, tidak tergantung pada Pemerintah Pusat.



[1] Broomhead, Nick D. 1998. Avoiding Double Taxation: An Employment Tax Savings Opportunity. US: Tax Adviser.

[2] Scott, David L. 2003. Wall Street Words: An A to Z Guide to Investment Terms for Today's Investor . US: Houghton Mifflin Company.

[3] Denise L, Evans. JD & O. William Evans, JD. 2007. The Complete Real Estate Encyclopedia. US: The McGraw-Hill Companies, Inc.

[4] UU No 28 Tahun 2009 Pasal 28 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.

[5] UU No 11 Tahun 1995 Pasal 6 tentang Cukai.

Tidak ada komentar: