Minggu, 12 September 2010

Kesetaraan Gender: Menuju Dunia yang Lebih Adil

Kesetaraan Gender: Menuju Dunia yang Lebih Adil

Wilis Windar Astri[1]



All human being are born free and equal in dignity and right.
There are endowed with reason and conscience and should act
towards one another in a spirit of brotherhood.
(Article I, Universal Declaration of Human Rights)



Memaknai kesetaraan bukanlah sesederhana yang dibayangkan. Ibarat timbangan, maka kesetaraan akan dapat terlihat dari adanya keseimbangan yang terjadi antara sisi timbangan yang satu dengan sisi timbangan lain. Yang harus dipahami lebih lanjut bahwa bila kesetaraan merujuk pada tingkatan nilainya, maka keseimbangan tersebut lebih merujuk pada berat suatu nilai. Hal tersebut sangat identik dengan keadilan, sesuatu yang sama kedudukannya dan tidak berat sebelah. Menurut Rawls[2] kata adil mengandung lebih dari satu arti. Adil dapat berarti menurut hukum dan apa yang sebanding, yaitu yang semestinya. Menilik pada hal tersebut, maka dengan demikian kesetaraan gender pun mempunyai misi yang sama pula. Misi yang memberikan ruang bagi adanya keseimbangan peran seorang manusia baik itu laki-laki atau perempuan.

Wacana dan isu mengenai kesetaraan gender ini memang selalu menarik untuk dibahas, terutama dalam kaitannya dengan permasalahan peran struktural gender di kehidupan sosial. Judith Lorber dalam The Social Construction of Gender[3] mengungkapkan bahwa berbicara tentang gender bagi sebagian besar orang setara dengan ikan yang berbicara mengenai air. Gender dalam kehidupan sosial merupakan proses menciptakan pembedaan status sosial atas peran yang diemban dan tanggung jawab, biasanya mempertimbangkan gangguan-gangguan atas ekspektasi bagaimana perempuan dan laki-laki seharusnya berperilaku. Sebagai bagian dari sistem stratifikasi yang menempatkan status sosial dengan tidak adil, gender justru menjadi sebab utama penghalang dalam struktur sosial yang dibangun atas ketidakadilan status tersebut. Merujuk pada hal ini, lantas, apakah kesetaraan gender mampu menjawab tantangan ketidakadilan yang disebabkan oleh ideologi gender itu sendiri?

Seiring dengan hal tersebut dan dengan semakin dipahaminya kesetaraan gender sebagai sebuah tuntutan yang tidak terelakkan lagi ditengah derasnya arus globalisasi, membuat permasalahan ini kian mendapat sorotan, baik dari para aktivis LSM maupun para penggiat kesetaraan gender. Kesetaraan gender diharapkan mampu membawa manusia menuju dunia yang lebih adil melalui perspektif gender. Kesetaraan gender menjadi sebuah jawaban mengejutkan atas fakta ketidakseimbangan peran laki-laki dan perempuan yang berujung pada ketidakadilan gender.

Gender sebagai konstruksi sosial, yang telah disosialisasikan sejak lahir, ternyata telah menyumbangkan ketidakadilan (inequalities).[4] Prof. Dr. Agnes Widanti[5] dalam bukunya Hukum Berkeadilan Jender mengungkapkan bahwa ketidakadilan gender ini merupakan ketidakadilan sosial yang menyertakan struktur-struktur kekuasaan dalam masyarakat dalam bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, hukum, dan ideologi. Ketidakadilan gender selanjutnya dimaknai sebagai akibat dari sistem dan struktur dimana baik laki-laki dan perempuan menjadi korban dari sistem dan struktur tersebut. Ketidakadilan gender yang lahir dari perbedaan gender termanifestasikan dalam pelbagai bentuk ketidakadilan yakni[6]: marjinalisasi atau proses pemiskinan ekonomi, subordinasi atau anggapan tidak penting dalam keputusan politik, pembentukan stereotip atau melalui pelabelan negatif, kekerasan (violent), beban kerja lebih banyak dan lebih panjang (burden), serta sosialisasi ideologi nilai gender.

Marjinalisasi atau pemiskinan ekonomi terjadi karena adanya pandangan yang masih bias gender. Jika menelisik lebih lanjut, pemiskinan ekonomi tersebut seringkali terjadi pada perempuan. Pekerjaan perempuan dilihat sebagai hal yang sekunder dan bagian alami dari peran biologisnya, suatu proses yang dilukiskan oleh Barbara Rogers sebagai “domestifikasi perempuan” (domestication of women). Hal tersebut berakibat pada pembagian kerja yang cenderung menempatkan laki-laki untuk melakukan pekerjaan yang dibayar dan perempuan mengerjakan pekerjaan yang tidak dibayar sehingga berimplikasi pada pemiskinan kaum perempuan.

Selanjutnya, salah satu ideologi yang paling kuat yang menyokong perbedaan gender adalah pembagian dunia ke dalam ranah publik dan privat. Menurut Roos Pool[7], distingsi antara privat dan publik, perempuan dan laki-laki, sebetulnya merupakan hasil sejarah modern, yang juga mengakibatkan nilai-nilai dan moralitas—sebentuk watak—yang berbeda. Ini berimplikasi penting terhadap praktik pembangunan dan kemampuan perencanaan pembangunan untuk memastikan bahwa pembangunan tidak berat sebelah serta menguntungkan perempuan maupun laki-laki.

Di masyarakat sendiri, subordinasi terhadap perempuan terjadi justru karena kebijakan pemerintah, tafsir agama, hukum, tradisi, atau kebiasaan.[8] Akibatnya perempuan tidak terwakili dengan semestinya dalam ranah publik, sehingga perempuan tersubordinasi dalam pengambilan keputusan yang mempengaruhi kesejahteraan gendernya. Masalah ini kian diperparah dengan adanya stereotip yang menyebabkan pembagian kerja antara laki-laki dan perempuan berbeda, di mana laki-laki mendapat porsi yang lebih menguntungkan dari perempuan dengan alasan laki-laki cocok menjadi makhluk publik yang berupah dan perempuan makhluk domestik yang tidak berupah.[9]

Selain itu, manifestasi dari ketidakadilan gender tersebut juga berdampak pada kekerasan khususnya terhadap perempuan. Hal ini dipahami dengan menguraikan peran laki-laki maupun perempuan yang kemudian dikonstruksi dalam peran gender yang pada tingkat selanjutnya banyak melahirkan bentuk-bentuk ketidakadilan gender, di mana laki-laki baik secara sadar maupun tidak sadar bertindak sebagai pelaku kekerasan.

Ketidakadilan gender pun tercermin pula pada adanya beban ganda yang dipukul oleh perempuan. Walaupun beban antara laki-laki dan perempuan dalam sebuah rumah tangga telah dipilah sedemikian rupa secara tegas, di mana tugas-tugas domestik menjadi tanggung jawab perempuan, sedangkan tugas-tugas publik menjadi tanggung jawab laki-laki. Pada kenyataannya, perempuan di samping menjadi makhluk domestik juga dituntut bekerja sebagai makhluk publik karena penghasilan tidak mencukupi. Beban ganda ini yang dirasakan tidak adil dan melahirkan dominasi laki-laki.

Begitu kompleksnya manifestasi dari ketidakadilan gender ini sedikit banyak membuka mata bahwa permasalahan sesungguhnya bukanlah terletak pada perempuan maupun laki-laki, tetapi dalam ideologi, sistem, struktur yang bersumber dari ketidakadilan gender (gender inequalities). Sayangnya, menolak ketidakadilan gender (gender inequalities) bukanlah jalan yang tepat, bisa jadi ini justru merupakan sesuatu yang sangat mengancam karena berarti menolak seluruh struktur sosial. Maka, yang menjadi fokus utama dalam menyelesaikan permasalahan di atas adalah dengan mewujudkan keadilan gender yang tak lain merupakan manifestasi dari kesetaraan gender.

Perwujudan kesetaraan gender sebenarnya telah termaktub pada Kovenan Ekosob, di mana Indonesia sebagai pihak yang terlibat dalam Kovenan ini telah terikat dan berjanji untuk menjamin hak yang sama antara laki-laki dan perempuan untuk menikmati semua hak-hak ekonomi, sosial dan budaya yang tercantum dalam Kovenan ini. Selain itu, dengan diratifikasinya Konvensi CEDAW (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Againts Women), Indonesia berkewajiban untuk melaksanakan langkah-langkah khusus sementara (temporary special measure) untuk mencegah terjadinya diskriminasi akibat ketidakadilan gender. Tindakan-tindakan tersebut merupakan affirmative action yang diharapkan menjawab kebutuhan praktis maupun strategis perempuan, memperjuangkan perubahan posisi perempuan, termasuk membangun diskursus terhadap ideologi gender yang telah mengakar dalam keyakinan perempuan dan laki-laki.

Salah satu langkah affirmative action untuk mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender adalah dengan pengarusutamaan gender agar laki-laki dan perempuan secara bersama-sama bisa berada pada tingkatan partisipasi yang adil dan setara dalam pembangunan. Adapun gagasan yang dapat dikembangkan, di antaranya:

1. Pengentasan kemiskinan, dengan memberikan ruang bagi perempuan untuk mengembangkan bisnis mikro rumahan sebagai jalan yang paling rasional bagi pemberdayaan (empowerment) perempuan.

2. Keterlibatan yang adil dalam perekonomian, adanya jaminan bagi perbaikan kualitas hidup bagi laki-laki dan perempuan berkenaan dengan akses dan informasi yang berguna dalam pengambilan keputusan

3. Pembentukan kembali pembagian kerja secara seksual untuk menghindari adanya diskriminasi akibat stereotip yang melekat dalam diri laki-laki dan perempuan

4. Penciptaan pranata politik yang melindungi dan memungkinkan pelaksanaan hak azasi warga negara dan sosial (termasuk hak-hak perempuan) dalam hukum berkeadilan gender[10] yaitu hukum yang memungkinkan keseimbangan hubungan dinamis antara laki-laki dan perempuan dalam struktur-struktur kekuasaan dalam masyarakat dan negara dalam bidang sosial, ekonomi, politik, hukum, dan ideologi.

5. Adanya penghargaan terhadap nilai kultural dan aspirasi berbagai kelompok sosial sebagai katalisator dalam pembangunan.

DAFTAR PUSTAKA

Budiman, Arief. 1981. Pembagian Kerja Secara Seksual. Jakarta: PT Gramedia

Fakih, Mansour. 1996. Analisa Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Mosse, Julia C. 2003. Gender & Pembangunan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Ore, Tracy E. 2000. The Social Constructions of Difference and Inequality Race, Class, Gender, and, Sexuality. California: Mayfield Publishing Company

Pool, Roos. 1993. Moralitas & Modernitas. Di bawah baying-bayang Nihilisme (terj. Budihardiman). Yogyakarta: Kanisius

Rawls, J.A. 1973. Theory of Justice. London: Oxford University Press

Sadli, Saparinah dkk. 2001. Wanita dalam Masyarakat Indonesia Akses, Pemberdayaan dan Kesempatan. Yogyakarta: Sunan Kalijaga Press

Widanti, Agnes. 2005. Hukum Berkeadilan Jender. Jakarta: Penerbit Buku Kompas



[1] Mahasiswa aktif Jurusan Ilmu Administrasi Fiskal. Saat ini, aktif pula sebagai Deputi Internal Pusat Kajian dan Studi Gerakan-Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia (PUSGERAK BEM UI) 2010

[2] J.A. Rawls, Theory of Justice, (London: Oxford University Press, 1973), hal. 212.

[3] Tracy E. Ore, The Social Constructions of Difference and Inequality Race, Class, Gender, and, Sexuality, (California: Mayfield Publishing Company), 2000, hal. 106

[4] Lihat Dr. Mansour Fakih Menuju Dunia yang Lebih Adil melalui Perspektif Gender: Sebuah Pengantar pada Julia Cleves Mosse, Gender & Pembangunan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar), April 2003, hal. vi.

[5] Prof.Dr.Agnes Widanti, Hukum Berkeadilan Jender, (Jakarta: Penerbit Buku Kompas), Juni 2005

[6] Mansour Fakih, Analisa Gender dan Transformasi Sosial, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), hal. 18; 20-24.

[7] Roos Pool, Moralitas & Modernitas. Di bawah baying-bayang Nihilisme. (terj. Budihardiman), (Yogyakarta: Kanisius, 1993), hal. 60-67

[8] Prof. Dr. Agnes Widanti, op. cit, hal. 171

[9] Arief Budiman, Pembagian Kerja Secara Seksual, (Jakarta: PT Gramedia, 1981), hal. 14-20

[10] Prof. Dr. Agnes Widanti, op. cit, hal. 250

Tidak ada komentar: