Selasa, 17 November 2009

Merekonstruksi Kembali Sistem Pendidikan Nasional

Mendambakan Pendidikan Indonesia yang Membebaskan


“The object of education is to prepare the young to educate themselves throughout their lives” (Robert M. Hutchins)


Pendahuluan

Dalam sejarah perkembangan pendidikan di dunia, peningkatan kualitas pendidikan selalu menjadi sorotan utama dalam pembuatan kebijakan pendidikan baik di negara-negara maju maupun negara berkembang. Pendidikan, pada mulanya dianggap sebagai hak-hak dasar manusia atau sebagai suatu kebutuhan dasar manusia, sehingga banyak negara di dunia menganggap pendidikan merupakan salah satu "public goods" atau objek dalam pelayanan umum pemerintah untuk rakyatnya. Namun sejalan dengan bergulirnya waktu, pendidikan kini diketahui sebagai suatu investasi sumber daya manusia (SDM) yang jauh lebih menguntungkan bagi kemajuan suatu negara dibandingkan dengan investasi fisik.

Semakin dipahaminya pendidikan sebagai "means of investment” atau suatu alat investasi sumber daya manusia memberikan konsekuensi logis bahwa pendidikan selain harus sesuai dengan kebutuhan pembangunan juga harus selalu mengedepankan mutu demi tercapainya keluaran (output) yang mampu mendukung proses pembangunan di berbagai sektor. Di samping bermutu dan sesuai dengan kebutuhan pembangunan, akses terhadap kesempatan memperoleh pendidikan juga harus dimiliki oleh masyarakat secara meluas, sehingga pelayanan umum melalui pendidikan tidak lagi “membagi-bagikan” kesempatan pendidikan sebagai kebutuhan dasar tetapi menyebarluaskan kesempatan pendidikan untuk dapat dilaksanakan sebagai kegiatan produktif yang bisa dilakukan oleh seluruh warga negara tanpa terkecuali (equality of access of education).

Untuk menjawab tantangan tersebut, Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sikdiknas Nomor 20 Tahun 2003) secara gamblang dan komprehensif memastikan bahwa pendidikan merupakan usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui berbagai jalur pendidikan yang berguna bagi peranan mereka di masa yang akan datang. Sebagai usaha sadar ini, maka proses pendidikan harus dijalankan dengan sungguh-sungguh, dilaksanakan dengan sengaja, teratur, dan berencana. Pendidikan yang meliputi transfer ilmu pengetahuan dan pengalaman manusia diharapkan akan mengubah tingkah laku manusia ke arah yang diinginkan (humanisasi).

Namun dalam pelaksanaannya, sistem pendidikan nasional yang telah diformulasikan tersebut rupanya mengandung banyak kelemahan. Dari soal buruknya manajemen pendidikan sampai pada soal mengenai minimnya dana untuk pengembangan pendidikan. Ahli pendidikan, HAR Tilaar, seperti dikutip Qodri Azizi[1], menyebut ada beberapa kelemahan dalam sistem pendidikan nasional. Pertama, sistem pendidikan itu kaku dan sentralistik. Di mana ada pola penyeragaman (uniformitas) dalam tubuh persekolahan, misalnya saja dalam pembuatan kurikulum yang tidak dipahami menurut kebutuhan masing-masing penyelenggara pendidikan. Kedua, sistem pendidikan nasional tidak pernah mempertimbangkan kenyataan yang ada di masyarakat. Masyarakat hanya dianggap sebagai objek saja (alat investasi sumber daya manusia bagi negara) sehingga masyarakat tidak pernah diperlakukan atau diposisikan sebagai subjek dalam pendidikan. Ketiga, dua permasalahan di atas didukung oleh sistem birokrasi kaku yang dijadikan alat kekuasaan atau alat politik penguasa. Pendidikan tidak lagi menjadi subjek dalam pelayanan umum pemerintah untuk rakyatnya melainkan menjadi subjek bagi pemerintah.

Selain lemahnya sistem pendidikan nasional, pendidikan di Indonesia, khususnya di jenjang Dasar hingga Menengah mengalami permasalahan pendidikan yang sifatnya sangat substansial. Permasalahan kemudian dikelompokkan sebagai berikut: Ketidakmerataan (Inequality), Kualitas (Quality), dan Anggaran (Financing). Pertama, masalah ketidakmerataan pendidikan Indonesia (Inequality). Ketidakmerataan pendidikan di Indonesia utamanya terkait permasalahan infrastruktur, di mana pembangunan fisik antara sekolah di daerah dan di pusat masih timpang. Selain itu, adanya standardisasi kelulusan yang tidak diiringi dengan pemerataan. Hampir sebagian besar daerah di Papua ternyata angka melek hurufnya <85%.

Kedua, masalah kualitas pendidikan Indonesia (Quality). Permasalahan ini utamanya terfokus pada kurikulum yang digunakan di jenjang pendidikan formal. Kurikulum yang berubah-ubah selama ini, tercatat hampir 10 kali kurikulum Indonesia mengalami perubahan semenjak tahun 1947 menyebabkan kualitas pendidikan menjadi taruhannya. Berikut ini beberapa permasalahan substansial seputar penerapan kurikulum di Indonesia:

1. Beragamnya subjek mata pelajaran yang diramu menjadi suatu kegiatan belajar yang terpadu (kurikulum) menyulitkan pengintegrasian di antaranya.

2. Sekolah terlalu berorientasi pada kecerdasan siswa.

3. Sulitnya penerapan prinsip belajar yang menyenangkan dan kesetaraan guru-murid sebagai subyek pembelajar.

Masalah kualitas pendidikan ini juga tidak luput dari peran tenaga pendidik yang berkualitas dan merata. kelayakan mengajar kepala sekolah dan guru di Sekolah Negeri menurut jenjang pendidikan tahun 2005/2006 yang bersumber dari Depdiknas memperlihatkan perbandingan antara guru yang layak mengajar dengan tidak layak mengajar yang cukup signifikan yakni guru SD yang tidak layak mencapai angka 1.060.788, sedangkan guru SD yang layak hanya sebanyak 178.052. Hal ini berarti kualitas tenaga pendidik di Indonesia masih jauh dari kata layak.

Ketiga, masalah anggaran pendidikan (Financing). Permasalahan ini terkait dengan minimnya anggaran pendidikan dan kebocoran anggaran pendidikan. Angka 20% yang seolah-olah menjadi tanda kenaikan APBN pendidikan kita, ternyata tidak signifikan dalam menunjang pendidikan di Indonesia. Hal ini dikarenakan dimasukkannya komponen gaji guru dan dosen serta sekolah kedinasan yang semula berada dalam pos belanja rutin pemerintah ke dalam APBN untuk pendidikan. Ditambah lagi dengan kebocoran anggaran yang terjadi, hasil audit BPK RI menyebutkan untuk Tahun 2008, Depdiknas menyediakan dana melalui DIPA Dekonsentrasi pada Dinas Pendidikan Provinsi di seluruh Indonesia sebesar Rp10.597,80 milyar yang terdiri dari dana BOS reguler sebesar Rp10.017,64 milyar dan dana BOS buku sebesar Rp580,16 milyar. Namun dari alokasi dana tersebut yang telah direalisasikan ternyata baru sebesar Rp4.944,24 milyar atau 49,36% untuk dana BOS reguler dan sampai akhir pemeriksaan untuk dana BOS buku belum direalisasikan.[2]

Beragam permasalahan di atas menggambarkan bahwa sistem pendidikan di Indonesia belum mampu menjawab tantangan pembangunan. Mengkonstruksi kembali sebuah sistem pendidikan nasional yang berangkat dan bertumpu lewat wacana mengenai pendidikan yang memberdayakan menjadi pekerjaan rumah yang sangat besar. Karena jika kita berbicara tentang pendidikan, kita juga harus berbicara tentang nilai-nilai kemanusiaan.


Pembahasan

Pendidikan mempunyai peran dan posisi yang signifikan dalam kehidupan manusia. Yang dimaksud dengan pendidikan sebagaimana termaktub dalam Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sikdiknas Nomor 20 Tahun 2003) adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.[3] Sedangkan dari segi etimologis, istilah pendidikan atau yang dalam bahasa Inggris Education berasal dari bahasa Latin Educare yang berarti memimpin keluar. Sehingga pada hakikatnya dapat dikatakan bahwa pendidikan merupakan sebuah proses yang dilakukan secara sadar, terencana, dan terus menerus sepanjang hidup manusia, dari keadaan tidak tahu akan sesuatu menjadi tahu akan sesuatu, serta dari keadaan belum dapat melakukan sesuatu menjadi dapat melakukan sesuatu. Kemudian pendidikan akan membawa seseorang keluar dari dirinya sendiri untuk mendapatkan jati diri, terlebih jati diri kemanusiaan, karena hakikat dari pendidikan adalah upaya untuk memanusiakan manusia (humanisasi).

Pendidikan dan manusia menjadi dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Mendidik berarti memperbaiki, menyempurnakan atau memanusiakan manusia.[4] Dan pendidikan merupakan media kultural untuk membentuknya. Pendidikan yang dibutuhkan dalam hal ini adalah pendidikan yang membebaskan manusia untuk selalu sadar akan dirinya dan tidak tereksklusi dari masyarakat dan dunianya. Sebuah proses pendidikan yang tidak tercerabut dari realitas sosial, bukan pendidikan yang malah menjauhkan manusia atau peserta didik dari kenyataan hidup yang ada. Karena pada hakikatnya, pendidikan secara murni berupaya membentuk insan akademis yang berwawasan dan berkepribadian kemanusiaan.

Meminjam terminologi Paulo Freire[5], yang banyak terkenal dengan gagasan penyadaran (conscientizacao)-nya. Freire mendeskripsikan bahwa pendidikan adalah suatu kampanye dialogis sebagai suatu usaha pemanusiaan secara terus-menerus.[6] Pendidikan bukan menuntut ilmu, tetapi bertukar pikiran dan saling mendapatkan ilmu (kemanusiaan) yang merupakan hak bagi semua orang tanpa kecuali. Gagasan Freire ini sangat menarik karena beliau ingin memperhadapkan pendidikan dengan realitas yang tengah bergumul di sekitarnya.

Pendidikan kritis (sebuah gagasan yang memang banyak dipengaruhi oleh Freire) merupakan suatu bentuk kritisisme sosial. Menurut Freire untuk menguasai realitas hidup ini termasuk menyadari kebisuan itu, maka bahasa harus dikuasai. Menguasai bahasa berarti mempunyai kesadaran kritis dalam mengungkapkan realitas. Untuk itu, pendidikan yang dapat membebaskan dan memberdayakan adalah pendidikan yang melaluinya peserta didik dapat mendengar suaranya yang asli. Di mana pendidikan menjadi momen kesadaran kritis terhadap berbagai permasalaham sosial yang ada dalam masyarakat.

Pendidikan yang membebaskan pada hakikatnya akan dapat dicapai dengan menumbangkan realitas penindasan, yaitu dengan mengisi konsep pedagogis yang memberikan kekuatan pembebasan yang baru. Freire kemudian mengurai secara gamblang permasalahan pengetahuan yang dipolakan dari sistem pendidikan yang menindas dan kontra-pembebasan. Selama ini, tradisi atau pola pendidikan gaya bank (Banking System Education) menjadi patokan dan rujukan dalam proses pendidikan yang biasa dijalankan. Disebut pendidikan gaya bank sebab dalam proses belajar mengajar guru tidak memberikan pengertian kepada peserta didik, tetapi memindahkan sejumlah dalil atau rumusan kepada siswa untuk disimpan yang kemudian akan dikeluarkan dalam bentuk yang sama jika diperlukan. Peserta didik adalah pengumpul dan penyimpan sejumlah pengetahuan, tetapi pada akhirnya peserta didik itu sendiri yang “disimpan” sebab miskinnya daya cipta. Karena itu pendidikan gaya bank menguntungkan kaum penindas dalam melestarikan penindasan terhadap sesamanya manusia.

Dalam realita pendidikan Indonesia saat ini, representasi kecerdasan di sekolah telah tereduksi sedemikian rupa menjadi angka-angka atau nilai. Padahal banyak hal dalam definisi kecerdasan yang tak bisa diwakili dalam angka, namun nampak nyata ada dalam kehidupan. Ini mungkin bisa menjadi jawaban atas minimnya antusiasme peserta didik terhadap ilmu. Selain karena proses belajar mengajar saat ini yang bagaikan dalam penjara, tanpa disadari, peserta didik telah terciderai dengan penindasan akademik dalam bentuk pembebanan target-target penguasaan secara kognitif materi-materi pelajaran terutama dengan adanya standardisasi kelulusan berupa Ujian Nasional. Peserta didik menjadi gagap ketika dituntut besrkesadaran kritis dalam menghadapi permasalahan sosial yang ada, tidak mampu untuk menghidupkan kepekaan diri yang melahirkan semangat untuk mencerdaskan diri dan menebar kemanfaatan bagi masyarakat sekitar. Akibatnya sekolah-sekolah sebagai tempat pendidikan terpadu, sebagaimana mengutip Mohammad Fauzil Adhim (Suara Hidayatullah, 2008) yang memiliki tugas hakiki untuk membentuk pribadi yang memiliki integritas moral tinggi, berakhlak mulia dan produktif yang berpijak pada fondasi akidah (keimanan) tidak dapat menjalankan tugas sebagaimana mestinya.

Pola pengembangan beragam subjek mata pelajaran yang diramu menjadi suatu kegiatan belajar yang terpadu dan terstandardisasi dalam sebuah kurikulum akan menyulitkan pengintegrasian di antaranya. Dalam pelaksanaannya di kehidupan nyata, pengembangan subjek-subjek mata pelajaran tersebut selalu membutuhkan integrasi beragam ilmu pengetahuan, kemampuan kognisi, kemampuan afektif, dan spirit berkinerja. Namun, kehidupan belajar di sekolah justru memisah-misahkannya karena guru-guru sesuai sistem pendidikan nasional berpanduan pada referensi atau kurikulum yang memisah-misahkan ilmu pengetahuan. Hal ini mengakibatkan kegagapan kolektif ketika lulusan sekolah masuk ke dunia nyata. Tanpa disadari, model pendidikan yang ada saat ini, dengan beban kurikulum yang padat sangat membelenggu bagi peserta didik. Peserta didik lebih diarahkan untuk memenuhi sejumlah target kurikulum. Sementara itu, lingkungan sekitar, konteks tempat seseorang hidup, dan tanda-tanda zaman kurang diberi perhatian.

Sistem Pendidikan Indonesia sudah seharusnya menerapkan sistem pendidikan alternatif sebagai pengganti pendidikan “gaya bank” yang selama ini dilaksanakan. Sistem pendidikan alternatif tersebut sebagaimana yang ditawarkan Freire disebut pendidikan “hadap-masalah”. Pendidikan “hadap-masalah” sebagai pendidikan alternatif yang ditawarkan oleh Freire lahir dari konsepsinya tentang manusia. Manusia sendirilah yang dijadikan sebagai titik tolak dalam pendidikan hadap-masalah. Manusia tidak mengada secara terpisah dari dunia dan realitasnya, tetapi ia berada dalam dunia dan bersama-sama dengan realitas dunia. Realitas itulah yang harus diperhadapkan pada peserta didik supaya ada kesadaran akan realitas itu. Konsep pedagogis yang demikian didasarkan pada pemahaman bahwa manusia mempunyai potensi untuk berkreasi dalam realitas dan untuk membebaskan diri dari penindasan budaya, ekonomi dan politik.[7]

Bagi Freire, pendidikan yang membebaskan adalah pendidikan yang menumbuhkan kesadaran kritistransitif. Dalam proses belajar yang demikian kontradiksi guru-murid tidak ada. Peserta didik tidak dilihat dan ditempatkan sebagai obyek yang harus diajar dan menerima. Demikian pula sebaliknyaguru tidak berfungsi sebagai pengajar. Guru dan murid adalah sama-sama belajar dari masalah yang dihadapi. Guru dan peserta didik bersama-sama sebagai subyek dalam memecahkan permasalahan. Guru bertindak dan berfungsi sebagai koordinator yang memperlancar percakapan dialogis. Ia adalah teman dalam memecahkan permasalahan. Sementara itu, peserta didik adalah partisipan aktif dalam dialog tersebut.

Pada kenyataannya, sistem pendidikan di Indonesia belum membebaskan. Peserta didik menjalani proses belajar bagaikan penjara.[8] Untuk mengatasi hal tersebut, dalam perkembangan sistem belajar mengajar di Indonesia, pemerintah Republik Indonesia telah mengupayakan untuk menerapkan pendekatan cara belajar siswa aktif (CBSA). Namun pada kenyataannya, sistem CBSA tersebut tak lebih hanya sebagai sebuah metode yang menjadi trademark tanpa diiringi dengan penyampaian materi yang mampu menjawab persoalan sosial yang berkembang di masyarakat. Materi yang disampaikan masih merupakan barang asing yang tidak lahir dari dalam konteks dimana manusia itu ada sehingga pada akhirnya siswa kembali menjadi “bank” penyimpanan sejumlah pengetahuan. Terlebih, relasi antara guru dan siswa adalah sebatas pengajar dan yang diajar. Siswa adalah yang belum tahu dan harus diberitahu sedangkan guru adalah yang sudah tahu dan akan memberitahukan. Sudah semestinya, peserta didik selalu dibenturkan dengan permasalahan-permasalahan kongkret dan aktual yang ada di masyarakat, untuk selanjutnya berupaya menganalisis menggunakan sudut pandang yang sesuai guna ditemukannya pemecahan yang komprehensif.


Penutup

Pendidikan harus terlepas dari belenggu dan keharusan untuk menciptakan dan menghasilkan manusia-manusia yang instan tanpa kualitas. Pendidikan harus jauh berorientasi untuk menghasilkan sumber daya manusia yang secara kualitatif mampu melakukan transformasi secara aktif dan progessif dalam beragam level dan tingkatan masyarakat secara konsisten dan komprehensif. Sebuah proses pendidikan yang memanusiakan manusia atau membebaskan akan menjadi kenyataan dan bukan angan-angan tak berujung.

Pendidikan yang membebaskan adalah jawaban dari sebuah fakta mengejutkan bahwa pendidikan yang membebaskan menghargai kecerdasan majemuk setiap siswa, kaya metodologi, belajar tanpa batasan waktu, dan memperlakukan semua hal sebagai guru. Materi dalam proses pendidikan yang demikian tidak diambil dari sejumlah rumusan baku atau dalil dalam buku paket tetapi diambil sejumlah permasalahan yang terjadi di sekitar kita. Permasalahan itulah yang menjadi topik dalam diskusi dialogis itu yang diangkat dari kenyataan hidup yang dialami oleh peserta didik dalam konteksnya sehari-hari.


Daftar Pustaka

Cyprianus Aoer, Masa Depan Pendidikan Nasional, (Jakarta: Center for Poverty Studies, 2005), hal.209

Laporan Hasil Pemeriksaan atas Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dan dana pendidikan dasar lainnya sumber dana APBN dan APBD Tahun Anggaran 2007 dan Semester I TA 2008. Laporan BPK RI no. 3/S/VIII-XIX.1.2/3/2009

Marthen manggeng, Pendidikan Yang Membebaskan Menurut Paulo Freire dan Relevansinya dalam Konteks Indonesia, INTIM - Jurnal Teologi Kontekstual, Edisi No. 8 - Semester Genap 2005

Paulo Freire, Pendidikan Kaum Tertindas, pp. 1-4

Pusat Kajian dan Studi Gerakan BEM UI. 2009. Menilik Kembali Peran Pemerintah Indonesia Terkait Dengan Pemenuhan Hak-Hak Dasar Rakyat Di Sektor Pendidikan Dan Kesehatan. Depok

Qodri A. Azizy, Pendidikan (Agama) untuk Membangun Etika Sosial, (Semarang: Aneka Ilmu, 2003), hal. 8-10

Suplemen the WAHID Institute VII/Tempo - 30 April - 6 Mei 2007

UU Sikdiknas No.20 Tahun 2003 Pasal 1 ayat 1

http://www.brainyquote.com/quotes



[1] Qodri A. Azizy, Pendidikan (Agama) untuk Membangun Etika Sosial, (Semarang: Aneka Ilmu, 2003), hal. 8-10.

[2] Laporan Hasil Pemeriksaan atas Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dan dana pendidikan dasar lainnya sumber dana APBN dan APBD Tahun Anggaran 2007 dan Semester I TA 2008. Laporan BPK RI no. 3/S/VIII-XIX.1.2/3/2009

[3] UU Sikdiknas No.20 Tahun 2003 Pasal 1 ayat 1

[4] Cyprianus Aoer, Masa Depan Pendidikan Nasional, (Jakarta: Center for Poverty Studies, 2005), hal.209

4 Paulo Freire adalah tokoh pendidikan yang sangat kontroversial. Ia menggugat sistem pendidikan yang telah mapan dalam masyarakat Brasil. Bagi dia, sistem pendidikan yang ada sama sekali tidak berpihak pada rakyat miskin tetapi sebaliknya justru mengasingkan dan menjadi alat penindasan oleh penguasa.

[6] Paulo Freire, Pendidikan Kaum Tertindas, pp. 1-4.

[7] Marthen manggeng, INTIM - Jurnal Teologi Kontekstual, Edisi No. 8 - Semester Genap 2005

[8] Suplemen the WAHID Institute VII/Tempo - 30 April - 6 Mei 2007

Tidak ada komentar: