Senin, 13 April 2009

Sebuah Catatan Kritis Pemilu 2009

Sebuah Catatan Kritis Pemilu 2009:

Evaluasi Pemilu dari Masa ke Masa

serta Analisa Pemilu 2009

(Studi Kasus: TPS 110 Kelapa Dua Cimanggis-Depok)


Pemilihan umum (pemilu) merupakan salah satu sarana demokrasi. Pesta demokrasi yang merupakan perwujudan tatanan kehidupan negara dan masyarakat yang berkedaulatan rakyat, pemerintahan dari dan untuk rakyat. Melalui pemilu, setidaknya dapat dicapai tiga hal. Pertama, lewat pemilu kita dapat menguji hak-hak politik rakyat secara masif dan serempak.Kedua, melalui pemilu kita dapat berharap terjadinya proses rekrutmen politik secara adil, terbuka, dan kompetitif. Ketiga, dari pemilihan umum kita menginginkan adanya pola pergiliran kekuasaan yang damai.[1]

Pemilu di Indonesia pada awalnya ditujukan untuk memilih anggota lembaga perwakilan, yaitu DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota. Namun, setelah amandemen keempat UUD 1945 pada 2002, pemilihan presiden dan wakil presiden (pilpres), yang semula dilakukan oleh MPR, disepakati untuk dilakukan langsung oleh rakyat sehingga pilpres pun dimasukkan ke dalam rezim pemilu. Pilpres sebagai bagian dari pemilu diadakan pertama kali pada Pemilu 2004. Pada 2007, berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007, pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah (pilkada) juga dimasukkan sebagai bagian dari rezim pemilu.


Evaluasi Pemilihan Umum Dari Masa ke Masa


Pemilihan Umum 1955

Pemilu 1955 ditandai oleh adanya masa persiapan yang cukup. Dalam penyelenggaraan pemilu demokratis pertama dalam sejarah Indonesia modern ini, waktu tidak menjadi kendala teknis dan politis. Yang lebih menjadi kendala adalah dinamika politik masa itu – dalam kerangka demokrasi parlementer yang dicirikan oleh jatuh bangunnya pemerintahan secara kerap serta absennya stabilitas pemerintahan secara umum – yang membatasi kelancaran persiapan pemilu. Pemilu 1955 sendiri diikuti oleh partai lokal, organisasi nonpartai, bahkan perorangan yang juga diperbolehkan ikut serta dalam pemilu. Pemilu yang diikuti lebih dari 29 partai politik ini telah berlangsung sangat terbuka dan kompetitif. Dari pemilu tersebut dihasilkan empat partai besar, yang perolehan suaranya cukup berimbang, yaitu PNI (22,3%), Masyumi (20,9%), NU (18,4%), dan PKI (16,4%).

Sekalipun begitu, Pemilu 1955 tak steril dari sejumlah persoalan. Pengawasan dan pemantauan pemilu belum dikenal. Kepanitiaan pemilu juga relatif bermasalah akibat besarnya keterlibatan pemimpin daerah dan birokrasi di dalamnya. Ini melahirkan sejumlah (kecil) praktik tak adil dan mobilisasi mengingat umumnya pegawai birokrasi berafiliasi dengan PNI. Pemilu 1955 juga tidak mampu melahirkan sebuah partai dominan yang mampu membentuk sebuah pemerintahan yang efektif.


Pemilihan Umum 1971-1992

Enam Pemilu Orde Baru (1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997) sama sekali tidak bisa dijadikan pembanding dalam analisis mengenai “pemilu yang demokratis”. Ketiga tujuan pemilu di atas dan hampir seluruh kriteria pemilu demokratis tidak terpenuhi oleh enam pemilu masa Orde Baru itu, kecuali sebuah kriteria teknis: Pemilu diadakan secara berkala, setiap 5 tahun sekali. Pertama, rakyat tidak diberikan kebebasan untuk membentuk partai sesuai hati nurani karena adanya kebijakan restrukturisasi partai politik pada tahun 1970-an. Kedua, terjadi proses mobilisasi pemilih untuk memenangkan kekuatan politik pemerintah: Golkar. Ketiga, terjadinya proses “deparpolisasi” karena kebijakan “massa mengambang” yang hanya berlaku bagi PPP dan PDI bukan Golkar.

Pemilu-pemilu itu diadakan dalam kerangka sistem kepartaian hegemonik (hegemonic party systems) yang hanya memberi peluang hidup bagi satu partai milik penguasa: Golkar, sementara dua partai lainnya hanya menjadi pelengkap dan penderita. Pemilu diadakan dengan cirri-cirinya yang khas: manipulasi, mobilisasi, represi, dan predictability (pemenangnya sudah bisa kita ketahui sebelum pemilunya sendiri berlangsung) serta kekuasaan tersentralisasi di tangan Presiden Soeharto (stabilitas politik sebagai upaya konsisten mempertahankan status quo.


Pemilihan Umum 1999

Pemilu 1999 dilakukan untuk mengatasi krisis politik setelah Soeharto mengundurkan diri pada 21 Mei 1998. Pemilu yang diadakan di tengah “euforia reformasi” ini ditandai dengan meledaknya partisipasi politik. Meskipun masa persiapannya tergolong singkat, pelaksanaan pemungutan suara pada Pemilu 1999 yang diprediksikan dan dikhawatirkan oleh banyak pihak sebelumnya tidak akan terlaksana dengan baik ternyata dapat terlaksana dengan damai, tanpa ada kekacauan yang berarti. Pemilu 1999 jauh lebih demokratis dibanding pemilu-pemilu Orde Baru, tapi dengan sejumlah kelemahan: partai lokal tak diizinkan berdiri, sistem pemilu proporsional tertutup (kita memilih tanda gambar bukan orang) membuat mereka yang terpilih tak terikat tanggung jawab pada pemilih melainkan pada partainya belaka (jadilah DPR dan DPRD seperti yang kita miliki sekarang), tak tersedia waktu cukup bagi semua eksponen (pemilih, partai, panitia, pengawas, dan pemantau) untuk menyiapkan dan menyelenggarakan pemilu secara layak, dan ada kelangkaan calon-calon pejabat yang berkualitas. Dengan segenap cacatnya itulah Pemilu 1999 membuat sebagian harapan masyarakat tak terpenuhi.

Pemilihan Umum 2004

Pemilu 2004 adalah pemilu pertama yang memungkinkan rakyat untuk memilih presiden secara langsung, dan cara pemilihannya benar-benar berbeda dari Pemilu sebelumnya. Pada pemilu ini, rakyat dapat memilih langsung presiden dan wakil presiden (sebelumnya presiden dan wakil presiden dipilih oleh MPR yang anggota-anggotanya dipilih melalui Presiden). Selain itu, pada Pemilu ini pemilihan presiden dan wakil presiden tidak dilakukan secara terpisah (seperti Pemilu 1999) -- pada pemilu ini, yang dipilih adalah pasangan calon (pasangan calon presiden dan wakil presiden), bukan calon presiden dan calon wakil presiden secara terpisah. Pemilu 2004 masih dilekati sejumlah cacat: UU yang bermasalah, sistem pemilu yang bisa kembali menjadi tertutup (partai dan bukan pemilih yang akhirnya menentukan siapa yang terpilih), partai lokal tak dibolehkan, kandidat tak layak dan bermasalah masih banyak, persiapannya sangat sempit, penggunaan dananya belum efisien dan efektif, sosialisasinya sangat lambat, dan seterusnya.

Analisa Pemilihan Umum 2009

Pemilu 2009 yang berlangsung pada tanggal 9 April 2009 sekali lagi telah menorehkan sejarah baru dalam transformasi pemerintahan di Indonesia. Puluhan ribu calon legislatif memperebutkan kursi panas di Senayan. Banyak hal yang kemudian menjadi sorotan dan dianggap sebagai kelemahan pemilu 2009. Kelemahan-kelemahan tersebut bersifat substantif maupun teknis.

Secara substantif, beberapa hal yang menjadikan pemilu 2009 memiliki kelemahan. Pertama, aturan Pemilu kali ini sangat tidak stabil alias suka berubah-ubah diluar kewenangan KPU, misalnya soal terbitnya Perpu dan putusan MK yang semuanya substansial yaitu pergantian tata cara pemungutan suara dari coblos menjadi contreng. Baik Pemilu 2004 maupun Pemilu 2009 sama-sama memiliki kendala sempitnya waktu persiapan penyelenggaraan pemilu karena undang-undang yang menjadi dasar penyelenggaraan terbit kurang dari 1,5 tahun dari tanggal pemungutan suara. Padahal, idealnya waktu persiapan penyelenggaraan sekitar dua tahun. Kedua, pengaturan untuk Pemilu 2009 jauh lebih rumit, terutama terkait suara terbanyak yang bisa memicu sengketa antarpartai, antarcaleg. Ketiga, dilihat dari partai peserta Pemilu, kali ini jumlahnya terbanyak dalam sejarah yaitu 44 partai 38 partai nasional dan 6 partai lokal. Keempat, pada saat yang bersamaan apatisme rakyat meluas, karena melihat partai-partai politik mempertunjukkan sikap yang tidak sportif ditambah kondisi kesulitan ekonomi. Kelima, citra negatif KPU yang diwariskan dari carut marutnya penyelenggaraan pilkada sebelumnya.

Selain diliputi masalah-masalah yang sifatnya substantif, pemilu 2009 juga tak luput dari masalah teknis. Ketua KPU Abdul Hafiz Anshary di KPU mengungkapkan ada 7 permasalahan dalam pemilu 2009 yakni kurang akuratnya data pemilih, tidak memenuhi persyaratannya calon legislatif, permasalahan parpol internal KPUD yang kurang transparan dan tidak adil terhadap calon-calonnya, dugaan money politics, pelanggaran masa kampanye, dan penghitungan kurang akurat.

Studi kasus yang saya lakukan di TPS 110, TPS tempat saya melakukan pencontrengan di Daerah Kelapa Dua, Cimanggis-Depok, saya banyak menemukan ketidakberesan dalam penyelenggaraan pemilu 2009. Sehari sebelum pelaksanaan pemilu saya baru mendapatkan undangan untuk mencontreng di TPS 110. Ironisnya, saya mendapatkan dua undangan untuk mencontreng di dua TPS yang berbeda yaitu TPS 109 dan TPS 110, pada TPS 110 nama yang tercantum dalam undangan tersebut sesuai dengan nama saya yaitu Wilis Windar Astri sedangkan undangan pada TPS 109 nama yang tercantum adalah Wilis. Hal ini membuat saya mengelus dada, betapa tidak, masalah-masalah teknis seperti ini seharusnya tidak terjadi dalam pesta demokrasi yang memakan uang rakyat ini. Selain itu, permasalahan serupa juga terjadi pada kakak saya, namun dalam hal ini kakak saya jusru tidak mendapatkan undangan untuk mencontreng. Sungguh ironis, dalam satu keluarga saja, ada yang terdata sebagai pemilih ada yang tidak terdata. Yang lebih parah lagi, tetangga saya sekeluarga tidak mendapatkan undangan untuk mencontreng. Sebuah potret buruk pemilu 2009. selain merugikan warga negara karena harus kehilangan hak pilihnya, penyelenggaraan pemilu ini juga secara tidak langsung meningkatkan angka golput, baik golput karena memang menganggap pemilu 2009 tidak akan membawa perubahan berarti maupun golput karena hal-hal yang sebenarnya tidak diinginkan.

Pada hari-H pencontrengan, dari pengamatan yang saya lakukan di TPS tersebut dapat saya pastikan bahwa suasana TPS pada saat itu jauh berbeda saat suasana pemilihan Gubernur Jawa Barat, begitu lengang, hanya terdapat anggota KPPS , beberapa saksi, dan beberapa warga yang ingin mencotreng. Pada saat tersebut saya juga menemukan kasus warga yang berkeinginan untuk mencoblos tapi tidak mendapatkan undangan untuk mencotreng dan ketika Ia mengkonfirmasinya dengan menunjukkan KTP kepada anggota KPPS, anggota KPPS tersebut tidak membolehkan warga yang namanya belum terdaftar sebagai pemilih. Anggota KPPS hanya mencatat nama orang tersebut untuk kemudian bisa didaftarkan untuk pemilihan Presiden mendatang. Sungguh mengecewakan sekali melihat realitas seperti ini. Pemilu yang seharusnya berjalan dengan restu dari rakyat malah harus ternodai dengan pemotongan hak rakyat untuk memilih wakil-wakil rakyatnya.

Selain itu, saya kecewa terhadap kinerja KPU terkait distribusi perolehan suara dari luar negeri, distribusi surat suara dan perlengkapan Pemilu, tambahan surat suara, larangan penggunaan fasilitas negara dalam kampanye dan jumlah serta macam parpol peserta Pemilu pada setiap daerah pemilihan yang sangat mungkin berbeda. Poin penting yang kemudian menjadi catatan bagi saya adalah bahwa pemilu itu hanya cara bukanlah tujuan, betapapun pemilu didisain sedemikian rupa agar elegan tetapi kalau itu menyulitkan dan mereka yang bertarung dalam pemilu tidak memiliki pemahaman dan sikap yang jelas serta bermain-main dengan nasib rakyat, maka pemilu itu saya pastikan gagal mewujudkan tatanan kehidupan negara dan masyarakat yang berkedaulatan rakyat, pemerintahan dari dan untuk rakyat.

Daftar Pustaka

Aliansi Jurnalis Independen. Bersikap Independen! Pedoman meliput di Masa Demokrasi Transisi. 1999. Jakarta: Aliansi Jurnalis Independen.

Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Sistem Pemilihan Umum di Indonesia: Sebuah Laporan Penelitian. 1998. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Mashad, Dhurorudin. Reformasi Sistem Pemilu dan Peran Sospol ABRI. 1998. Jakarta: PT Gramedia Widiasarana

Prasojo, Eko. Demokrasi Di Negeri Mimpi: Catatan Kritis terhadap Pemilu 2004 dan Good Governance. Departemen Ilmu Administrasi FISIP UI, Jakarta: 2005



[1] Indria Samego. Pemilu di Indonesia: Harapan dan Kenyataan dalam buku bersikap Independen! Pedoman Meliput Pemilu di Masa Demokrasi Transisi. 1999. Jakarta: Aliansi Jurnalis Independen

4 komentar:

Wilis Windar Astri mengatakan...

Pemilu bikin pilu....

Anonim mengatakan...

bukan pemilu nya yg bikin pilu,, tapi kesalahan dan kecurangan dimana-manalah yg bikin malu.. ck,ck,ck..

Wilis Windar Astri mengatakan...

ckckck..
pemilu bikin pilu lah pokoknya..

Anonim mengatakan...

iYa,,iYa..
yg lebih membuatku pesimis, orang-orang yg terpilih nanti kan bisa aja dari rakyat biasa,, apa tidak apa-apa dpr kita nanti?? secarra kalo misalnya ga punya kemampuan ttg legislatif, gmana nasib rakyat ke dpan?? huhu..