Kamis, 28 Oktober 2010

The Last Man Standing: He Who Can Talk To the Stranger

I was really sick for two days. Not because anything, but because I was trying to accept that God is really love this beautiful country, Indonesia. Rearranging what I’ve been watching for two days, is something easy to find that the whole tragedies was something which I called “love and hope”

Wasior, Mentawai, and Merapi..

God, that’s your scenario which can makes me waking up when I felt safely. From those, I got the deeply wisdom…



Agaknya terlalu banyak duka yang terselip belakangan hari ini. Sungguh, sebuah kedukaan yang teramat mendalam atas rentetan tragedy alam yang menimpa Indonesia. Mungkinkah ini azab? Atau mungkin teguran yang berjuta kali Tuhan hantarkan pada para khalifah, pemimpin muka bumi ini? Entahlah… Tapi yang saya yakini bahwa Tuhan telah menunjukkan kepada kita semua tanda-tanda kebesaran-Nya. Tuhan tunjukkan kepada kita, apa-apa yang bisa kita jadikan pelajaran. Tuhan tunjukkan kepada Kita bahwa tiada jiwa-jiwapun yang sanggup menolak ketetapan-Nya.


Atas segala kejadian alam yang terjadi tersebut, yang begitu menarik bagi saya pribadi adalah bergejolaknya Merapi. Bukan karena peristiwa tersebut begitu dahsyat, tetapi lebih karena sesuatu yang menurut saya begitu sarat akan makna. Sebuah hal yang membawa saya sampai pada suatu titik dimana saya diper temukan dengan makna tanggung jawab dan loyalitas yang mendalam atas sebuah amanah yang diemban.


Sebuah magma yang turut serta tercurah dari setiap letupan-letupan dahsyatnya Merapi. Magma pemberitaan yang begitu luar biasa dari seorang yang begitu luar biasa pula. Mbah Marijan, begitulah sosok beliau biasa dipanggil. Keberadaannya sebagai juru kunci Merapi banyak menyita perhatian utamanya semenjak peristiwa meletusnya Merapi pada tahun 2006. Beliau adalah orang yang menolak dievakuasi ketika Merapi bergejolak dengan begitu luar biasanya.


Bukan siapa beliau, tapi apa yang menjadikan beliau tetap setia mendampingi Merapi yang bergejolaklah yang membuat sosoknya begitu semakin mempesona. Dengan amanah yang diemban, Mbah Marijan telah membuktikan loyalitas dan tanggung jawabnya begitu dalam. “The Last Man Standing: He who can talk to the stranger” agaknya bagi saya pribadi ungkapan inilah yang paling cocok untuk menggambarkan kepribadian beliau yang begitu luar biasa, beliau tanpa rasa takut mendampingi Merapi yang sedang marah sampai akhir hayatnya. Loyalitasnya yang tak goyah sama sekali ketika semua orang telah berpasrah kepada keadaan alam yang ada, tetapi beliau tetap setia. Komitmen dan tanggung jawab yang dipegang teguh walaupun Si Pemberi Amanah telah menginstuksikan untuknya turun seiring turunnya gugusan awan panas. Maka, kepribadian yang begitu memesona inilah yang membuat saya menjulukinya “The Last Man Standing”.


My deep condolence for Mbah Marijan: He who can talk to stranger



Tidak ada komentar: