Senin, 05 Juli 2010

Pajak Hiburan

BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang

Dalam rangka meningkatkan kemampuan keuangan daerah agar dapat melaksanakan otonomi khususnya yang berasal dari pajak daerah dan retribusi daerah, Pemerintah menetapkan berbagai kebijakan perpajakan daerah, diantaranya dengan menetapkan UU No.28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah sebagaimana telah diubah beberapa kali atas UU No.34 Tahun 2000 dan UU No.18 Tahun 1997. UU No.28 Tahun 2009 yang baru-baru ini disahkan oleh Pemerintah diharapkan dapat lebih mendorong peningkatan pelayanan kepada masyarakat dan kemandirian daerah. Dalam UU tersebut, pajak daerah dan retribusi daerah menjadi salah satu sumber pendapatan daerah yang penting guna membiayai pelaksanaan pemerintahan daerah sehingga terdapat perluasan objek pajak daerah dan retribusi daerah serta adanya pemberian diskresi (keleluasaan) dalam penerapan tarif.

Perubahan Undang-Undang Nomor 34 tahun 2000 tentang pajak dan retribusi daerah yang tertuang dalam Undang-Undang tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Nomor 28 Tahun 2009 selain menambah jenis pajak daerah, juga dikembangkan dalam perluasan basis pajak. Perubahan tersebut salah satunya mengakibatkan perubahan tarif Pajak Hiburan. Tiga kelompok tarif pajak hiburan yang diperkenankan bagi pemerintah kabupaten/kota sebagai berikut: Pertama, tarif maksimal 35% (tiga puluh lima persen), antara lain untuk pertunjukan sirkus, akrobat, sulap, dan tontonan film. Kedua, tarif maksimal 10% (sepuluh persen) khusus untuk hiburan kesenian rakyat dan tradisional. Ketiga, bertarif maksimal 75% (tujuh puluh lima persen), yakni untuk permainan ketangkasan, diskotek, klab malam, karaoke, mandi uap, panti pijat, pagelaran busana, dan kontes kecantikan.

I.2 Pembatasan Permasalahan

Makalah ini bertujuan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut:

a. Apa tujuan kenaikan tarif Pajak Hiburan?

b. Apa saja tantangan yang akan dihadapi dalam penerapan tarif Pajak Hiburan yang baru?

I.3 Tujuan Penulisan

Adapun tujuan yang diharapkan dari penulisan ini adalah:

1. Untuk memenuhi tugas mata kuliah Pajak Daerah dan Retribusi Daerah

2. Untuk mengetahui apa tujuan kenaikan tarif Pajak Hiburan

3. Untuk mengetahui tantangan apa saja yang dihadapi dalam penerapan tarif Pajak Hiburan yang baru.

I.4 Metode Penulisan

Metode penulisan yang digunakan oleh Penulis adalah studi kepustakaan yaitu mengumpulkan data dengan menelusuri dan mempelajari bahan-bahan yang berasal dari buku, tesis, situs-situs internet, dan data-data penunjang lainnya. Peneliti menggunakan studi kepustakaan untuk menambah data dan/atau informasi yang menunjang penulisan ini.

I.5 Sistematika Penulisan

Agar penulisan ini lebih mudah untuk dipahami, maka akan disajikan sistematika penulisan sebagai berikut:

Bab 1 Pendahuluan

Pada bab ini akan dijelaskan secara garis besar dari keseluruhan penulisan ini yang terdiri atas latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penulisan, metode penulisan serta sistematika penulisan.

Bab 2 Pembahasan

Pada bab ini akan dipaparkan dasar hukum dan analisa masalah.

Bab 3 Penutup

Pada bab ini berisi kesimpulan dan saran penulis. Setelah menganalisa permasalahan dengan meninjau teori-teori yang telah dipaparkan sebelumnya, maka dalam bab ini Penulis berusaha untuk merumuskan benang merahnya ke dalam poin-poin penting berupa kesimpulan.

BAB II

PEMBAHASAN

II.1 Kerangka Teori

II.1.1 Pengertian Pajak Hiburan

Pajak Hiburan adalah pajak atas penyelenggaraan hiburan. Selain itu, Pajak Hiburan dapat pula diartikan sebagai pungutan daerah atas penyelenggaraan hiburan. Dalam pemungutan Pajak Hiburan terdapat beberapa terminologi yang perlu diketahui. terminologi tersebut antara lain:

1. Hiburan adalah semua jenis pertunjukkan, permainan, permainan ketangkasan, dan atas keramaian dengan nama dan bentuk apa pun, yang ditontotn atau dinikmati oleh setiap orang dengan dipungut bayaran, tidak termasuk penggunaan fasilitas untuk berolahraga.

2. Penyelenggara hiburan adalah orang pribadi atau badan yang bertindak baik untuk atas namanya sendiri atau badan yang bertindak baik untuk atas namanya sendiri atau untuk dan atas nama pihak lain yang menjadi tanggungannya dalam menyelenggarakan suatu hiburan.

3. Penonton atau pengunjung adalah setiap orang yang menghadiri suatu hiburan untuk melihat dan atau mendengar atau menikmatinya atau menggunakan fasilitas yang disediakan oleh penyelenggara hiburan, kecuali penyelenggara, karyawan, artis (para pemain), dan petugas yang menghadiri untuk melakukan tugas pengawasan.

4. Pembayaran adalah jumlah yang diterima atau seharusnya diterima dalam bentuk apa pun untuk harga pengganti yang diminta atau seharusnya diminta wajib pajak sebagai penukar atas pemakaian dan atau pembelian jasa hiburan serta fasilitas penunjangnya termasuk pula semua tambahan dengan nama apa pun juga yang dilakukan oleh wajib pajak yang berkaitan langsung dengan penyelenggaraan hiburan. Termasuk dalam pengertian pembayaran adalah jumlah yang diterima atau seharusnya diterima, termasuk yang akan diterima, antara lain pembayaran yang dilakukan tidak secara tunai.

5. Tanda masuk adalah semua tanda atua alat atau cara yang sah dengan nama dan dalam bentuk aapa pun yang dapat digunakan untuk menonton, menggunakan fasilitas, atau menikmati hiburan. Tanda atau alat atau cara yang sah adalah berupa tanda masuk yang dilegalsasu oleh Dinas Pendapatan Daerah Kabupaten/Kota. Termasuk tanda masuk di sini adalah tanda masuk dalam bentuk dan dengan nama apa pun, misalnya karcis, tiket undangan, kartu langganan, kartu anggota (membership), dan sejenisnya.

6. Harga tanda masuk, selanjutnya disingkat HTM, adalah bayaran nilai uang yang tercantum pada tanda masuk yang harus dibayar oleh penonton atau pengunjung.

Objek Pajak

Disebutkan dalam UU PDRD No 28 tahun 2009 Pasal 42 bahwa:

(1) Objek Pajak Hiburan adalah jasa penyelenggaraan Hiburan dengan dipungut bayaran.

(2) Hiburan tersebut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:

a. tontonan film;

b. pagelaran kesenian, musik, tari, dan/atau busana;

c. kontes kecantikan, binaraga, dan sejenisnya;

d. pameran;

e. diskotik, karaoke, klab malam, dan sejenisnya;

f. sirkus, akrobat, dan sulap;

g. permainan bilyar, golf, dan boling;

h. pacuan kuda, kendaraan bermotor, dan permainan ketangkasan;

i. panti pijat, refleksi, mandi uap/spa, dan pusat kebugaran (fitness center); dan

j. pertandingan olahraga.

(3) Penyelenggaraan Hiburan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dikecualikan dengan Peraturan Daerah.

II.1.2 Subjek Pajak dan Wajib Pajak

Disebutkan dalam UU PDRD No 28 tahun 2009 Pasal 43 bahwa:

(1) Subjek Pajak Hiburan adalah orang pribadi atau Badan yang menikmati Hiburan.

(2) Wajib pajak hiburan adalah orang pribadi atau Badan yang menyelenggarakan hiburan.

II.1.3 Dasar pengenaan pajak

Disebutkan dalam UU PDRD No 28 tahun 2009 Pasal 44 bahwa:

(1) Dasar pengenaan Pajak Hiburan adalah jumlah uang yang diterima atau yang seharusnya diterima oleh penyelenggara Hiburan.

(2) Jumlah uang yang seharusnya diterima sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk potongan harga dan tiket cuma-cuma yang diberikan kepada penerima jasa Hiburan.

II.1.4 Tarif pajak

Disebutkan dalam UU PDRD No 28 tahun 2009 Pasal 45 bahwa:

(1) Tarif Pajak Hiburan ditetapkan paling tinggi sebesar 35% (tiga puluh lima persen).

(2) Khusus untuk Hiburan berupa pagelaran busana, kontes kecantikan, diskotik, karaoke, klab malam, permainan ketangkasan, panti pijat, dan mandi uap/spa, tarif pakak Hiburan dapat ditetapkan paling tinggi sebesar 75% (tujuh puluh lima persen).

(3) Khusus Hiburan kesenian rakyat/tradisional dikenakan tarif Pajak Hiburan ditetapkan paling tinggi sebesar 10% (sepuluh persen).

(4) Tarif Pajak Hiburan ditetapkan dengan Peraturan Daerah

II.1.5 Besaran pajak terutang

Disebutkan dalam UU PDRD No 28 tahun 2009 Pasal 46 bahwa:

(1) Besaran pokok pajak Hiburan yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif pajak sebagaimana dimaksud dalam pasal 45 ayat (4) dengan dasar pengenaan pajak sebagaimana dimaksud dalam pasal 44.

(2) Pajak Hiburan dipungut di wilayah daerah tempat hiburan diselenggarakan.

II.2 Analisa Masalah

Pajak merupakan sumber utama untuk pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan suatu negara. Secara umum, tujuan adanya pajak adalah sebagai alat untuk memasukkan dana secara optimal ke Kas Negara berdasarkan Undang-Undang Perpajakan yang berlaku. Dan Pajak daerah merupakan sumber pendapatan daerah yang penting guna memenuhi kas daerah yang diperuntukkan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah. Serta merupakan salah satu bentuk peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan otonomi daerah.

Permasalahan yang dihadapi oleh Daerah pada umumnya dalam kaitan penggalian sumber-sumber pajak daerah dan retribusi daerah yang merupakan salah satu komponen dari Pendapatan Asli Daerah (PAD) adalah belum memberikan kontribusi yang signifikan terhadap penerimaan daerah secara keseluruhan. Untuk itu diperlukan intensifikasi dan ekstensifikasi subyek dan obyek pendapatan untuk mendongkrak penerimaan perpajakan di daerah. Dalam jangka pendek, kegiatan yang paling mudah dan dapat segera dilakukan adalah dengan melakukan intensifikasi terhadap obyek atau sumber pendapatan daerah yang sudah ada. Dan dalam konteks Pajak Hiburan, Pemerintah kemudian memperluas basis Pajak Hiburan dengan membaginya ke dalam tiga kelompok tarif Pajak Hiburan yang diperkenankan bagi pemerintah kabupaten/kota untuk menariknya. Pertama, tarif maksimal 35% (tiga puluh lima persen), antara lain untuk pertunjukan sirkus, akrobat, sulap, dan tontonan film. Kedua, tarif maksimal 10% (sepuluh persen) khusus untuk hiburan kesenian rakyat dan tradisional. Ketiga, bertarif maksimal 75% (tujuh puluh lima persen), yakni untuk pagelaran busana, kontes kecantikan, diskotik, karaoke, klab malam, permainan ketangkasan, panti pijat, dan mandi uap/spa.

Selain untuk tujuan umum, pajak dapat pula digunakan oleh pemerintah sebagai alat mencapai untuk tujuan-tujuan tertentu (regulerend), seperti membatasi dan mengurangi konsumsi barang yang berdampak negatif secara sosial, salah satunya yaitu kenaikan tarif Pajak Hiburan untuk tempat-tempat hiburan tertentu sebesar 75%. Kenaikan pajak hiburan hingga 75 persen mulai 1 Januari mendatang dimaksudkan untuk menekan tingkat kunjungan ke tempat-tempat hiburan tertentu, seperti panti pijat, karaoke, dan sauna. Penetapan tarif tinggi itu tidak dimaksudkan untuk mengurangi pertumbuhan tempat hiburan mahal ini sebab harga bukan penentu utama datangnya konsumen ke tempat tersebut. Tarif ditinggikan dengan harapan pemerintah kabupaten/kota bisa mengambil manfaat maksimal.

Kenaikan tarif Pajak Hiburan pada Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 ini baru berlaku efektif pada 1 Januari 2010. Menurut Direktur Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Departemen Keuangan Budi Sitepu, ketiga jenis hiburan tersebut adalah hiburan mewah yang bukan tergolong kebutuhan pokok.[1] Pajak tinggi itu ditetapkan pada jenis tempat hiburan tertentu yang dianggap memberikan pelayanan mewah dan dinikmati masyarakat berkecukupan. Tempat hiburan seperti panti pijat, karaoke, atau klab malam dikenai tarif tertinggi karena dianggap jasa mewah. Hiburan tersebut dikenai tarif tertinggi karena tingkat elastisitas terhadap harga jual layanannya rendah. Artinya, meskipun tarif layanannya dinaikkan, tidak akan mengurangi jumlah konsumen sebab pengguna jasanya merupakan kelompok masyarakat kelas menengah ke atas. Dengan demikian, penetapan tarif tinggi itu tidak dimaksudkan untuk mengurangi pertumbuhan tempat hiburan mahal ini sebab harga bukan penentu utama datangnya konsumen ke tempat tersebut. Tarif ditinggikan dengan harapan pemerintah kabupaten/kota bisa mengambil manfaat maksimal.

Contoh kasus Penghitungan Pajak Hiburan:

Pada tahun 2010, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata menargetkan penerimaan cukai tembakau dan rokok dari Provinsi Jawa Timur mencapai sebesar Rp 32 triliun. Hitunglah besar penerimaan Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kota/Kabupaten Jawa Timur dari pajak rokok pada tahun 2014?

Namun dalam Menurut Tony, penentuan pajak haruslah mengajak bicara pengusaha hiburan. Pemerintah daerah Bogor, misalnya, selama ini selalu mengajak bicara pengusaha dalam penentuan pajak hiburan.”Bagi pengusaha hiburan, kenaikan pajak memang bisa saja tinggal meningkatkan harga tiket. Namun, kalau sekadar meningkatkan harga bakal berimplikasi pada animo pengunjung wisata. Akibatnya, perolehan pajak juga pasti akan sedikit,” ujar Tony.Pemerintah dan DPR semestinya menilik kembali perjalanan penentuan pajak. Tahun 1993, pemerintah Orde Baru pernah menghapuskan semua retribusi hotel dan hiburan



[1]

3 komentar:

Anonim mengatakan...

Mbak Wilis salam kenal. Dalam UU 28 Tahun 2009 ttg PDRD, penyelenggaraan fitness dikenakan Pajak Hiburan. Sementara itu, dalam UU 42 Tahun 2009 ttg PPN, jasa penyelenggaraan fitness tidak diatur sebagai jasa yang tidak dikenai PPN; artinya, kena PPN. Jadi ada pengenaan berganda.

Apakah pendapat saya di atas sudah benar? Mohon pendapatnya.

Anonim mengatakan...

bab III nya mana mba'?
p

Unknown mengatakan...

Bagaimana cara menghitung pajak hotel sedang kan di dalamnya menyediakan hiburan contohnya seperti spa,bilyard,dll.
Bagaimana cara pemungutan dan pemotongan nya?