Kamis, 29 April 2010

Dinamika Gerakan Mahasiswa dalam Bingkai Sejarah: “Atas Nama Rakyat Indonesia”

Dinamika Gerakan Mahasiswa dalam Bingkai Sejarah:
“Atas Nama Rakyat Indonesia”



“Mahasiswa hidup di tengah-tengah masyarakat. Itulah sebabnya mereka mengerti dan memahami betul apa yang dirasakan dan dialami masyarakat... Jika ada yang mengatakan tidak boleh atau melarang aksi mahasiswa, mungkin ada yang tidak senang dengan aksi mahasiswa.”
(Dr. A. H. Nasution)



Pendahuluan

Agaknya sepenggal kalimat yang diungkapkan oleh Dr. A. H. Nasution di atas dapat memberikan kita gambaran nyata tentang sosok mahasiswa dalam panggung pergerakan. Apa pun kondisi yang sedang berlangsung saat ini, dan dari sudut pandang mana pun akan kita tilik kondisi tersebut, tak bisa dipungkiri bahwa mahasiswa adalah the most important society. Mahasiswa adalah struktur unik dalam tatanan kemasyarakatan, politik maupun budaya. Unik karena mahasiswa memiliki status, latar belakang, dan ideologi yang boleh jadi membuat mereka bangga.

Dibalik itu semua, patut kita sadari bahwa mahasiswa adalah manusia biasa. Anggota asli dari sebuah tatanan kemasyarakatan di mana mereka hidup dan berjibaku di dalamnya. Dalam konteks ini, mahasiswa adalah figur lemah yang senantiasa dijadikan objek (padahal mereka hakikinya adalah subjek). Namun, dalam segala keterbatasan dan sangat biasanya mahasiswa, mereka bisa menjelma menjadi sebuah kekuatan luar biasa yang tidak bisa dibendung dengan senjata apa pun juga. Lebih lanjut, mahasiswa boleh jadi bangga atas intelektualitas yang mereka miliki karena mereka termasuk orang-orang yang beruntung yang dapat mengenyam pendidikan hingga jenjang yang tertinggi. Maka tidak salah memang, jika mereka-mereka ini menyandang sebutan mahasiswa, status superior bagi pelajar di Indonesia.

Status yang disandang ini memberikan konsekuensi logis adanya hubungan timbal-balik antara status dan peran mahasiswa. Sebagai bagian dari masyarakat, mahasiswa harus peka terhadap apa yang dialami dan dirasakan oleh masyarakat. Mengutip Ali Syariati, ‘…seorang intelektual bagaikan direktur film. Ia harus mengetahui, memahami, dan mengenal baik masyarakatnya. Apa yang ia katakan ada sangkut-pautnya dengan masyarakat..dengan demikian tanggung jawab pokok cendikiawan adalah membangkitkan dan membangun masyarakat…’ Pentingnya peran mahasiswa ini layak kita garis-bawahi. Tidak hanya terletak pada posisi mahasiswa yang cenderung 'elitis' karena stigma positif yang melekat atas kedudukan mereka yang istimewa di mata masyarakat, tetapi juga berkaitan dengan aktivitas mahasiswa atas tanggung jawab moral-sosial kemasyarakatan yang digantungkan oleh masyarakat kepada mereka. Mahasiswa menjadi representatif bagi masyarakat dalam mengaspirasikan tuntutan. Oleh karena itulah, tuntutan mahasiswa adalah tuntutan rakyat, tuntutan yang “atas nama Rakyat Indonesia”.

Perjalanan Gerakan Mahasiswa

Tidak dapat dipungkiri peran mahasiswa menjadi begitu penting dalam sejarah perjuangan bangsanya dari masa ke masa. Gerakan mahasiswa telah membuktikan bahwa mereka mampu untuk menumbangkan keotoritarian kaum elite atas rakyatnya. Gerakan mahasiswa untuk kemudian menjadi bentuk perjuangan dan kontribusi nyata kaum intelektual atas tanggung jawab moral-sosial mereka kepada rakyat.

Gerakan mahasiswa tampaknya memang sudah menjadi tuntutan zaman. Keberadaannya timbul dan tenggelam dalam pergolakan bangsa-bangsa yang ingin menata kehidupan demokrasinya menuju ke arah yang lebih baik. Pengalaman historis perjuangan bangsa telah membuktikan bahwa mahasiswa selalu memainkan peranan penting dalam setiap perjuangan. Mahasiswa telah menjadi kekuatan yang ada pada setiap perubahan yang tertoreh dalam sejarah bangsanya.

Istilah gerakan mahasiswa menjadi sangat populer setelah terjadi sebuah fenomena monumental di tahun 1998. Meskipun pada masa sebelumnya, gerakan mahasiswa juga pernah secara aktif memelopori perubahan. Dalam konteks transisi politik di Indonesia, gerakan mahasiswa telah memainkan peranan yang penting sebagai kekuatan yang secara nyata mampu mendobrak rezim otoritarian.

Kalau kita melihat sejenak peran gerakan mahasiswa dalam konteks semangat zamannya, kita bisa menengok kembali kepada peran mahasiswa dalam kurun waktu yang amat menentukan dalam sejarah bangsa kita. Munculnya angkatan-angkatan 1908, 1928, 1945, 1966, 1974, 1978, dan 1998 di pentas politik baik yang berhasil ataupun yang gagal total kiranya senantiasa dilandasi semangat untuk melakukan kritik terhadap “status quo” dan mengharapkan kehidupan baru yang lebih baik dan dengan impian dan harapan yang lebih baik pula.
Mahasiswa pernah menjadi salah satu bagian dari gerakan pemuda yang tidak dapat dipisahkan dengan proses perjuangan bangsa, sejak terjadinya kebangkitan pemuda 1908. Pada masa kebangkitan nasional ini, kaum intelektual muda adalah bagian pendobrak cara pandang yang kolot dengan mengadopsi cara pikir yang cerdas. Posisi kaum intelektual (mahasiswa) pasca 1908 adalah munculnya generasi gerakan di tahun 1966 yang diyakini berhasil menumbangkan rezim Orde Lama dan menggantikannya dengan rezim Orde Baru. Kemudian, gerakan mahasiswa angkatan 1978 muncul sebagai kekuatan yang menolak usaha-usaha depolitisasi terhadap mahasiswa. Sementara itu, angkatan 1980-an muncul sebagai generasi gerakan kritis yang tidak memunculkan gerakan yang masif, tetapi intensif terjun lagsung dalam masyarakat dalam kelompok-kelompok diskusi dan LSM-LSM yang bekerja secara langsung dalam basis masyarakat. Puncak dari gerakan mahasiswa terjadi pada angkatan 1998 yang diyakini berhasil menumbangkan rezim Orde Baru. Gerakan yang dipelopori mahasiswa ini bersifat masif dan berhasil meruntuhkan hegemoni dan kekuasaan riil negara. Bahkan, militer pun berhasil diredupkan posisinya berkat kekuataan massa di bawah kepeloporan mahasiswa-mahasiswa.

Gerakan mahasiswa dari masa ke masa selalu memberikan nafas baru yang kemudian melahirkan aktivis-aktivis mahasiswa yang cerdas dan berani. Pada umumnya, gerakan yang dibangun oleh para aktivis mahasiswa ini berangkat dari sebuah kesadaran tentang posisi masyarakat yang berhadapan dengan negara (konsep patron-client). Kesadaran tersebut kemudian membawa aktivitas gerakan pada sebuah tujuan yang hendak dicapai. Dengan melibatkan berbagai wacana yang mampu mendukung terwujudnya tujuan gerakan, para aktivis akan mengembangkan sebuah metode, strategi, atau taktik gerakan sebagai hasil dan tindak lanjut dari tingkat kesadaran yang mereka miliki tentang ketegangan antara negara dengan masyarakat. Dalam perjalanan sejarah Bangsa Indonesia sendiri, aktivitas gerakan mahasiswa selalu mengalami pasang surut, tercapai atau tidaknya tujuan gerakan sangat tergantung pada metode dan strategi gerakan yang digunakan. Beda zaman beda tantangan, begitulah gambaran dinamika gerakan mahasiswa dalam torehan sejarah.

Gerakan Mahasiswa dari Masa ke Masa

1. Munculnya Pergerakan Kaum Terpelajar (1908)

Kaum terpelajar Indonesia muncul seiring dibangunnya sekolah-sekolah oleh Belanda pada abad-18. Dari pembangunan tersebut hingga tahun 1906 di Hindia sudah terdapat beberapa orang terpelajar pribumi yang kebanyakan berasal dari keluarga para raja atau bangsawan tinggi mendapatkan pendidikan menengah dan tinggi. Munculnya perguruan tinggi di Hindia Belanda merupakan politik etis (politik balas jasa) yang diterapkan Belanda yang meliputi aspek edukasi, emigrasi, dan imigrasi. Sayangnya, politik etis tersebut hanyalah merupakan taktik dari kolonial untuk mendapatkan tenaga terdidik yang murah untuk membuka lahan perkebunan, dan membuat irigasi yang tentunya hanya menguntungkan pihak Belanda. Walaupun demikian, peran politik etis ini menjadi besar bagi kemunculan kaum terpelajar yang pada awalnya masih didominasi oleh putra-putra priyayi, yang dari perkenalannya dengan Eropa mereka menyadari kekurangan bangsanya: tingkat pendidikan, pengetahuan dan ilmu, terutama teknologi, dan peradaban pada umumnya.

Munculnya kaum terpelajar turut mendorong berkembangnya organisasi-organisasi soSial. Organisasi soSial yang pertama kali muncul adalah Sarikat Priyayi pada tahun 1906. Organisasi ini didirikan oleh Tirto Adhi Soerjo, termasuk Thamrin Mohamad Thabrie dan R.A.A. Prawiradiredja. Sarikat Priyayi kemudian tidak berkembang karena tidak mampu menggerakkan para priyayi yang sudah mapan, dan tidak mau bergerak tanpa restu dari pemerintah. Kemudian pada tahun 1908 berdirilah Boedi Oetomo dengan tokoh-tokohnya antara lain E. Douwes Dekker dan Wahidin Soediro Hoesodo. Boedi Oetomo didirikan di Jakarta, 20 Mei 1908 oleh pemuda-pelajar-mahasiswa dari lembaga pendidikan STOVIA, sebuah sekolah kedokteran di Jakarta.

Boedi Oetomo, merupakan wadah perjuangan yang pertama kali memiliki struktur pengorganisasian modern. Tujuan didirikannya organisasi ini adalah menghendaki adanya kemajuan bagi Hindia. Wadah ini merupakan refleksi sikap kritis dan keresahan intelektual terlepas dari primordialisme Jawa yang ditampilkannya. Awalnya Boedi Oetomo bergerak secara terbatas di Jawa dan Madura, tetapi kemudian meluas ke seluruh Hindia. Bidang kegiatan yang dipilih oleh Boedi Oetomo adalah bidang pendidikan dan budaya, dengan tidak melibatkan diri dalam kegiatan politik.

Pada kongres pertama di Yogyakarta, tanggal 5 Oktober 1908 menetapkan tujuan perkumpulan: Kemajuan yang selaras buat negeri dan bangsa, terutama dengan memajukan pengajaran, pertanian, peternakan dan dagang, teknik dan industri, serta kebudayaan. Keterlibatan golongan tua moderat dan priyayi yang mengutamakan jabatan, membuat Boedi Oetomo justru semakin melemah dan terjerembab masuk dalam kerangka politik etis. Kondisi ini menjadikan Boedi Oetomo cenderung memajukan pendidikan bagi priyayi dengan meluaskan pendidikan Barat.

Pada tahun 1911, di Solo berdiri sebuah perkumpulan bernama Sarekat Islam (SI). Organisasi ini didirikan bukan semata-mata sebagai perlawanan terehadap para pedagang-pedagang Cina, tetapi juga digunakan sebagai front untuk melawan semua bentuk penghinaan terhadap rakyat bumiputera. Organisasi merupakan reaksi terhadap rencana krestenings-politiek (politik pengkristenan) dari kaum zending, perlawanan terhadap penindasan dari pihak kolonial. Berbeda dengan Boedi Oetomo yang elitis karena hanya berada di lingkungan priyayi, SI mampu menjamah lapisan masyarakat bawah untuk melawan segala bentuk penindasan dan kesombongan rasial.

Tujuan didirikannya SI antara lain: mengembangkan jiwa berdagang; memberi bantuan kepada anggota-anggotanya yang menderita kesukaran; memajukan pengajaran dan semua yang dapat mempercepat naiknya derajat bumiputera; dan menentang pendapat-pendapat yang keliru tentang islam. Tujuan SI secara tidak langsung menghubungkan organisasi ini dengan dunia politik.

Disamping itu, pada tahun 1908, para mahasiswa Indonesia yang sedang belajar di Belanda, salah satunya Mohammad Hatta yang saat itu sedang belajar di Nederland Handelshogeschool di Rotterdam mendirikan organisasi bernama Indische Vereeniging yang kemudian berubah nama menjadi Indonesische Vereeninging tahun 1922, disesuaikan dengan perkembangan dari pusat kegiatan diskusi menjadi wadah yang berorientasi politik dengan jelas. Dan terakhir untuk lebih mempertegas identitas nasionalisme yang diperjuangkan, pada tahun 1925 organisasi ini berganti nama baru menjadi Perhimpunan Indonesia. Perhimpunan Indonesia menyerukan kesatuan di antara organisasi-organisasi yang ada. Dari persatuan tersebut diharapkan terbentuk front tunggal yang dapat menarik dukungan massa atas dasar nasionalisme. Metode yang digunakan untuk mendapatkan pengaruh adalah melalui boycott terhadap dewan tuan tanah kolonial, mengikuti contoh India dengan gerakan non-cooperation, dan secara umum bergantung pada kekuatan dan kemampuan bangsa sendiri.

Berdirinya Indische Vereeniging dan organisasi-organisasi lain, seperti: Indische Partij yang merupakan partai politik pertama di Hindia yang berdiri pada tanggal 25 Desember 1912 dengan Douwes Dekker sebagai ketua dan Tjipto Mangunkusomo sebagai wakilnya yang senantiasa melontarkan propaganda kemerdekaan Indonesia; Sarekat Islam; Muhammadiyah yang beraliran nasionalis demokratis dengan dasar agama, Indische Sociaal Democratische Vereeniging (ISDV) yang berhaluan Marxisme, menambah jumlah haluan dan cita-cita terutama ke arah politik. Hal tersebut di satu sisi membantu perjuangan rakyat Indonesia, tetapi di sisi lain sangat melemahkan Boedi Oetomo karena banyak orang kemudian memandang Boedi Oetomo terlalu lembek oleh karena hanya menuju "kemajuan yang selaras" dan terlalu elitis serta sempit keanggotaannya (yaitu hanya untuk daerah yang berkebudayaan Jawa).

Kehadiran Boedi Oetomo, Indische Vereeniging, dan lain-lain pada masa itu merupakan suatu episode sejarah yang menandai munculnya sebuah angkatan pembaharu dengan kaum terpelajar dan mahasiswa sebagai aktor terdepannya. Generasi 1908 dengan tujuan utamanya menumbuhkan kesadaran kebangsaan dan hak-hak kemanusiaan dikalangan rakyat Indonesia untuk memperoleh kemerdekaan kian mendorong semangat rakyat melalui penerangan-penerangan pendidikan yang mereka berikan untuk berjuang membebaskan diri dari penindasan kolonialisme.

2. 1928

Pada tahun 1922, sekumpulan mahasiswa yang bergabung dalam Indonesische Vereeniging yang kemudian berubah menjadi Perhimpunan Indonesia) kembali ke tanah air. Kecewa dengan perkembangan kekuatan-kekuatan perjuangan di Indonesia, dan melihat situasi politik yang dihadapi, mereka membentuk kelompok studi yang mempraktekkan ide-ide mereka dan dikenal amat berpengaruh karena keaktifannya dalam diskursus kebangsaan saat itu. Pertama, adalah Kelompok Studi Indonesia (Indonesische Studie-club) yang dibentuk di Surabaya pada tanggal 29 Oktober 1924 oleh Soetomo. Kedua, Kelompok Studi Umum (Algemeene Studie Club) yang kemudian menjadi Perserikatan Nasional Indonesia, direalisasikan oleh para nasionalis dan mahasiswa Sekolah Tinggi Teknik di Bandung yang dimotori oleh Soekarno pada tanggal 11 Juli 1925. Tujuan PNI sendiri adalah bekerja untuk kemerdekaan Indonesia dengan dua metode yang digunakan, yaitu pertama, ke dalam: dengan mengadakan kursus-kursus, mendirikan sekolah-sekolah, bank-bank, dan sebagainya; kedua, keluar: dengan memperkuat opini publik di rapat-rapat umum (vergadering) dan menerbitkan surat-surat kabar.
Diinspirasi oleh pembentukan Kelompok Studi Surabaya dan Bandung, menyusul kemudian Perhimpunan Pelajar Pelajar Indonesia (PPPI), prototipe organisasi yang menghimpun seluruh elemen gerakan mahasiswa yang bersifat kebangsaan tahun 1926, Kelompok Studi St. Bellarmius yang menjadi wadah mahasiswa Katolik, Cristelijke Studenten Vereninging (CSV) bagi mahasiswa Kristen, dan Studenten Islam Studie-club (SIS) bagi mahasiswa Islam pada tahun 1930-an.

Dari kebangkitan kaum terpelajar, mahasiswa, intelektual, dan aktivis pemuda itulah, generasi baru pemuda Indonesia muncul dan tercetus Sumpah Pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928. Sumpah Pemuda dicetuskan melalui Konggres Pemuda II yang berlangsung di Jakarta pada 26-28 Oktober 1928, dimotori oleh PPPI. Pada tahun 1930 hampir semua perkumpulan pemuda Indonesia mempersatukan diri dalam Indonesia Muda.

3. 1945

Dalam perkembangan berikutnya, dari dinamika pergerakan nasional yang ditandai dengan kehadiran kelompok-kelompok studi, dan akibat pengaruh sikap penguasa Belanda yang menjadi Liberal, muncul kebutuhan baru untuk menjadi partai politik, terutama dengan tujuan memperoleh basis massa yang luas. Kelompok Studi Indonesia berubah menjadi Partai Bangsa Indonesia (PBI) sedangkan Kelompok Studi Umum menjadi Perserikatan Nasional Indonesia (PNI).

Secara umum, kondisi pendidikan maupun kehidupan politik pada zaman pemerintahan Jepang jauh lebih represif dibandingkan dengan kolonial Belanda, Ketika Jepang masuk ke Indonesia tahun 1942 terjadi pelarangan semua kegiatan yang berbau politik, dan hal ini ditindak lanjuti dengan membubarkan semua organisasi pelajar dan mahasiswa, termasuk partai politik. Praktis, akibat kondisi yang sangat represif itu, mahasiswa dan pemuda memilih melakukan kegiatan berkumpul dan berdiskusi di asrama-asrama. Tiga asrama yang terkenal dalam sejarah kemerdekaan dan berperan besar dalam melahirkan sejumlah tokoh adalah Asrama “Angkatan Baru Indonesia” (Menteng 31), Asrama “Fakultas Kedokteran” (Cikini), dan Asrama “Indonesia Merdeka” (Kebon Sirih).

Asrama “Angkatan Baru Indonesia” (Menteng 31) didirikan dengan tujuan menciptakan inti aktivis yang setelah menyelesaikan pendidikannya akan disebar ke daerah-daerah. Tema pendidikan dalam asrama ini berpusat pada masalah nasionalisme dan “Semangat Asia Timur Raya”. Siswa-siswa dalam asrama ini antara lain Chairul Saleh dan Sukarni, mereka merupakan angkatan muda 1945 yang bersejarah, yang pada saat itu terpaksa menculik dan mendesak Soekarno dan Hatta agar secepatnya memproklamirkan kemerdekaan, peristiwa ini yang kemudian dikenal dengan Peristiwa Rengasdengklok.

Berbeda dengan Asrama Angkatan Baru Indonesia, Asrama Fakultas Kedokteran dihuni oleh mahasiswa dari latar belakang menengah ke atas yang kesehariannya menggunakan bahasa Belanda dengan pandangan sosial demokratnya, juga bukan kelompok pemuda yang aktif dalam kegiatan politik. Sedangkan Asrama Indonesia Merdeka didirikan dengan tujuan untuk mengimbangi Angkatan Darat dalam menarik pemuda. Dan pada akhir tahun 1944, berdiri organisasi bernama “Angkatan Muda” yang dalam konferensinya menghasilkan beberapa resolusi antara lain: Pertama, seluruh golongan harus dipersatukan dan disentralisasi di bawah satu pimpinan tunggal. Kedua, kemerdekaan Indonesia harus diwujudkan secepat mungkin.

4. 1966

Pasca proklamasi kemerdekaan, muncul berbagai organisasi mahasiswa dengan dasar ideologi yang berbeda-beda. Pada tanggal 5 Februari 1947 diresmikan terebentuknya Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), kemudian diikuti berdirinya Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) pada tanggal 25 Maret 1947 dan kemudian disusul dengan berdirinya Perhimpunan Mahasiswa Katholik Republik Indonesia (PMKRI). Organisasi-organisasi mahasiswa ini menggunakan ideologi agama seperti Islam, Kristen, dan Katholik. Kemunculan organisasi-organisasi mahasiswa ini mengikuti lahirnya partai-partai politik yang juga menggunakan basis ideologi agama seperti Masyumi yang berdiri tanggal 7 November 1945 dan Partai Katholik yang berdiri tanggal 8 Desember 1945.

Selanjutnya, dalam masa Demokrasi Liberal (1950-1959), seiring dengan penerapan sistem kepartaian yang majemuk saat itu, organisasi mahasiswa ekstra kampus kebanyakan merupakan organisasi dibawah partai-partai politik. Misalnya, Perhimpunan Mahasiswa Katholik Republik Indonesia (PMKRI) dengan Partai Katholik; sementara partai besar lainnya yaitu partai Nasional Indonesia (PNI) juga memiliki organisasi Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) yang berdiri tanggal 23 maret 1954; Gerakan Mahasiswa Sosialis Indonesia (Gemsos) dengan PSI; Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) yang berafiliasi dengan Partai NU; Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dengan Masyumi; dan Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI) yang dibentuk pada tahun 1956 sebagai hasil penggabungan tiga organisasi kecil mahasiswa di Bandung, Bogor, dan Yogyakarta. Pada Kongres CGMI ke IV tahun 1964 di Jakarta dinyatakan CGMI akan mendekati partai yang berpihak kepada rakyat. Dalam perkembangannya, CGMI memiliki kedekatan dengan PKI. Program yang dibawa oleh CGMI waktu itu adalah Tritunggal, yaitu: pertama, studi; kedua, menjadi nomer satu dalam studi; ketiga, bergerak di bawah. Diantara organisasi mahasiswa pada masa itu, CGMI lebih menonjol setelah PKI tampil sebagai salah satu partai kuat hasil Pemilu 1955.

Di permulaan tahun 60an dan pada periode Demokrasi Terpimpin, para mahasiswa berhadapan dengan dua kekuatan besar yaitu Lembaga Kebudayaan Rakyat (LEKRA) dan Manifesto Kebudayaan (Manikebu). Lekra mempunyai pengaruh yang besar dalam kehidupan intelektual Indonesia waktu itu. Organisasi ini memasukkan pandangan-pandangan mereka dalam bidang kesenian, kesusastraan, dan gagasan-gagasan dengan pendekatan “realisme kritis” atau “romantisme revolusioner”. Lekra anti terhadap nilai-nilai kebudayaan yang non-Indonesia. Sedangkan Manikebu bertujuan untuk membendung makin besarnya kekuatan Lekra dalam kehidupan kesusastraan dan kesenian. Kelompok ini menolak politik kebudayaan nasional sempit yang dicanangkan oleh Soekarno dengan dukungan kuat Lekra.

Organisasi gerakan mahasiswa yang meramaikan panggung perpolitikan dalam masa Demokrasi Terpimpin adalah organisasi yang memiliki afiliasi pada partai politik. Mereka saling berlomba, adu program untuk mendapatkan massa yang besar. Organisasi mahasiswa yang tersingkir dari panggung politik mengorganisir diri melalui kesatuan-kesatuan aksi. Puncaknya ketika pecahnya peristiwa G30S, mahasiswa berideologi liberal yang tersingkir kemudian bersatu dengan tentara. Mahasiswa membentuk Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) tanggal 25 Oktober 1965 yang merupakan hasil kesepakatan sejumlah organisasi yang berhasil dipertemukan oleh Menteri Perguruan Tinggi dan Ilmu Pendidikan (PTIP) Mayjen dr. Syarief Thayeb, yakni PMKRI, HMI,PMII,Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI), Sekretariat Bersama Organisasi-organisasi Lokal (SOMAL), Mahasiswa Pancasila (Mapancas), dan Ikatan Pers Mahasiswa (IPMI). Tujuan pendiriannya, terutama agar para aktivis mahasiswa dalam melancarkan perlawanan terhadap PKI menjadi lebih terkoordinasi dan memiliki kepemimpinan. Sebelum KAMI gerakan mahasiswa yang menyikapi peristiwa G30S masih bersifat local. Kemunculan KAMI tersebut membuat isu yang dibawa semakin terfokus menjadi Trotura (Tri Tuntutan Rakyat) yang berisi: Bubarkan PKI, retool Kabinet Dwikora, dan turunkan harga barang. Munculnya KAMI diikuti berbagai aksi lainnya, seperti Kesatuan Aksi Pelajar Indonesia (KAPI), Kesatuan Aksi Pemuda dan Pelajar Indonesia (KAPPI), Kesatuan Aksi Sarjana Indonesia (KASI), dan lain-lain. Titik puncak aksi mahasiswa terjadi pada saat diadakannya pelantikan kabinet Dwikora tanggal 24 Februari 1966 oleh Soekarno di istana Presiden. Ketika demonstrasi mencapai jalan Merdeka Utara, dua demonstran yaitu Arief Rahman Hakin (mahasiswa Kedokteran UI) dan Zubaedah (pelajar sekolah menegah) tewas tertembak.
Pada tahun 1965 dan 1966, pemuda dan mahasiswa Indonesia banyak terlibat dalam perjuangan yang ikut mendirikan Orde Baru. Gerakan ini dikenal dengan istilah Angkatan '66, yang menjadi awal kebangkitan gerakan mahasiswa secara nasional, sementara sebelumnya gerakan-gerakan mahasiswa masih bersifat kedaerahan. Tokoh-tokoh mahasiswa saat itu adalah mereka yang kemudian berada pada lingkar kekuasaan Orde Baru, di antaranya Cosmas Batubara (Eks Ketua Presidium KAMI Pusat), Sofyan Wanandi, Yusuf Wanandi ketiganya dari PMKRI, Akbar Tanjung dari HMI, dan lain-lain. Angkatan '66 mengangkat isu komunis sebagai bahaya laten negara. Gerakan ini berhasil membangun kepercayaan masyarakat untuk mendukung mahasiswa menentang Komunis yang ditukangi oleh PKI (Partai Komunis Indonesia). Setelah Orde Lama berakhir, aktivis Angkatan '66 pun mendapat hadiah yaitu dengan banyak yang duduk di kursi DPR/MPR serta diangkat dalam kabibet pemerintahan Orde Baru. Di masa ini ada salah satu tokoh yang sangat idealis, yang sampai sekarang menjadi panutan bagi mahasiswa-mahasiswa yang idealis setelah masanya, dia adalah seorang aktivis yang tidak peduli mau dimusuhi atau didekati yang penting pandangan idealisnya tercurahkan untuk bangsa ini, dia adalah Soe Hok Gie

5. 1974

Realitas berbeda yang dihadapi antara gerakan mahasiswa 1966 dan 1974, adalah bahwa jika generasi 1966 memiliki hubungan yang erat dengan kekuatan militer, untuk generasi 1974 yang dialami adalah konfrontasi dengan militer. Pasca peristiwa G 30S, gerakan mahasiswa cenderung memakai konsep gerakan moral (moral force). Dalam konsepsi ini, mahasiswa bertindak sebagai kekuatan moral daripada sebagai kekuatan politik, dalam arti bahwa mahasiswa muncul sebagai aktor politik ketika situasi bangsa sedang krisis, setelah krisis berlalu kemudian kembalike kampus belajar. Arief Budiman menyebut gerakan ini sebagai Gerakan Koreksi. Gerakan ini sifatnya hanya melakukan kritik terhadap suatu permasalahan. Gerakan ini merasa tidak perlu mengumpulkan massa yang besar dan melengkapi dirinya dengan ideologi alternatif.

Bangkitnya gerakan mahasiswa pada periode ini tidak dapat dilepaskan dari konstalasi politik dan ekonomi nasional pada waktu itu. Jika pada tahun 1968 dan 1969 kondisi kampus tenang-tenang saja, maka pada tahun 1970 terjadi berbagai aksi dan protes yangdilakukan oleh mahasiswa. Beberapa alasan yang menyebabkan terjadinya aksi ini adalah faktor objektif seperti jumlah mahasiswa bertambah terus tetapi anggaran pendidikan relatif kurang; jumlah mahasiswa baru yang tidak sepadan dibandingkan dengan fasilitas yang tersedia, meningkatnya inflasi dan bertambahnya kesulitan hidup sehari-hari; semua itu menimbulkan ketegangan. Ditambah lagi dengan merajalelanya korupsi di tahun 1970 yang mengiringi pertumbuhan ekonomi di samping munculnya tanda-tanda pertama dari boom minyak. Selain itu, pembangunan ternyata tidak membuat sejahtera seluruh lapisan masyarakat, pembangunan hanya dinikmati oleh sekelompok kecil masyarakat.

Pada tahun 1970 para aktivis yang dimotori oleh Arief Budiman membentuk gerakan bernama “Mahasiswa Menggugat”. Gerakan ini memprotes kenaikan harga bensin yang mengakibatkan harga-harga dan juga korupsi. Diikuti dengan gerakan-gerakan anti korupsi dalam skala yang lebih luas, pada tahun 1970, pemuda dan mahasiswa kemudian mengambil inisiatif dengan membentuk Komite Anti Korupsi (KAK) yang diketuai oleh Wilopo. Terbentuknya Komite Anti Korupsi ini dapat dilihat sebagai reaksi kekecewaan mahasiswa terhadap tim-tim khusus yang disponsori pemerintah, mulai dari Tim Pemberantasan Korupsi (TPK), Task Force UI sampai Komisi Empat.

Sebelum gerakan mahasiswa 1974 meledak, bahkan sebelum menginjak awal 1970-an, sebenarnya para mahasiswa telah melancarkan berbagai kritik dan koreksi terhadap praktek kekuasaan rezim Orde Baru, seperti:
• Golongan Putih (Golput) yang menentang pelaksanaan pemilu pertama di masa Orde Baru pada 1972 karena Golkar dinilai curang.
• Gerakan menentang pembangunan Taman Mini Indonesia Indah (TMII) pada tahun 1973 yang menggusur banyak rakyat kecil yang tinggal di lokasi tersebut.
Berbagai borok pembangunan dan demoralisasi perilaku kekuasaan rezim Orde Baru terus mencuat. Menjelang Pemilu 1971, pemerintah Orde Baru telah melakukan berbagai cara dalam bentuk rekayasa politik, untuk mempertahankan dan memapankan status quo dengan mengkooptasi kekuatan-kekuatan politik masyarakat antara lain melalui bentuk perundang-undangan. Misalnya, melalui undang-undang yang mengatur tentang pemilu, partai politik, dan MPR/DPR/DPRD.

Muncul berbagai pernyataan sikap ketidakpercayaan dari kalangan masyarakat maupun mahasiswa terhadap sembilan partai politik dan Golongan Karya sebagai pembawa aspirasi rakyat. Sebagai bentuk protes akibat kekecewaan, mereka mendorang munculnya Deklarasi Golongan Putih (Golput) pada tanggal 28 Mei 1971 yang dimotori oleh Arif Budiman, Adnan Buyung Nasution, Asmara Nababan. Golongan putih (Golput) dimaksudkan untuk menghimpun orang-orang yang tidak mengikuti pemilu

Dalam tahun 1972, mahasiswa juga telah melancarkan berbagai protes terhadap pemborosan anggaran negara yang digunakan untuk proyek-proyek eksklusif yang dinilai tidak mendesak dalam pembangunan,misalnya terhadap proyek pembangunan Taman Mini Indonesia Indah (TMII) di saat Indonesia haus akan bantuan luar negeri.

Protes terus berlanjut. Pada akhir 1973, suasana semakin menghangat dengan berbagai faktor seperti lahirnya UU perkawinan dan isu modal asing yang masuk ke Indonesia seiring dengan diangkatnya Asisten Pribadi (Aspri) Presiden. Memasuki tahun 1974, pada tanggal 14 Januari mahasiswa berdemonstrasi di lapangan udara Halim Perdanakusuma memprotes kedatangan Perdana Menteri Jepang Tanaka yang datang ke Indonesia dan sehari kemudian mahasiswa meneriakkan kembali tritura yang berisi: 1. Bubarkan Asisten pribadi (Aspri); 2. Turunkan harga; 3. Ganyang Korupsi. Demostrasi ini memuncak pada tanggal 15 Januari yang membuat pusat kota Jakarta sempat terhenti aktivitasnya selama dua hari. Hampir 1000 mobil, kebanyakan buatan Jepang, 144 gedung dibakar atau dirusak, 9 orang meninggal, seratus lebih cedera dan 820 orang ditangkap. Peristiwaq ni kemudian dikenal dengan peristiwa “Malari” atau Malapetaka 15 Januari 1974. Gerakan ini berbuntut dihapuskannya jabatan Asisten Pribadi Presiden.

6. 1978

Setelah peristiwa “Malari”, dikeluarkan SK Pemerintah No. 028/1974 yang memberi wewenang yang lebih besar kepada pimpinan perguruan tinggi untuk mengontrol aktivitas mahasiswa di kampus, pers mahasiwa harus diawasi oleh Menteri Penerangan dan birokrat kampus, dan peraturan yang mengharuskan organisasi mahasiswa yang berafiliasi dengan partai untuk bergabung menjadi satu organisasi yang diatur oleh rejim, ditambah dengan pencucian otak para mahasiswa dengan pembentukan komisi yang merubah Pancasila menjadi alat kontrol politik.

Hingga tahun 1975 dan 1976, berita tentang aksi protes mahasiswa nyaris sepi. Mahasiswa disibukkan dengan berbagai kegiatan kampus disamping kuliah sebagain kegiatan rutin, dihiasi dengan aktivitas kerja sosial, Kuliah Kerja Nyata (KKN), Dies Natalis, acara penerimaan mahasiswa baru, dan wisuda sarjana. Meskipun disana-sini aksi protes kecil tetap ada.

Menjelang dan terutama saat-saat antara sebelum dan setelah Pemilu 1977, barulah muncul kembali pergolakan mahasiswa yang berskala masif. Berbagai masalah penyimpangan politik diangkat sebagai isu, misalnya soal pemilu mulai dari pelaksanaan kampanye, sampai penusukan tanda gambar, pola rekruitmen anggota legislatif, pemilihan gubernur dan bupati di daerah-daerah, strategi dan hakekat pembangunan, sampai dengan tema-tema kecil lainnya yang bersifat lokal. Gerakan ini juga mengkritik strategi pembangunan dan kepemimpinan nasional.
Pada gerakan mahasiswa tahun 1978, mahasiswa memfokuskan membangun aliansi antara dewan mahasiswa ketimbang membangun aliansi dengan faksi-faksi elit yang tidak mendukung Soeharto. Pada bulan Januari 1978, dewan mahasiswa ITB menerbitkan Buku Putih Perjuangan Mahasiswa 1978 yang dinyatakan sebagai “kritik Indonesia sistematis pertama terhadap kebijakan rezim Orde Baru”. Buku ini mencerca pemerintah untuk korupsi yang meluas, kebijakan ekonomi yang memfasilitasi kepentingan memperkaya diri sendiri dengan biaya kesejahteraan sosial, represi terhadap suara politik independen dan kehilangan hubungan dengan rakyat.
Pada periode ini terjadi pendudukan militer atas kampus-kampus karena mahasiswa dianggap telah melakukan pembangkangan politik, penyebab lain adalah karena gerakan mahasiswa 1978 lebih banyak berkonsentrasi dalam melakukan aksi diwilayah kampus dan tidak terpancing keluar kampus untuk menghindari peristiwa tahun 1974. Akibatnya, pada tanggal 21 Januari 1978 Pangkomkamtib Soedomo menerbitkan SK Komkamtib yang berisi tentang pembubaran Dewan Mahasiswa semua universitas dan pendudukan atau pengambilalihan kampus oleh militer. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan juga mengeluarkan instruksi No.1/U/1978 dan SK Menteri pendidikan dan kebudayaan No.037/U/1979 yang berisi pembubaran Dewan Mahasiswa dan pembatasan aktivitas mahasiswa.

Meski demikian, perjuangan gerakan mahasiswa 1978 telah meletakkan sebuah dasar sejarah, yakni tumbuhnya keberanian mahasiswa untuk menyatakan sikap terbuka untuk menggugat bahkan menolak kepemimpinan nasional.

7. Era NKK/BKK

Setelah gerakan mahasiswa 1978, praktis tidak ada gerakan besar yang dilakukan mahasiswa selama beberapa tahun akibat diberlakukannya konsep Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan (NKK/BKK) oleh pemerintah secara paksa. Upaya pemerintah untuk mengeliminasi mahasiswa dari kegiatan politik semakin kuat ketika pada tanggal 19 April 1978, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan yang saat itu dijabat oleh Daoed Joesoef menerapkan kebijakan Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK) yang berarti menata ulang dan redefinisi kampus secara mendasar, fungsional, dan bertahap. Kebijakan ini membuat mahasiswa hanya boleh melakukan kegiatan kampus dan dilarang berhhubungan dengan kehidupan politik praktis. Kebijakan ini dituangkan dalam SK Menteri pendidikan dan Kebudayaan No.0156/V/1978 yang menyatakan bahwa aktivitas dan ekspresi politik mahasiswa di dalam kampus adalah tidak sah serta hanya mengijinkan adanya diskusi “akademik” tentang subjek politik. Selain SK Mendikbud, dirjen DIKTI juga mengeluarkan instruksi No.002/DK/Inst/1978 yang menempatkan semua aktivitas mahasiswa di bawah kontrol Pembantu Rektor III yang dibantu oleh pembantu dekan III di tiap fakultas. Keputusan tersebut mengakibatkan adanya badan koordinasi untuk urusan kemahasiswaan, sebuah institusi kampus yang memberikan otoritas efektif pada rektor untuk menunjuk atau mengganti pemimpin organisasi mahasiswa dengan segera.

Tanggal 24 Februari 1979, setelah melewati pembahasan intensif antara Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dan para rektor, Mendikbud mengeluarkan SK No.37/U/1979 yang mengatur Bentuk Susunan Lembaga atau organisasi Kemahasiswaan Lingkungan Perguruan Tinggi Departemen P dan K. dengan begitu di tiap perguruan tinggi dibentuk Badan Koordinasi Kemahasiswaan (BKK) sebagai badan nonstruktural yang berfungsi membantu rektor untuk merencanakan kegiatan mahasiswa. Dengan begitu maka sejak peraturan-peraturan itu dimunculkan, praktis semua kegiatan mahasiswa baik kurikuler maupun non kurikuler dikontrol oleh pimpinan perguruan tinggi.

Kebijakan BKK itu secara implisif sebenarnya melarang dihidupkannya kembali Dewan Mahasiswa, dan hanya mengijinkan pembentukan organisasi mahasiswa tingkat fakultas (Senat Mahasiswa Fakultas-SMF) dan Badan Perwakilan Mahasiswa Fakultas (BPMF). Namun hal yang terpenting dari SK ini terutama pemberian wewenang kekuasaan kepada rektor dan pembantu rektor untuk menentukan kegiatan mahasiswa, yang menurutnya sebagai wujud tanggung jawab pembentukan, pengarahan, dan pengembangan lembaga kemahasiswaan.
Dengan konsep NKK/BKK ini, maka peranan yang dimainkan organisasi intra dan ekstra kampus dalam melakukan kerjasama dan transaksi komunikasi politik menjadi lumpuh. Ditambah dengan munculnya UU No.8/1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan maka politik praktis semakin tidak diminati oleh mahasiswa, karena sebagian Ormas bahkan menjadi alat pemerintah atau golongan politik tertentu. Kondisi ini menimbulkan generasi kampus yang apatis, sementara posisi rezim semakin kuat.

Sebagai alternatif terhadap suasana birokratis dan apolitis wadah intra kampus, di awal-awal tahun 80-an muncul kelompok-kelompok studi yang dianggap mungkin tidak tersentuh kekuasaan refresif penguasa. Kelompok Studi (KS) merupakan arena untuk mengasah kemampuan kritis mereka atas persoalan sosial dan politik. KS muncul sebagai alternatif akibat ketidakmampuan organisasi mahasiswa formal di kampus untuk menyalurkan ide-ide kritis mahasiswa mengenai perubahan sosial. Era KS dimulai sejak 1982-1983, kemunculannya yang meskipun berjumlah kecil dan hanya terdapat di kota-kota tertentu mampu meramaikan kembali gerakan mahasiswa. Pemikiran-pemikiran kritis yang dikaji dalam KS antara lai karya Karl Marx, Paolo Freire, Ivan Illich, Jurgen Habermas, dan Michael Foucalt.

Dalam perkembangannya, eksistensi kelompok ini tidak hanya berfungsi sebagai arena untuk diskusi melainkan juga mealkukan aksi-aksi advokasi. Advokasi tersebut berupa “turun ke bawah” yakni bekerja sama dengan dan mendampingi kaum buruh dan petani. Kehadiran wadah-wadah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang tumbuh subur menjadi alternatif gerakan mahasiswa. Jalur perjuangan lain ditempuh oleh para aktivis mahasiswa dengan memakai kendaraan lain untuk menghindari sikap represif pemerintah, yaitu dengan meleburkan diri dan aktif di Organisasi kemahasiswaan ekstra kampus seperti HMI (Himpunan Mahasiswa Islam), PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia), GMNI (Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia), PMKRI (Pergerakan Mahasiswa Katholik Republik Indonesia), GMKI (Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia) atau yang lebih dikenal dengan kelompok Cipayung. Mereka juga membentuk kelompok-kelompok diskusi dan pers mahasiswa.

Selain kemunculan berbagai macam organisasi mahasiswa tersebut, gerakan mahasiswa pada massa ini juga mengaplikasikan hasil diskusinya dengan cara melakukan pengorganisiran di basis-basis massa rakyat. Demonstrasi-demonstrasi kampus pertama muncul kembali pada 1987 yang memuncak pada tahun 1989 dalam rangkaian protes mahasiswa mengenai isu tanah dan kekerasan terhadap rakyat sipil. Beberapa kasus lokal yang disuarakan LSM dan komite aksi mahasiswa antara lain: kasus tanah waduk Kedung Ombo, Kacapiring, Blengguan, Pandega, dan lain-lain. Kasus Kedung Ombo patut diberi catatan tersendiri karena kasus ini yang membawa para mahasiswa kembali keluar dari ruang kuliahnya dan terlibat ke dalam masalah sosial politik. Bahkan leibh dari itu, kerjasama antara mahasiswa yang ada di berbagai kota di Jawa Tengah dan Jakarta mulai dibina.

8. 1990

Memasuki awal tahun 1990-an, di bawah Mendikbud Fuad Hasan kebijakan NKK/BKK dicabut dan sebagai gantinya keluar Pedoman Umum Organisasi Kemahasiswaan (PUOK). Melalui PUOK ini ditetapkan bahwa organisasi kemahasiswaan intra kampus yang diakui adalah Senat Mahasiswa Perguruan Tinggi (SMPT), yang didalamnya terdiri dari Senat Mahasiswa Fakultas (SMF) dan Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM).
Dikalangan mahasiswa secara kelembagaan dan personal terjadi pro kontra menanggapi SK tersebut. Oleh mereka yang menerima, diakui konsep ini memiliki sejumlah kelemahan namun dipercaya dapat menjadi basis konsolidasi kekuatan gerakan mahasiswa. Argumen mahasiswa yang menolak mengatakan, bahwa konsep SMPT tidak lain hanya semacam hidden agenda untuk menarik mahasiswa ke kampus dan memotong kemungkinan aliansi mahasiswa dengan kekuatan di luar kampus.

Dalam perkembangan kemudian, banyak timbul kekecewaan di berbagai perguruan tinggi karena kegagalan konsep ini. Konsep SMPT tidak banyak berbeda dengan NKK/BKK. Mahasiswa menuntut organisasi kampus yang mandiri, bebas dari pengaruh korporatisasi negara termasuk birokrasi kampus. Sehingga, tidaklah mengherankan bila akhirnya berdiri Dewan Mahasiswa di UGM tahun 1994 yang kemudian diikuti oleh berbagai perguruan tinggi di tanah air sebagai landasan bagi pendirian model organisasi kemahasiswaan alternatif yang independen.

Dengan dihidupkannya model-model kelembagaan yang lebih independen, meski tidak persis serupa dengan Dewan Mahasiswa yang pernah berjaya sebelumnya upaya perjuangan mahasiswa untuk membangun kemandirian melalui SMPT, menjadi awal kebangkitan kembali mahasiswa ditahun 1990-an.
Gerakan yang menuntut kebebasan berpendapat dalam bentuk kebebasan akademik dan kebebasan mimbar akademik di dalam kampus pada 1987-1990 sehingga akhirnya demonstrasi bisa dilakukan mahasiswa di dalam kampus perguruan tinggi. Saat itu demonstrasi di luar kampus termasuk menyampaikan aspirasi dengan longmarch ke DPR/DPRD tetap terlarang.

Fenomena negara yang sangat kuat sehingga bisa mengontrol kebebasan berbicara dan berpikir masyarakat khususnya mahasiswa, membangun kesadaran massif di antara kalangan mahasiswa, sehingga ketika terjadi sikap-sikap otoriter dari negara, ingatan masyarakat semakin mengental untuk menyatakan sikap ketidaksetujuan terhadap negara otoriter.

Gerakan menjadi bertambah besar sejak terjadinya peristiwa 27 Juli 1996 yang disertai dengan hilangnya aktivis prodemokrasi. Dalam peristiwa 27 Juli 1996 ini sebenarnya masyarakat mulai melihat bahwa proses politik mengalami kemandegan yang luar biasa serta semakin jelasnya posisi negara Orde baru yang otoriter. Peristiwa penyerbuan kantor DPP PDI telah memicu pengorganisasian kelompok-kelompok masyarakat yang memiliki kesamaan ideologi. Ideologi dalam hal ini lebih dipahami sebagai kesamaan cita-cita dan tatanan nilai yang sama. Landasan nilai yang sama tersebut memudahkan melakukan pengorganisasian yang kemudian diarahkan untuk melakukan perlawanan “wacana” terhadap isu yang dikembangkan oleh negara dan aparat militer.

9. 1998

Badai krisis ekonomi terjadi pada tahun 1997. Krisis ini bermula dari jatuhnya mata uang Thailand (Bath) dan kemudian menyapu seluruh Asia Tenggara. Pada bulan Juli 1997 nilai tukar rupiah menurun menjadi 2400, akibatnya terjadi lonjakan pengangguran, industri gulung tikar, dan perdagangan macet. Untuk mengatasi hal tersebut, Soeharto memohon bantuan kepada negara-negara imperialis melalui IMF dengan syarat Indonesia harus mencabut subsidi terhadap barang-barang kebutuhan pokok. Akhirnya, Soeharto mengumumkan kenaikan tarif transportasi umum, hanya beberapa jam setelah sebelumnya mengumumkan kenaikan listrik dan BBM (bahan bakar minyak), sesuai dengan rekomendasi IMF untuk mengurangi subsidi bagi kedua komoditas tersebut. Ketika rupiah jatuh pada nilai 10.000 terhadap dolar Amerika, Soeharto kembali membuat konsensus dengan IMF dengan mencabut subsidi atas BBM dan listrik. Akibatnya, harga bahan bakar naik sebesar 47% dan listrik rata-rata naik sebesar 60%.

Mahasiswa menemukan momentumnya seiring dengan krisis ekonomi yang terjadi tersebut. Dalam kurun waktu awal Februari sampai Mei 1998, secara kuantitatif dan kualitatif gerakan mahasiswa naik secara drastis, dari tuntutan yang sudah politis dan metode yang radikal. Pelaku gerakan pada masa ini bukan hanya organisasi-organisasi gerakan yang sudah lama bergerak sejak tahun 80an melainkan juga kalangan aktivis kampus dari organisasi-organisasi seperti Senat Mahasiswa, BEM, dan senat-senat fakultas. Para aktor dari kalangan kmapus ini menyebut gerakan mereka sebagai gerakan “moral” dengan format aksi keprihatinan di kampus. Mereka juga banyak didukung oleh para staf pengajar dan pimpinan perguruan tinggi yan menjadikan gerakan mahasiswa sebagai gerakan civitas academica.

Selama bulan Maret pasca terpilihnya kembali Soeharto sebagai presiden yang ketujuh kalinya sampai bulan Mei, isu dan tuntutan mahasiswa semakin meningkat dan bertambah banyak. Target politiknya juga jelas yaitu menuntut Soeharto untuk mundur. Puncaknya terjadi pada tanggal 12 Mei 1998, ketika 6 mahasiswa Trisakti gugur diterjang peluru militer. Peristiwa ini menyulut solidaritas dan perlawanan yang semakin massif dari mahasiswa dan masyarakat. Tanggal 13 Mei, lebih dari 32 aksi di 16 kota di Indonesia serentak digelar untuk menyatakan solidaritas. Selain aksi besar-besaran dengan ribuan massa yang terjadi diberbagai kota di Indonesia, peristiwa lain yang mempercepat proses turunnya Soeharto adalah pendudukan terhadap Gedung MPR/DPR yang dilakukan oleh puluhan ribu mahasiswa sejak tanggal 18 Mei 1998. Akhirnya tanggal 21 Mei 1998, Soeharto menyatakan mengundurkan diri dari jabatannya. peristiwa yang disiarkan langsung oleh stasiun televisi nasonal dan swasta ini kemudian disambut dengan gembira oleh mahasiwa dan masyarakat.

Gerakan mahasiswa 1998 lebih merupakan kebangkitan civil society yang dukungannya berasal dari kekuatan civil society itu sendiri. Jika berbicara tentang proses radikalisasi yang terjadi dalam gerakan mahasiswa pada periode Mei 1998, para aktivis mahasiswa sendiri menyadari bahwa banyaknya mahasiswa yang turun dan begitu seringnya mendapatkan perlakuan buruk dari pihak aparat dalah faktor yang cukup penting. Dari peristiwa-peristiwa berdarah yang tidak jarang meminta korban jiwa itulah sebenarnya muncul satu bentuk semangat perlawanan bersama yang terus menjalar di benak aktivis gerakan dan diikuti oleh semakin banyak kelompok mahasiswa dan masyarakat lainnya. Jadi ikatan yang paling menonjol dari gerakan mahasiswa angkatan 1998 bukan terletak pada kepentingan ideologi, tetapi pada semangat kebersamaan.

Hal lain yang juga menarik untuk diamati dari ciri khas gerakan mahasiwa Angkatan 1998 ini adalah strategi gerakan yang dikembangkan adalah strategi untuk menyatukan diri dengan kekuatan masyarakat secara umum. Selain naluri gerakan muncul dari kesadaran akan adanya ketegangan antara negara dan masyarakat, tingkat kesadaran yang lebih tinggi adalah bahwa mereka merasa bagian dari masyarakat.

10. Pasca Reformasi

Masa Habibie

Pasca reformasi, praktis gerakan mahasiswa mulai menemukan polanya masing-masing. Gerakan mahasiswa yang tadinya seiring sejalan dalam menurunkan Soeharto kini mulai berguguran dan terpecah ke dalam dua kelompok pada periode Habibie yaitu gerakan mahasiswa yang mendukung Habibie dan gerakan mahasiswa yang tidak mendukung Habibie. Dengan dorongan tuntutan reformasi rezim Habibie, pada bulan November diadakan Sidang istimewa. Sepanjang dilakukannya Sidang Istimewa, mahasiswa melakukan demonstrasi. Demonstrasi tersebut tidak dilakukan oleh mahasiswa sendiri tetapi terhitung hingga ratusan ribu rakyat menolak Sidang Istimewa. Puncaknya pada Sidang Istimewa terakhir terjadi tragedi Semanggi di mana 18 orang meninggal dunia, tujuh mahasiswa, satu siswa SMU, sembilan orang pejalan kaki, dan satu polisi. 253 orang terluka sedang yang terluka oleh tembakan senjata api adalah 14 mahasiswa, satu dosen, dua siswa SMU, dan 15 pejalan kaki.

Empat bulan sejak peristiwa Semanggi I, gerakan mahasiswa mengalami penurunan dalam kuantitas peserta demonstrasi yang sangat drastik. Dalam menghadapi Pemilu 1999, gerakan mahasiswa kembali terpecah dalan tiga sikap. Pertama, mendukung pelaksanaan pemilu. Kedua, gerakan mahasiswa yang mendukung pemilu dengan syarat. Ketiga, gerakan mahasiswa yangtetap meneruskan isu-isu utama sebelumnya antara lain: pengadilan Soeharto beserta kroni-kroninya, penghapusan KKN, pencabutan Dwi Fungsi ABRI, dan pembentukan pemerintahan transisi.

Pasca pemilu, rezim Habibie ingin mensahkan RUU-PKB yang dibuat oleh DPR. Dan kebijakan ini pun ditolak oleh mahasiswa dan massa rakyat dengan melakukan perlawanan. Hal ini karena isi pasalnya memberikan kewenangan besar dalam tugas-tugas polisional kepada militer, dalam situasi negara dinilai darurat atau dalam keadaan berbahaya. Puncak aksi penolakan ini berujung pada Peristiwa Semanggi II yang terjadi pada 23-24 September dimana korban dari mahasiswa dan masyarakat kembali berjatuhan.

Masa Gus Dur

Kemenangan PDI-P dalam Pemilu tidak serta merta mengantarkan Megawati Soekarno Putri menjadi presiden. Berdasarkan hasil voting anggota MPR, Gus Dur mengungguli Mega yang berarti membawa Gus Dur menjadi presiden. Dalam pemerintahan Gus Dur, terjadi perkembangan “baru” dalam dunia kampus, gerakan mahasiswa menyebutnya privatisai kampus, sementara rezim menyebutnya otonomi kampus. Pemberian status Badan Hukum Milik Negara (BHMN) kepada empat Perguruan Tinggi Negeri yaitu UI, ITB, UGM, dan IPB pada tahun 2004 berimplikasi pada penghentian subsidi pendidikan dan mengharuskan perguruan tinggi mencari dana sendiri. Isu-isu mengenai pendidikan kemudian marak diusung oleh gerakan mahasiswa pada masa ini. Tuntutan mereka antara lain:pendidikan murah, perombakan kurikulum pendidikan, dan peningkatan kesejahteraan guru.

Kesimpulan

Dalam bingkai sejarah, gerakan mahasiswa pernah menjadi bagian dari sebuah gerakan pemuda Indonesia. Mahasiswa pernah menjadi salah satu bagian dari gerakan pemuda sebagaimana dilukiskan sebagai sosok yang dinamis ini, posisi pemuda yang didalamnya termasuk mahasiswa, tidak bisa dipisahkan dengan proses perjuangan bangsa, sejak terjadinya kebangkitan pemuda 1908. Pemuda adalah pelopor pada zamannya. Pada masa kebangkitan nasional, pemuda adalah bagian pendobrak cara pandang kegelapan dengan cara mengadopsi cara pikei yang “aukflaris” dalam gegap gempita modernisasi.
Pemuda memiliki posisi mitologis sebagai kekuatan selalu tampil untuk menyuarakan dan memperjuangkan nilai-nilai kebenaran dan menentang segala bentuk ketidakadilan pada zamannya. Dan dari perjalanan sejarah sejak pembentukan bangsa modern sampai dengan reformasi ini, pemuda (mahasiswa) terbukti selalu memberikan kontribusi yang sangat besar bagi bangsa dan rakyat Indonesia. Kesan herois ini di satu sisi memang tidak bisa ditolak, meskipun di sisi lain perlu dikritisi secara mendalam.
Keragaman latar belakang, motivasi, visi politik serta orientasi masing-masing kesatuan aksi telah menjadikan gerakan mahasiswa tidak dapat dilihat sebagai entitas yang homogen. Apalagi jika dilihat dari perjalanan gerarakan mahasiswa, sangat sulit menempatkan unsur mahasiswa sebagai satu barisan monolitik dari civil society. Terlalu banyak varian dan afiliasi terhadap kelompok-kelompok lain yang kemudian muncul sebagai variasi gerakan mahasiswa.

Gerakan mahasiswa tidak terbatas pada sebuah gerakan yang lahir dari mahasiswa yang menginginkan perubahan dan sekedar mendobrak status quo, tetapi juga gerakan yang berusaha untuk mempertahankan nilai-nilai yang diperjuangkan. Disadari atau tidak, gerakan mahasiswa akan selalu identik dengan perubahan. Seperti yang dikatakan oleh Saul Alinsky, seorang aktivis Amerika bahwa “Change means movement. Movement means friction. Only in the frictionless vacuum of a nonexistent abstract world can movement or change occur without that abrasive friction of conflict.” Sejauh mana kita kaji perjalanan gerakan mahasiswa, berhasil atau tidaknya tujuan yang hendak dicapai tidak hanya bergantung dari strategi atau taktik yang diterapkan oleh mahasiswa dalam penyelesaian konflik atau ketegangan antara negara dan rakyat. Tetapi juga, sejauh mana mahasiswa mampu berafiliasi dan membangun jaringan ke tingkat elite, “turun ke bawah” mengadvokasi akar rumput, bergelut dengan friksi demi tercapainya sebuah perubahan yang nyata, serta menjadi penghubung lidah rakyat dengan tuntutan yang “atas nama rakyat Indonesia” kepada negaranya.


Two roads diverged in a yellow wood,
And sorry I could not travel both
And be one traveler, long I stood
And looked down one as far as I could
To where it bent in the undergrowth

(The Road Not Taken by Robert Frost)



DAFTAR PUSTAKA


Disarikan dari Buku “Bergerak Bersama Rakyat”. Yogyakarta: Resist Book. 2007 dan A. Prasetyantoko & Ign Wahyu. Gerakan Mahasiswa dan Demokrasi di Indonesia. 2001. Jakarta: P.T. Alumni. 2001
Eko Prasetyo. Jadilah Intelektual Progresif!. 2007. Yogyakarta: Resist Book.
Gejolak Reformasi Menolak Anarki. Bandung: Penerbit Zaman Wacana Mulia. 1998
Pramoedya Ananta Toer. Sang Pemula. Jakarta: Hasta Mitra. 1985. Halaman 106
http://www.brainyquotes.com
http://www.wikipedia.com

4 komentar:

Aurelia Tanjung Ardiana mengatakan...

Tulisannya bagus..jadi referensi buat tugas saya..:)

Wilis Windar Astri mengatakan...

Alhamdulillah. Semoga bermanfaat yah :)

Blog Paliwan mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
Blog Paliwan mengatakan...

wah bagus bgt nih postingannya,,ow ya nau tanya ni selain d blog mba Wilis anulis buku juga ga ya?