Minggu, 25 September 2011

Bali Alva Lima India (Part 2)

Kyaaaa… Alhamdulillahirabbil’alamiin. Masih bisa melanjutkan menulis kisah-kisah perjalanan selama di Bali. Kali ini, perjalanan di hari kedua. Perjalanan hari kedua meliputi beberapa destinasi, diantaranya sebagai berikut ini:

Tari Barong (Barong Dance)

Perjalanan hari kedua kali ini diawali dengan melihat pagelaran tari Barong. Sebenarnya saya tidak paham, Barong itu digambarkan sebagai apa dalam tradisi Bali, sampai-sampai dia menjadi icon pada hampir seluruh buah tangan khas Bali. What is Barong? Entahlah. Mungkin penjelmaan dewa kali ya. Pasalnya, kali ini saya agak malas untuk nanyain ke Mbah Google. Jadi sebaiknya dilanjutkeun saja ceritanya. Tarif masuk untuk dapat menonton pagelaran tari Barong adalah sebesar Rp 80.000,00. MAHAL! Bagi saya. Dan harga tersebut merupakan harga yang dikenakan pula untuk wisatawan manca negara. Heu heu. Harusnya wisatawan domestik bisa dapat lebih murah deh, mana waktu saya datang udah mulai lagi.

Menurut saya sendiri Tari Kecak masih jauh lebih menarik dibanding Tari Barong: feelnya dapet, suasananya dapet, ceritanya dapet, hiburannya dapet, all in one. Sayang, dalam pagelaran Tari Barong kali tersebut, saya kurang puas dalam segala hal, kecuali bahwa saya bersyukur bisa foto bareng sama Barongnya. Kyaaa.. haha. Ada yang seru disini, pengamatan saya selama pertunjukkan agak sedikit tersita dengan wisatawan asing di depan saya. Omo! Tampan nian sodara-sodara, orang Jepang di depan saya. Awalnya saya pikir dia orang Korea, karena agak sulit membedakan antara orang Korea dengan orang Jepang, kulit dan tipikal wajahnya hampir sama. Kenapa saya tahu dia orang Jepang? Ternyata dia orang Jepang terlihat dari sinopsis lakon Tari Barong yang dia pegang. Selain itu, saya juga mendengarkan percakapannya dengan kekasihnya. Kyaaa…kekasihnya juga cantik banget..serasi. Ya seperti itulah intinya, suasana dan feel sewaktu nonton tari Barong tidak dapat. Padahal sebenarnya bagus lakonnya, hanya saja kurang meghibur kalau menurut saya, agak monoton.
Tari Barong
Sumber: Dokumentasi Pribadi

Resto Ayam Taliwang

Selepas menonton tari Barong, perjalanan dilanjutkan ke daerah Bali Utara, yaitu Bangli. Perjalanan ke Bangli memerlukan waktu ± 2jam perjalanan dari destinasi sebelumnya. Sehingga sebelum sampai tempat yang dituju, tim berhenti untuk makan siang. Kali ini, pilihan jatuh pada Resto Ayam Taliwang. Walaaaa…this is it. Makanan kesukaan saya. Best banget! Kalau makan ayam taliwang gak sampe nangis itu gak seru dan ternyata agak berbeda ketika mencicipi ayam taliwang di Bali dan di Lombok. Seperti diketahui, ayam Taliwang sendiri merupakan makanan khas Lombok. Makanan ini sangat unik, walaupun berbahan dasar ayam yang sangat sering kita konsumsi sehari-hari, ayam yang digunakan untuk ayam Taliwang ayamnya sangat kecil, tapi entah kenapa rasanya seperti ayam kampong, padahal bukan. Bagi saya, ayam Taliwang yang saya makan kali itu ‘agak’ berbeda sensasinya sama ayam Taliwang Lombok. Hahaha. Kurang menyengat pedasnya. Ayamnya juga kurang greget rasanya. Plecing kangkungnya apalagi. Kalah juara sama plecing kangkungnya Lombok. Tapi juaralah rasanya, lagi laper soalnya. #plak hahaha.

Bappeda Bangli

Akhirnya, sampai juga di destinasi yang sebenar-benarnya dituju dalam penelitian kali ini, yaitu Bappeda Bangli. Sebaiknya cerita disini di-skip saja. Karena sewaktu di Bappeda, isinya 100% FGD, tidak ada yang bisa diceritakan. Keep it secretly! Hahaha.

Agro Wisata – Bali Coffee

Nah, setelah misi utama selama di Bali selesai dilakukan, destinasi dilanjutkan dengan ber-agro wisata. Super takjub! Allah benar-benar Maha Besar! Bisa menciptakan makhluk hidup yang kotorannya saja bisa menghaslkan cita rasa terenak di dunia. Thanks GOD! Yes, Luwak jawabannya. Masih agak tidak percaya, walaupun saya sudah sering tahu di televisi mengenai proses pembuatan kopi Luwak. Tapi, kali ini Alhamdulillah dapat kesempatan langsung proses pembuatan berbagai macam kopi, mulai dari pemilihan kopi jantan-betina, sampai proses penumbukkannya yang masih dilakukan secara tradisional.

Luwaknya Bobo

Sumber: Dokumentasi Pribadi

Tempatnya yang asri, penuh berbagai macam pepohonan khas Bali, dan kebanyakan pohon tersebut belum pernah saya liat sebelumnya seperti pohon gingseng, pohon kopi, pohon vanili, ada ditempat ini semua. Bahkan ada luwaknya. Luwaknya lagi bobo. Sesuatu banget! Kadang sampai sekarang masih suka gak percaya, kenapa kotorannya Luwak bisa memiliki cita rasa terenak di dunia gitu. Selain karena belum pernah nyobain, mau nyobain juga gak tega rasanya, Rp 50.000,00 untuk satu cup kecil. Hiks. Walaupun jauh lebih murah dibanding harga yang ditawarkan di outlet-outlet kopi seperti Starbucks coffee yang bisa mencapai Rp 175.000 per-cup nya, tapi tetap aja gak tega ngeluarin uang di dompet. Rp 50.000,00 bisa buat makan 7-8kali kayanya. Hahaha. Untungnya dapat gratisan minuman khas Bali lainnya dari mulai Bali coffee, ginger coffee, dan banyak lagi. Sore-sore indah, gak bisa didapat banget di kota-kota wisata Bali lainnya.

Kopi Bali

Sumber: Dokumentasi Pribadi



Tampak Siring

Istana Tampak Siring

Sumber: Dokumentasi Pribadi

Pasca puas dengan keasrian Bangli, perjalanan berlanjut ke istana Tampak Siring. Bener-bener kagum deh, selama perjalanan tidak pernah berhenti bilang kalau Bung Karno itu keren sekali kalau soal arsitektur sampai pemilihan tempat. Sepanjang perjalanan menuju Tampak Siring itu disuguhkan pemandangan yang sangat adem dimata. Sesampainya disana pun, saya tidak berhenti bilang kalau Bung Karno itu keren banget. Terutama ketika sampai di sindangnya (temat pemandian putri-putri kerajaan Bali jaman dulu). Airnya jernih sejernih-jernihnya air. Padahal di bawah sindangnya sendiri ada batu, ada lumutnya juga pasti, ada ikannya malah, dibuat mandi pulak. Tapi jernihnya terjaga banget, mungkin karena itu air di sindang tersebut dipercaya bisa bikin awet muda. Airnya juga boleh diambil dibawa pulang bagi yang ingin, hehe.

Pemandian

Sumber: Dokumentasi Pribadi

Yang bikin keren adalah ketika melihat istana tampak siring dengan sebuah jembatan yang menghubungkan antara kedua bangunan. Jembatan tersebut bernama jembatan persahabatan, alkisah menurut guide di sana, jembatan persahabatan tersebut itu dibuat Bung Karno untuk mempererat hubungan keluarga beliau. Dahulu, keluarga beliau ‘agak’ renggang dikarenakan kesibukan bung Karno yang luar biasa. Sehingga didesainlah sebuah jembatan yang menjadi penghubung antara ruang utama beliau (ruang kerja beliau) dengan ruang keluarga beliau yang berada disebelahnya. Keren! Selain itu, kerennya adalah ruang kerja beliau didesain sedemikian rupa, manakala beliau lelah dengan rutinitas selama bekerja di ruangan kerjanya, beliau bisa menghadap ke jendela dan melihat pemandangan sindang tempat para putri-putri kerajaan mandi. Brilian! Hahaha. That’s why, sampai meninggalkan Tampak Siring pun saya tidak berhenti bilang kalau Bung Karno itu keren banget!

Khrisna – Pusat Oleh-Oleh Khas Bali

Senja berlalu. Perjalanan kembali menuju Legian (bungalow tempat kami menginap) membutuhkan waktu ±2jam. Setelah puas tidur selama dalam perjalanan. Bangun-bangun harus bingung milih oleh-oleh di pusat oleh-oleh khas Bali – Khrisna. Super gede. Harganya juga miring. Tapi untuk yang mau harga lebih miring lagi lebih baik ke Pasar Sukowati. Kalau di Khrisna walaupun harganya beda dikit sama di pasar Sukowati, kualitas Insya Allah terjamin baik. Pilihan ada di tangan pribadi masing-masing. Kalau saya, Alhamdulillah dapat pengalaman, sebaiknya beli oleh-oleh di pasar Sukowati saha. Hehe. Udah terlanjur beli beberapa di Khrisna, bisa jadi pelajaran.

Pesta Seafood

Kisah menarik disini: saya hanya ingin membuat pengakuan bahwa saya baru pertama kali dalam seumur hidup saya makan kepiting dan ternyata rasanya itu ‘Sesuatu’ banget. Terima Kasih ya Allah. #sekian

Legian

Hiyak, setelah selesai kenyang makan. Malam menjelang. Sekitar pukul 10 malam. Setelah beberes sebentar menaruh barang-barang. Jadilah kami (minus dospem) melanglang sepanjang jalan Legian. Legian, the city never sleeps! Kota nocturnal. Super hidup di waktu malam. Jam-jam segitu bule-bule dari segala penjuru Bali tumpah ruah di Legian untuk melakukan anggukan universal alias nge-dugem. Sumpah! Jalan pakai jilbab seperti saya dan beberapa teman jadi ‘sesuatu’ banget rasanya. Berbeda dengan bule-bule, makin malam makin seksi, makin cantik, dengan satu buah bir Heineken di tangan, jalan bergerombol menuju legian. Luar biasa, malam di Legian! Apakah ini yang menjadi alas an Imam Samudra ngebom Legian Oktober 2002? Entahlah. Tapi saya sebagai muslim sejujurnya sedih, tapi mau gimana lagi. Hehe. Insya Allah mereka orang-orang baik, sumber penghidupan warga Legian juga, simbosis mutualisme. Mudah-mudahan… aamiin.

Salah Satu Pemandangan Malam di Sebuah Cafe di Legian

Sumber: Dokumentasi Pribadi

Sampai disini dulu ya kisah perjalanan hari kedua selama di Bali. Tunggu part berikutnya. Kyaaa...

Tidak ada komentar: