Senin, 10 Januari 2011

Isu seputar penerapan Electronic Road Pricing


Electronic Road Pricing (ERP) merupakan “an electronic toll collection scheme adopted in Singapore to manage traffic by road pricing, and as a usage-based taxation mechanism to complement the purchase-based Certificate of Entitlement system". Sedangkan pemerintah Singapura yang telah menerapkan sistem ini mendefinisikan ERP sebagai "an electronic system of road pricing based on a pay-as-you-use principle. It is designed to be a fair system as motorists are charged when they use the road during peak hours".[1] Dengan demikian, sistem Electronic Road Pricing (ERP) merupakan sistem pungutan kemacetan yang menggunakan kartu elektronik. Sistem ini membebankan sejumlah biaya kepada pemilik kendaraan karena akan melewati suatu jalur tertentu sebab kendaraannya berpotensi menyebabkan kemacetan pada waktu tertentu.

Penerapan Electronic Road Pricing (ERP) merupakan salah satu rencana Pemprov DKI Jakarta yang diyakini dapat mengatasi masalah kemacetan di DKI Jakarta, selain itu Pemerintah Provinsi DKI Jakarta juga bisa menarik pendapatan daerah. Sehubungan dengan hal tersebut, ada dua pilihan yang berkembang terkait dengan kemana tarif ERP akan dialokasikan, apakah sebagai pajak daerah atau retribusi daerah? Apabila ditilik berdasarkan Undang-Undang No.22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, serta Undang-Undang No.28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD) telah menyebutkan secara tersirat bahwa retribusi jalan raya bisa dipungut sehingga retribusi dari ERP bisa dimasukan ke sumber pendapatan daerah. Namun demikian, dari 30 jenis retribusi daerah dan 11 pajak daerah yang ada dalam Undang-Undang UU No.28 tahun 2009 tentang Pemungutan Pajak Daerah atau Retribusi Daerah (closed list), retribusi daerah ERP tidak termasuk di dalamnya. Oleh karena itu, Pemprov DKI Jakarta membutuhkan peraturan pemerintah (PP) tentang ERP agar pelaksanaan kebijakan tersebut memiliki payung hukum yang sah.

Apabila menjadikan tarif ERP sebagai retribusi dan akan dimasukkan ke dalam kas daerah, retribusi tersebut dapat digunakan untuk membiayai peningkatan transportasi umum dan infrastruktur jalan, termasuk jadi sumber dana pemerintah daerah untuk memperbaiki transportasi umum di daerahnya. Hal ini berhubungan dengan tujuan sistem ERP yang merupakan program pemerintah yang bersifat layanan kepada masyarakat agar terhindar dari kemacetan, sehingga akan lebih baik tarifnya masuk dalam restribusi daerah.

(1) Jalan Raya sebagai Public Goods

Barang publik (public goods) adalah barang yang tidak dapat disediakan melalui sistem pasar yaitu melalui transaksi antara penjual dan pembeli. Oleh karena itu, barang-barang publik disediakan oleh pemerintah karena sistem pasar gagal dalam menyediakan barang tersebut. Sistem pasar tidak dapat menyediakan barang tertentu karena manfaat dari adanya barang tersebut tidak hanya dirasakan secara pribadi akan tetapi dinikmati oleh banyak orang. Suatu jenis barang dinamakan barang publik, bila mengandung dua karakteristik utama, yaitu:

a. Penggunaannya tidak bersaingan (non-rivalry). Satu orang dapat meningkatkan kepuasannya dari barang ini tanpa mengurangi kepuasan orang lain yang juga menikmatinya dalam waktu bersamaan. Misalnya, jalan raya yang tidak padat lalu lintasnya, penggunaan oleh seseorang tidak akan mengurangi kenikmatan orang lain yang juga sedang memanfaatkannya pada saat bersamaan.

b. Tidak dapat diterapkan prinsip pengecualian (non-excludability). Bila barang publik sudah tersedia, maka setiap orang dapat memanfaatkannya tanpa ada pengecualian. Misalnya, dalam kasus prasarana jalan. Kecuali jalan tol, maka pemerintah tidak dapat mencegah setiap orang yang berniat menggunakan prasarana jalan yang sudah disediakan.

Karena pihak swasta tidak mau menghasilkan barang publik, maka pemerintah yang harus menghasilkannya agar kesejahteraan seluruh masyarakat dapat ditingkatkan. Sebagai contoh ketika pihak swasta memproduksi mobil, maka otomatis yang diperlukan adalah tersedianya prasarana jalan raya yang dibangun oleh pemerintah. Kalau prasyarat ini tidak dipenuhi maka kesejahteraan masyarakat pun tidak mencapai titik optimal. Pada barang publik ini, seseorang tidak bersedia untuk menghasilkannya karena adanya masalah kepemilikan.

Berdasarkan dari karakteristik barang publik tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa jalan raya yang padanya diterapkan sistem Electronic Road Pricing bukan merupakan barang publik karena dapat diterapkan prinsip pengecualian. Dengan alasan ini, maka prasarana jalan tidak lagi dipandang sebagai ‘public goods’ murni, melainkan sebagai ‘private goods’ dengan beberapa ‘externalities

(2) Double Taxation

Pada dasarnya, pengenaan pajak berganda diartikan sebagai suatu pajak yang dikenakan dua kali terhadap suatu objek pajak yang sama. Dalam kasus ini, Pemilik kendaraan sudah membayar pajak kendaraan, sehingga secara logika, kendaraan tersebut dapat digunakan di seluruh ruas jalan tanpa harus membayar pajak tambahan. Terkait dengan hal tersebut, paling tidak ada dua alasan bagi pemerintah untuk mengenakan fiskal. Pertama, pada kondisi arus lalu lintas yang sudah jenuh (saturated), setiap kendaraan akan berpotensi menyebabkan kemacetan yang sangat merugikan bagi dirinya sendiri maupun orang lain. Oleh karena itu, pengguna jalan pada ruas jalan tersebut harus membayar “denda” atas kemacetan yang ditimbulkannya. Kedua, dengan adanya road pricing, maka lalu lintas menjadi lancar, sehingga wajar kalau pengguna jalan harus membayar sejumlah uang sebagai imbalan atas kelancaran lalu lintas yang dinikmatinya.[2]

(3) Road Pricing versus Jalan Tol

Kebijakan road pricing merupakan salah satu upaya dari berbagai ragam cara dalam mengatasi masalah lalu lintas. Adapun yang ditekankan dari kebijakan ini adalah pembatasan lalu lintas atau traffic restraint yang dapat dilakukan pemerintah untuk membatasi jumlah atau populasi kendaraan atau pembatasan intensitas pemakaian kendaraan, khususnya kendaraan pribadi dengan tujuan menjaga ratio jumlah kendaraan dibandingkan dengan ruas jalan yang cenderung tidak berubah dari tahun ke tahun, tetapi jumlah kendaraan pribadi dari tahun ke tahun mengalami peningkatan yang signifikan. Konsep road pricing tersebut adalah suatu konsep dimana pengenaan biaya secara langsung terhadap pengguna karena melewati ruas jalan tertentu. Tujuan dari penggunaan road pricing ini yaitu untuk menambah pendapatan suatu daerah (Jakarta) atau negara dan juga sebagai sarana untuk mengatur penggunaan kendaraan agar tidak terjadi kemacetan. Selain itu, tujuan dari road pricing ini adalah untuk mengurangi dampak lingkungan dengan mengurangi kemacetan dan juga untuk mendorong penggunaan kendaraan umum (massal). Road pricing berdasarkan tujuan dikelompokkan sebagai berikut:

a. Road toll (fixed rates), yaitu pengenaan biaya atas penggunaan jalan-jalan tertentu.

b. Congestion pricing (time-variable), yaitu pengenaan biaya yang didasarkan atas kepadatan lalu lintas. Jika lalu lintas padat maka biaya yang dikenakan akan tinggi namun bila kepadatannya rendah maka biaya yang dikenakan akan semakin rendah.

c. Cordon fees, yaitu pengenaan biaya atas penggunaan jalan-jalan tertentu.

d. HOV lanes, yaitu pengenaan biaya pada kendaraan yang tidak dapat menampung jumlah penumpang yang banyak.

e. Distance-based fees, yaitu biaya yang dikenakan terhadap kendaraan bergantung pada seberapa jauh kendaraan digunakan.

f. Pay As You Drive Insurance, yaitu membagi rata pembayaran berdasarkan jarak sehingga asuransi kendaraan menjadi biaya yang tidak tetap.

g. Road space rationing, yaitu pengenaan biaya atas penggunaan batas tertentu di jam-jam padat lalu lintas, misalnya berdasarkan nomor kendaraan).

Road pricing merupakan salah satu instrumen ekonomi yang sering diaplikasikan. Konsep ini telah diterapkan di 3 negara yaitu Singapura, London, dan Stockholm. Electronic Road Pricing (ERP) yang direncanakan diterapkan di Indonesia merupakan sebutan lain dari Congestion Pricing. Dengan penerapan ERP ini diharapkan dapat mengurangi perjalanan dengan kendaraan pribadi dan mengurangi perjalanan yang tidak perlu terutama pada jam-jam sibuk. Dengan begini, maka akan mengurangi konsumsi BBM atas kendaraan pribadi sehingga penurunan polusi udara juga akan terjadi.

Seperti halnya dengan jalan tol, ERP diterapkan di kawasan-kawasan tertentu. Jika pengendara pribadi melewati kawasan-kawasan tertentu tersebut akan dipungut biaya. Namun yang membedakannya adalah tata cara pembayarannya. Pada konsep ERP pembayaran sepenuhnya menggunakan stored-value card yang dilengkapi RFID seperti e-toll card sekarang ini. Namun yang berbeda adalah stored-value card ini menempel pada mobil atau kendaraan, bukan pada pemilik kendaraan. Dalam kartu ini terdapat jumlah uang serta data-data kendaraan dan pemiliknya.

Jalan tol sendiri merupakan jalan alternatif, sehingga bagi masyarakat yang memilih jalan tol, biaya yang dikeluarkan akan memberikan nilai lebih berupa penghematan dalam biaya operasi kendaraan dan waktu, kenyamanan, dan fasilitas yang lebih baik. Tujuan awal dibangunnya jalan tol adalah sebagai alternatif untuk mengatasi kemacetan yang terjadi di Jakarta karena dari tahun ke tahun terdapat kecenderungan terjadinya peningkatan kapasitas penggunaan kendaraan pribadi. Jalan tol dikenal pula dengan jalan bebas hambatan dengan pengguna jalan tol dibatasi pada pengendara roda 4 atau lebih yang mana ketika menggunakan fasilitas ini diwajibkan untuk membayarkan sejumlah uang/biaya kepada pengelola jalan tol. Sehingga jika kita melihat konsep public goods sebelumnya, jalan tol memenuhi sifat non-rival namun eksklusif.

(4) Peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD)

Apakah kebijakan Road Pricing dapat meningkatkat PAD? Jawabannya bisa ya atau tidak, tergantung mekanisme pemungutan dan penggunaan hasil pungutan. Apabila hasil pungutan dikategorikan sebagai pajak atau retribusi dan seluruhnya dimasukkan ke Dinas Pendapatan Daerah, untuk selanjutnya digunakan sesuai mekanisme anggaran yang ada, maka tidak bisa dipungkiri bahwa road pricing adalah salah satu sumber PAD. Namun demikian, hal ini juga dapat dilakukan apabila ada jaminan tentang komitmen anggaran yang memadai untuk perbaikan sistem transportasi, khususnya sistem angkutan umum, sehingga masyarakat dapat diyakinkan bahwa uang yang mereka bayar telah betul betul digunakan sesuai yang mereka harapkan, yaitu untuk perbaikan angkutan umum, sehingga masyarakat dapat menggunakan angkutan umum yang nyaman dan murah.

(4) Pembebanan kepada masyarakat

Sebagai sarana untuk pengendalian lalu lintas, road pricing memang dimaksudkan untuk “memaksa” pengguna kendaraan pribadi untuk beralih ke angkutan umum, sehingga beban lalu lintas menjadi berkurang. Oleh karena itu, road pricing harus “mahal” sehingga sebagian pengguna kendaraan pribadi “terpaksa” meninggalkan kendaraannnya dan beralih ke angkutan umum. Kalau intensitas pemakaian kendaraan pribadi (yang jumlahnya lebih 90% dari total jumlah kendaraan) ini dapat dikurangi, maka dapat diharapkan bahwa arus lalu lintas akan lebih lancar.

(5) Ekonomi biaya tinggi

Ekonomi biaya tinggi merupakan proses ekonomi di suatu daerah atau negara yang memerlukan atau mengeluarkan biaya yang lebih tinggi dari seharusnya akibat adanya pemberlakuan tarif yang lebih tinggi ataupun pungutan-pungutan liar yang seharusnya tidak ada. Dengan kata lain, menggambarkan sistem ekonomi yang mana untuk melakukan roda perekonomian dibutukan biaya yang sangat tinggi. Sejalan dengan hukum ekonomi bahwa setiap ada ekonomi biaya tinggi maka pada akhirnya ekonomi biaya tinggi tersebut akan dikompensasikan terhadap harga jual barang yang terlibat dalam proses ekonomi tersebut, baik produk yang akan diekspor maupun untuk produk-produk yang berbahan mentah impor maupun lokal, akibatnya output harga produknya menjadi kurang kompetitif di pasaran.

Ekonomi biaya tinggi menyebabkan suatu daerah tidak mampu bersaing dengan daerah lain dalam pembangunan ekonominya. Pelaku usaha atau bisnis pun mengeluhkan tingginya biaya yang terjadi dalam ekonomi biaya tinggi salah satunya untuk memulai atau melakukan bisnis. Adapun praktik-praktik ekonomi biaya tinggi yaitu pungutan liar, pungutan resmi berdasarkan peraturan perpajakan dengan tarif yang relatif tinggi, pengenaan perpajakan berganda dan berlapis-lapis, dan birokrasi yang panjang.

Dengan rencana akan diterapkannya road pricing pada ruas-ruas jalan tertentu, apabila intensitas pemakaian kendaraan pribadi dapat dikurangi, yang tentunya diharapkan akan menjadikan lalu lintas lebih lancar, maka hal tersebut akan berdampak sangat positif bagi kelancaran kegiatan sosial ekonomi masyarakat, dan selain itu, kerugian-kerugian ekonomi dan finansial akibat kemacetan lalu lintas juga dapat dikurangi sehingga terhindar dari ekonomi biaya tinggi (high cost economy).

(6) Penggunaan hasil pungutan

Apabila menjadikan tarif ERP sebagai retribusi dan akan dimasukkan ke dalam kas daerah, retribusi tersebut dapat digunakan untuk membiayai peningkatan transportasi umum dan infrastruktur jalan, termasuk jadi sumber dana pemerintah daerah untuk memperbaiki transportasi umum di daerahnya. Hal ini berhubungan dengan tujuan sistem ERP yang merupakan program pemerintah yang bersifat layanan kepada masyarakat agar terhindar dari kemacetan, sehingga akan lebih baik tarifnya masuk dalam restribusi daerah.

(7) Pemindahan simpul kemacetan lalu lintas

Road pricing ini dapat diterapkan di suatu kawasan (area bases), bukan hanya pada ruas jalan tertentu, sehingga tidak terjadi pemindahan kemacetan, karena arus lalu lintas di seluruh kawasan tersebut dapat dikendalikan dengan baik. Tetapi apabila penerapan road pricing ini hanya dilakukan pada suatu ruas jalan tertentu (corridor bases), maka pemindahan kemacetan tidak bisa dihindarkan. Namun demikian, tidak berarti bahwa hal ini tidak bisa diantisipasi.

Perubahan arus lalu lintas dapat diantisipasi dengan teknik simulasi dan pemodelan, sehingga titik-titik kemacetan baru sudah dapat diantisipasi sejak dini. Dengan demikian maka pemerintah sudah dapat mengantisipasi tindakan-tindakan yang diperlukan untuk mengatasi pemindahan titik-titik kemacetan tersebut, misal dengan pembangunan persimpangan tidak sebidang, pelebaran jalan, dsb, dan tentu saja dengan memperbaiki dan memperluas jaringan angkutan umum, sehingga dalam jangka panjang masyarakat tidak harus tergantung lagi pada kendaraan pribadi.

(8) Mengurangi konsumsi dan penggunaan kendaraan bermotor di DKI Jakarta

Kebijakan road pricing bisa diterapkan sebagai salah satu upaya untuk mengurangi penggunaan kendaraan pribadi, sehingga berdampak positif terhadap pengurangan volume lalu lintas, yang selanjutnya akan mengurangi tingkat kemacetan lalu lintas. Pemprov DKI Jakarta berhipotesa bahwa kebijakan tersebut akan dapat mengurangi pemakaian kendaraan pribadi karena untuk melewati ruas jalan tertentu, pengguna kendaraan harus membayarkan sejumlah uang yang dipotong dari electronic ticket. Di Indonesia, berdasarkan data Biro Pusat Statistik, perkembangan jumlah Kendaraan Bermotor cenderung mengalami peningkatan yang cukup signifikan, dan tentu dapat diasumsikan DKI Jakarta adalah salah satu wilayah yang perkembangan jumlah Kendaraan Bermotor-nya mengalami peningkatan setiap tahun, terlebih DKI Jakarta merupakan Ibukota Negara dan pusat pemerintahan serta bisnis.

Congestion pricing (pungutan biaya kemacetan) merupakan salah satu economic instruments yang bertujuan untuk mengurangi penggunaan kendaraan pribadi. Electronic Road Pricing (ERP) merupakan salah satu sebutan untuk Congestion Pricing. Dengan congestion pricing, pengguna kendaraan pribadi akan dikenakan biaya jika mereka melewati satu area atau koridor yang macet pada periode waktu tertentu. Pengguna kendaraan pribadi, akhirnya, harus menentukan apakah akan meneruskan perjalanannya melalui area atau koridor tersebut dengan membayar sejumlah uang, mencari rute lain, mencari tujuan perjalanan lain, merubah waktu dalam melakukan perjalanan, tidak jadi melakukan perjalanan, atau berpindah menggunakan moda lain yang diijinkan untuk melewati area atau koridor tersebut.

Biaya yang dikenakan juga bertujuan untuk memberikan kesadaran kepada pengguna kendaraan pribadi bahwa perjalanan mereka dengan kendaraan pribadi mempunyai kontribusi terhadap kerusakan lingkungan dan kerugian kepada masyarakat yang tidak mengunakan kendaraan pribadi. Kondisi ini seringkali tidak dipikirkan oleh masyarakat dan pengambil kebijakan. Congestion Pricing telah sukses diaplikasikan di beberapa kota seperti Singapore, Oslo, Stockholm, dan London. Dana yang terkumpul, bisa juga dijadikan sebagai salah satu sumber pembiayaan untuk mendukung beroperasinya moda transportasi yang lebih efektif, sehat, dan ramah lingkungan sepert Bus Rapid Transit, Mass Rapid Transit, dan lain-lain. Dengan terciptanya moda transportasi yang ideal tersebut diharapkan dapat mengurangi konsumsi dan penggunaan Kendaraan Bermotor di DKI Jakarta.



[2] Prasetyo Hatmodjo. Kebijakan Road Pricing Untuk Mengurangi Kemacetan Lalu Lintas. http://www.drn.go.id/index2.php?option=isi&do_pdf=1&id=15 Diunduh pada tanggal 31 Oktober 2010 Pkl.21.12

Tidak ada komentar: