BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Kementerian Pemuda dan Olahraga (“Kemenpora”) Republik Indonesia telah resmi
membekukan Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (“PSSI”) melalui Keputusan Menpora
Nomor 01307 Tahun 2015 tentang Pengenaan Sanksi Administratif Berupa Kegiatan
Keolahragaan PSSI Tidak Diakui (“KEP 01307/2015”) yang ditandatangani oleh Menteri
Pemuda dan Olahraga Imam Nahrawi pada Jumat, 17 April 2015. Berdasarkan Siaran Pers
No. 19/Kom-Publik/Kemenpora/4/2015 yang dilansir dalam situs resmi Kemenpora
(www.kemenpora.go.id) pada tanggal 18 April 2015, adapun pertimbangan dikeluarkannya
KEP 01307/2015 ini adalah: bahwa dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 121 ayat (2)
dan Pasal 122 ayat (2) huruf g Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2007 tentang
Penyelenggaraan Keolahragaan, Menteri mempunyai kewenangan untuk pengenaan sanksi
administratif pada tiap pelanggaran administratif dalam pelaksanaan penyelenggaraan
keolahragaan tingkat nasional.
Selain itu, bahwa secara de facto dan de jure sampai dengan tenggat batas waktu yang telah
ditetapkan dalam Teguran Tertulis Nomor 01133/Menpora/IV/2015 tanggal 8 April 2015,
Teguran Tertulis II Nomor 01286/Menpora/IV/2015 tanggal 15 April 2015 dan Teguran
Tertulis III Nomor 01306/Menpora/IV/2015 tanggal 16 April 2015, PSSI nyata-nyata secara
sah dan meyakinkan telah terbukti mengabaikan dan tidak mematuhi kebijakan Pemerintah
melalui Teguran Tertulis dimaksud.
Lebih lanjut lagi, isi dari KEP 01307/2015 secara lengkap adalah sebagai berikut:
1. Pengenaan Sanksi Adminsitratif kepada Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia, yang
selanjutnya disingkat Sanksi Adminsitratif kepada PSSI berupa kegiatan keolahragaan
yang bersangkutan tidak diakui.
2. Dengan pengenaan Sanksi Administratif sebagaimana dimaksud pada DIKTUM
PERTAMA, maka seluruh kegiatan PSSI tidak diakui oleh Pemerintah, oleh karena-
2
nya setiap Keputusan dan/atau tindakan yang dihasilkan oleh PSSI termasuk Keputusan
hasil Kongres Biasa dan Kongres Luar Biasa tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,
tidak sah dan batal demi hukum bagi organisasi, Pemerintah di tingkat pusat dan daerah
maupun pihak-pihak lain yang terkait.
3. Dengan pengenaan Sanksi Administratif sebagaimana dimaksud pada DIKTUM
PERTAMA dan DIKTUM KEDUA, maka seluruh jajaran Pemerintahan di tingkat pusat
maupun di tingkat daerah, termasuk Kepolisian Negara Republik Indonesia, tidak dapat
lagi memberikan pelayanan dan fasilitasi kepada kepengurusan PSSI, dan seluruh kegiatan
keolahragaannya.
4. Pada saat Keputusan Menteri ini mulai berlaku:
a. Pemerintah akan membentuk Tim Transisi yang mengambil alih hak dan kewenangan
PSSI sampai dengan terbentuknya kepengurusaan PSSI yang kompeten sesuai dengan
mekanisme organisasi dan statuta FIFA;
b. Demi kepentingan nasional, maka persiapan Tim Nasional Sepakbola Indonesia untuk
menghadapi SEA Games 2015 harus terus berjalan, dalam hal ini Pemerintah bersama
KONI dan KOI sepakat bahwa KONI dan KOI bersama Program Indonesia Emas
(PRIMA) akan menjalankan persiapan Tim Nasional;
c. Seluruh pertandingan Indonesia Super League/ISL 2015, Divisi Utama, Divisi I, II, dan
III tetap berjalan sebagaimana mestinya dengan supervisi KONI dan KOI bersama
Asprov PSSI dan Klub setempat.
5. Dalam pelaksanaan tugas dan kewenangan Tim Transisi sebagaimana dimaksud pada
DIKTUM KEEMPAT huruf a, bertanggungjawab dan berkewajiban menyampaikan
laporan kepada Menteri Pemuda dan Olahraga.
6. Biaya yang timbul akibat dari ditetapkannya Keputusan Menteri ini dibebankan pada
Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran/DIPA Kementerian Pemuda dan Olahraga Tahun
Anggaran 2015.
7. Keputusan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Berdasarkan isi dari KEP 01307/2015 di atas, pemerintah melalui Kemenpora telah
menggunakan hak konstitusionalnya untuk tidak mengakui kepengurusan PSSI dengan
melakukan pembekuan terhadap institusi tersebut. Di sisi lain, berdasarkan Pasal 2 ayat (2)
3
dan (4) Statuta PSSI, PSSI adalah organisasi kemasyarakatan dan independen yang
didirikan berdasarkan hukum dan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, terdaftar
di Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia dan berdomisili di Jakarta
dan PSSI adalah anggota Fédération Internationale de Football Association (“FIFA”).
PSSI sebagai salah satu anggota dari FIFA memiliki kewajiban sebagaimana tercantum
dalam Pasal 13 ayat (1) Statuta FIFA yang berbunyi: “Members have the following
obligations: a) to comply fully with the Statutes, regulations, directives and decisions of
FIFA bodies at any time as well as the decisions of the Court of Arbitration for Sport (CAS)
passed on appeal on the basis of art. 66 par. 1 of the FIFA Statutes;” Hal tersebut berarti,
PSSI berkewajiban untuk tunduk pada aturan-aturan standar yang telah ditetapkan FIFA. Di
lain pihak, keputusan pembekuan PSSI yang dikeluarkan oleh Menpora menjadi buah
simalakama bagi PSSI karena PSSI menjadi tidak independen karena adanya intervensi dari
Pemerintah, sehingga berbuah pada ancaman sanksi dari FIFA.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan fakta yang dijabarkan oleh penulis di atas, penulis kemudian tertarik untuk
menilik Keputusan Menpora KEP 01307/2015 yang telah menimbulkan banyak reaksi dan
pertanyaan tidak hanya bagi pengurus PSSI, tetapi seluruh komponen dan pelaku sepak bola
di Tanah Air, baik itu manajemen klub, pemain, pelatih, suporter, sponsor dan tentu saja
insan sepak bola. Sampai saat penulisan paper ini, Kemenpora dan PSSI belum menemukan
titik temu dari polemik antara kedua belah pihak, padahal polemik ini apabila tidak segera
ditangani bisa berujung pada sanksi yang diberikan oleh FIFA yang mengakibatkan Indonesia
tidak dapat berlaga dalam kompetisi internasional.
Pembahasan yang akan dilakukan akan berkaitan dengan teori-teori etika yang telah
dipelajari dalam buku Business Ethics Now karangan Andrew Ghillyer. Apakah peran
Pemerintah melalui Kemenpora dalam keputusan pembekuan PSSI sudah tepat dan
merupakan keputusan terbaik bagi semua pihak, mengingat konflik dalam kepengurusan
sepak bola Indonesia antara PSSI dan Kemenpora mau tidak mau juga melibatkan FIFA
sebagai induk dari PSSI (adanya conflicts of interest).
BAB 2
ANALISIS
Ethics atau Etika adalah standar mengenai benar atau salah yang dimiliki oleh seseorang.
Etika adalah tentang bagaimana kita bersikap kepada orang lain dan bagaimana kita
mengharapkan orang lain bersikap kepada kita.
Setiap orang memiliki standar etika yang berbeda-beda yang dipengaruhi oleh lingkungannya
seperti teman, keluarga, etnis, agama, sekolah, media, maupun panutan yang dimilikinya.
Lingkungan sekitar dan pengalaman yang diperolehnya membentuk standar etika yang
berbeda-beda dan seiring dengan waktu, etika yang dimiliki seseorang juga dapat berevolusi
sesuai pengalaman hidup yang dimilikinya.
Suatu kesamaan dalam standar etika yang dimiliki sekumpulan orang atau komunitas disebut
dengan value yang kemudian jika diformalisasikan menjadi sebuah value system. Namun
dalam kenyataannya, value dari suatu komunitas dengan komunitas lain dapat berbeda
sehingga dibutuhkan sesuatu yang lebih kuat yang mengaturnya yaitu hukum negara dimana
kumpulan orang tersebut berada.
Dalam penyelenggaraan pemerintahan, segala sesuatu sudah diatur menurut undang-undang
yang ada dengan urutan dari yang tertinggi ke terendah adalah sebagai berikut UndangUndang
Dasar 1945, Undang-Undang, Peraturan Pemerintah atau Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang, Peraturan Presiden, Peraturan Menteri, Peraturan Daerah,
Peraturan Gubernur, dst, sesuai hierarkinya. Adapun peraturan yang lebih rendah adalah
sebagai penjelasan dari peraturan di atasnya untuk lebih merinci, dan begitu seterusnya.
Dalam penyelenggaraan hukum, hal ini dikenal sebagai azas “Lex speciali derogate lex
generalis”. Namun azas ini berlaku dengan syarat bahwa peraturan yang lebih rendah yang
dikeluarkan tidak menyalahi atau bertentangan dengan peraturan yang sebelumnya.
Dalam polemik antara Menpora dan PSSI, penulis mencoba untuk meninjau dari segi etika
hukum undang-undang. Dari latar belakang permasalahan yang sebelumnya dijabarkan, kita
5
sudah mengetahui bahwa PSSI berkewajiban untuk tunduk pada aturan-aturan standar yang
telah ditetapkan FIFA.
PSSI berdasarkan pasal 13 ayat (1) Statuta FIFA juga berkewajiban untuk: “1. Members have
the following obligations: (g) to manage their affairs independently and ensure that their
own affairs are not influenced by any third parties;” Kewajiban menjaga independensi
organisasi itu kembali ditekankan pada pasal 17 ayat (2) Statuta FIFA tentang independensi
anggota FIFA. Pada ayat ini diatur bahwa Setiap anggota harus mengelola semua urusannya
secara independen dan tanpa pengaruh dari pihak ketiga, yaitu sebagai berikut: “Each
Member shall manage its affairs independently and with no influence from third parties”.
Jika ada asosiasi yang melanggar, maka berdasarkan pada pasal 14 ayat (1) Statuta FIFA
disebutkan bahwa Kongres FIFA bertanggung jawab untuk membekukan status keanggotaan
sebagai berikut: “The congress is responsible for suspending a Member. The Executive
Committee may, however, suspend a Member that seriously and repeatedly violates its
obligations as a Member with immediate effect”. Lebih lanjut lagi, FIFA mengatur secara
tegas anggota FIFA yang terkena sanksi bukan hanya dilarang, bahkan kemungkinan bisa
dikucilkan oleh asosiasi yang lain. Bila ada asosiasi yang bekerja sama atau melaksanakan
pertandingan atau hubungan kerjasama olahraga serta kompetisi dengan anggota yang
dikenakan sanksi maka anggota tersebut juga akan terkena sanksi. “A suspended Member
shall lose its membership rights. Other Members may not entertain sporting contact with a
suspended Member. The Disciplinary Committee may impose”
Keputusan Menpora yang tidak memberikan izin dan legalitas kepada PSSI dengan demikian
bisa dianggap sebagai intervensi Pemerintah sebagai pihak ketiga sehingga mempengaruhi
independensi dari PSSI. Sebagai Pemerintah yang memiliki peranan dalam menjalankan
hukum dan perundang-undangan di Indonesia (the role of government), Menpora berwenang
untuk mengambil tindakan sanksi bagi organisasi yang tidak menaati hukum di Indonesia,
yang dalam hal ini, akibat dari polemik berkepanjangan di tubuh PSSI yang masih berseteru
dengan Badan Olahraga Profesional Indonesia (“BOPI”) sebagai perwakilan pemerintah
dalam kasus pengelolaan Liga Indonesia.
6
Wewenang dan tugas Kemenpora tersebut diatur dalam Undang-Undang Nomor 3 tahun
2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional yang disebutkan dalam pasal 12, 13, 14, 15 dan
16 .yang berbunyi sebagai berikut: pasal 12 ayat (1) berbunyi: “Pemerintah mempunyai tugas
menetapkan dan melaksanakan kebijakan serta standardisasi bidang keolahragaan secara
nasional.” Ayat (2): “Pemerintah daerah mempunyai tugas untuk melaksanakan kebijakan
dan mengoordinasikan pembinaan dan pengembangan keolahragaan serta melaksanakan
standardisasi bidang keolahragaan di daerah.” Pasal 13 ayat (1): “Pemerintah mempunyai
kewenangan untuk mengatur, membina, mengembangkan, melaksanakan, dan mengawasi
penyelenggaraan keolahragaan secara nasional.” Ayat (2) berbunyi: “Pemerintah daerah
mempunyai kewenangan untuk mengatur, membina, mengembangkan, melaksanakan, dan
mengawasi penyelenggaraan keolahragaan di daerah.”
Lebih lanjut, Pasal 14 ayat (1) berbunyi: “Pelaksanaaan tugas penyelenggaraan
keolahragaan sebagaimana dimaksud dalam pasal 13 pada tingkat nasional dilakukan
secara terpadu dan berkesinambungan yang dikoordinasikan oleh Menteri.” Ayat (2):
“Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat 1, Pemerintah dapat
melimpahkan sebagian kewenangannya kepada pemerintah daerah sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.” Ayat (3): “Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 13 ayat (2), pemerintah daerah membentuk sebuah dinas yang menangani bidang
keolahragaan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.” Pasal 15 berbunyi :
“Pemerintah pusat dan pemerintah daerah bertanggung jawab untuk mewujudkan tujuan
penyelenggaraan keolahragaan nasional.” Pasal 16: “Ketentuan lebih lanjut mengenai tugas,
wewenang, dan tanggung jawab Pemerintah dan pemerintah daerah sebagaimana dimaksud
dalam pasal 12 sampai dengan pasal 15 diaturdengan Peraturan Pemerintah.”
Pembekuan PSSI oleh Pemerintah melalui Menpora merupakan buntut dari kekisruhan
panjang yang terjadi dalam tubuh PSSI serta sikap PSSI yang tidak mengindahkan BOPI.
PSSI sendiri memiliki begitu banyak catatan hitam dalam beberapa tahun terakhir. Sebagai
sebuah lembaga yang kerap berlindung di bawah Statuta FIFA pasal 13 ayat (1) huruf g, PSSI
tidak pernah menjadi organisasi yang transparan terkait masalah organisasi maupun masalah
yang berhubungan dengan anggaran organisasi. Padahal PSSI mendapatkan anggaran dari
7
Kemenpora setiap tahunnya. Tidak berhenti sampai disitu. Pengelolaan Liga yang benaung di
bawah kekuasaan PSSI terkesan amburadul. Pada masa tersebut, PSSI dengan mudahnya
mengganti Liga Super Indonesia (“LSI”) menjadi QNB League, yang notabene hanya satu
hari sebelum Liga tersebut bergulir.
Kekisruhan di tubuh PSSI bahkan telat berlangsung jauh sebelumnya. Indonesia saat itu
mendapat sorotan dan menjadi pembicaraan Internasional setelah kasus “Sepakbola gajah” di
pertandingan PSS Sleman vs PSIS Semarang. Dimana dari sisi klub Sepakbola, wacana klub
LSI yang digadang-gadang oleh PSSI menjadi klub profesional hanyalah pepesan kosong
semata dari saat wacana tersebut digulirkan sejak tahun 2004. Banyak klub LSI yang masih
menggunakan bantuan untuk menjalankan operasional klub dari Pemerintah Daerah atau
Pemerintah Kota yang tidak lain bertugas menjadi perwakilan dari Pemerintah Pusat untuk
melaksanakan kebijakan dan mengoordinasikan pembinaan dan pengembangan keolahragaan
serta melaksanakan standardisasi bidang keolahragaan di daerah sebagaimana telah
disebutkan di atas. Hal tersebut diperparah dengan prestasi Timnas Indonesia yang nihil gelar
dari tahun ke tahun, hingga berujung pada jebloknya peringkat Indonesia berdasarkan
peringkat FIFA, yaitu di bawah Timor Leste.
Berdasarkan prinsip Corporate Governance dalam buku Business Ethics Now yang dikarang
oleh Andrew Ghillyer dikenal dua metodologi Tata Kelola, yaitu: “Comply or Explain”: A
set of guidelines that require companies to abide by set of operating standards or explain
why they choose not to atau “Comply or Else”: A set of guidelines that require companies
to abide by a set of operating standards or face stiff financial penalties
Bila sepakbola Indonesia mendapatkan sanksi dari FIFA, maka pertanyaan yang akan muncul
adalah apakah Indonesia tidak bisa bermain sepakbola akibat tidak adanya pengakuan dari
FIFA (Comply or Else)? Secara peraturan hukum di Indonesia sebagaimana telah dijelaskan
di atas, Indonesia bukan berarti tidak bisa memiliki Liga Sepakbola sendiri apabila sanksi
dari FIFA benar-benar dijatuhkan untuk di Indonesia. Sepakbola tetaplah bisa dimainkan dan
Indonesia tetap bisa memiliki LSI meski tidak diakui oleh dunia Internasional.
8
Secara implisit, Menpora tidak melakukan pelanggaran terhadap Statuta FIFA pasal 13 ayat
(1) huruf g karena dianggap telah melakukan intervensi terhadap PSSI terkait dengan
keputusan pembekuan PSSI oleh Menpora. Dalam hal ini, Menpora tidak mengganggu
urusan internal PSSI karena pada saat dikeluarkan Keputusan pembekuan PSSI ini, pihak
PSSI pun tengah mengadakan Kongres Luar Biasa PSSI. Selain itu, tidak ada campur tangan
dari Menpora kepada para pemangku jabatan di PSSI.
KEP 01307/2015 hanya tidak mengakui PSSI sebagai sebuah organisasi yang legal karena
dianggap tidak mengindahkan peraturan dan himbauan Kemenpora. Itu sebabnya, ancaman
sanksi FIFA memang membayangi Indonesia. Hingga saat penulisan paper ini, FIFA telah
bereaksi dengan memberikan tenggat waktu hingga 29 Mei 2015 kepada Kemenpora dan
PSSI untuk dapat menyelesaikan polemik yang terjadi di antara kedua belah pihak. Apabila
konflik tidak dapat diselesaikan, maka Indonesia akan mendapat sanksi dari FIFA sehingga
tidak dapat ikut berlaga dalam kompetisi Internasional.
Secara hukum, Keputusan Menpora yang membekukan PSSI dan memberikan sanksi tidak
diakui oleh Pemerintah merupakan keputusan final yang harus dilaksanakan oleh PSSI.
Apabila terdapat pihak yang tidak setuju dengan keputusan tersebut, maka jalan yang dapat
ditempuh adalah dengan menggugat Keputusan Menpora tersebut yaitu dengan melakukan
pengujian materi di Pengadilan Tata Usaha Negara (“PTUN”).
Dilihat dari perspektif hukum, Keputusan Menpora tersebut merupakan keputusan eksekutif
dari seorang pejabat publik. Jika dikaitkan dengan prinsip etika, tindakan yang dilakukan oleh
Menpora adalah melakukan apa yang benar sesuai dengan amanah Undang-Undang (doing
the right things) yang dalam Hukum Tata Usaha Negara hal tersebut disebut dengan istilah
beschikking. Dengan demikian, keputusan tersebut dianggap sah selama belum diuji di PTUN
dan dianggap sah juga karena sesuai dengan pasal 1 angka 9 Undang-Undang Nomor 51
Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang
PTUN serta keputusan ini dianggap final. Jika keputusan itu bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku dan asas-asas umum tata kelola pemerintahan yang baik (good governance), demi tercapainya legal standing yang pasti, keputusan Menpora tersebut
dapat diajukan ke PTUN untuk dilakukan uji materiil.
BAB 3
KESIMPULAN DAN SARAN
3.1. Kesimpulan
Berdasarkan analisis di atas, penulis menarik kesimpulan bahwa Keputusan Menpora Nomor
01307 Tahun 2015 tentang Pengenaan Sanksi Administratif Berupa Kegiatan Keolahragaan
PSSI Tidak Diakui yang dikeluarkan oleh Imam Nahrawi sebagai Menteri Pemuda dan
Olahraga telah sesuai dengan amanat Undang-undang yang berlaku. Jika dikaitkan dengan
prinsip etika, tindakan yang dilakukan oleh Menpora adalah melakukan apa yang benar
sesuai dengan amanah Undang-Undang (doing the right things).
Walaupun pada saat keputusan ini dikeluarkan timbul banyak reaksi pro dan kontra, namun
perlu dipahami bahwa keputusan tersebut merupakan keputusan yang diambil oleh
Pemerintah yang secara tugas dan tanggung jawabnya memang berwenang untuk menetapkan
dan melaksanakan kebijakan serta standardisasi bidang keolahragaan secara nasional.
Pemerintah dalam rangka memperbaiki kekisruhan yang terjadi pada PSSI dan demi
tercapainya tata kelola pemerintahan yang baik, keputusan tersebut layak diambil walaupun
dengan dikeluarkannya keputusan tersebut, Indonesia mungkin terkena sanksi dari FIFA
(comply or else). Dengan demikian, keputusan tersebut secara hukum mengikat dan harus
dilaksanakan sepenuhnya oleh PSSI.
3.2. Saran
Permasalahan yang terjadi dalam konflik PSSI menjadi sangat rumit karena banyak
kepentingan bagi para pihak yang berkonflik (conflict of interest). Dilema terjadi dalam tubuh
pemerintah karena beberapa peraturan di Statuta FIFA tentang pelarangan pihak ketiga untuk
ikut campur dalam penyelesaian konflik PSSI.
10
Para pihak yang berkonflik juga harus bekerja sama untuk tujuan bersama yaitu kebangkitan
persepakbolaan Indonesia dan mengesampingkan kepentingan pribadi dan kelompok.
Menurut penulis, Keputusan Menpora tentang pembekuan PSSI tersebut sudah tepat. Demi
tercapainya kebangkitan persepakbolaan di negeri sendiri, Indonesia perlu berbenah diri
terlebih dahulu dengan carut marut yang ada.
Dukungan dari pemerintah juga sangat diperlukan bagi segenap lapis insan persepakbolaan,
seperti kemudahaan fasilitas dalam berlaga, jaminan pengelolaan klub sepakbola yang
professional, dan lain-lain. Pada saat penyelesaian paper ini, belum ada titik temu antara
kedua belah pihak dalam menanggapi sanksi yang akan dijatuhkan oleh FIFA. Namun
demikian, pembekuan PSSI oleh Menpora diharapkan dapat menjadi titik awal dari
bangkitnya persepakbolaan di Indonesia
Minggu, 24 Mei 2015
Rabu, 01 Juli 2015
ITALIAN CRISIS AT A GLANCE
The Lehman Brothers collapse in September 2008 revealed the seriousness of the crisis and it represents the starting point of the financial and economic crisis. The Lehman Brothers collapse initiated the most dramatic phase of the crisis by bringing about a contraction in the interbank loan market.Banks refused to lend money to each other because of a lack of liquidityand uncertainty about the financial soundness of borrowers. The liquidity crisis induced governments to support national banks with loans, and the European Central Bank cut the discount rate. However, banks reduced the availability of credit to clients to regain liquidity.
At this event, the 2008 financial crisis rapidly developed and spread into a global economic shock, which resulted in a number of European bank failures and stock market declines. Economies worldwide slowed during this period due to tightening credit and drops in international trade,following the rapid decline of economic activity in Europe.Italy was among those Euro area countries which have been particularly struck by the financial and economic crisis in 2008.
The Italian economy is the third largest in the Euro area and the global economic crisis hit Italy harder than expected. The economy was severely hit by the crisis, recording a huge collapse in exports and investment.According to data published in the July 2009 update of the International Monetary Fund’s (IMF) World Economic Outlook, real output growth in Italy contracted by 1 percent in 2008 and 5.1 percent in 2009.
In Italy there are a few large banks and many small and medium-sized banks operating on a regional scale. The crisis touched the larger banks, which lost funds as a result of the Lehman Brothers crash, or found their assets devalued by the stock-market collapse. However, Italian banks were not very heavily involved in highly speculative sectors. The main problem for Italian banks,apart from the reduction in liquidity, came from links with Central and Eastern European countries which is a part of European Union network. There was a risk of the collapse or illiquidity of this part of the network.
Moreover, small and medium-sized banks reacted to the liquidity crisis by reducing credit to clients and consumers and raising the amount of collateral required for new loans. This policy reduced investment in machinery and houses and threatened the viability of small and medium sized firms in various sectors, in particular the more obsolete or export oriented of them. Moreover, credit restrictions and pessimistic outlooks deterred consumers from spending. 2 The Italian Government dealt with the crisis in two main ways: supporting banks to avoid the domino effect of their fall and supporting large firms which allowed them to retain their employees, and cutting public spending.
In November 2008, the Italian Government was introduced the first stimulus package amounting to US$3.8 billion (€3 billion) to counter the contagion effects of the global economic crisis. Based on the above background, this paper will outline Italy’s economic situation in the midst of the current crisis.This paper gives an overview of the evolution of the financial and economic crisis from its very inception in 2008 with the subprime crisis in the US, the current situation of Italy’s economy, including a discussion of the effects of the economic and financial crisis in Italy, and how the Italian Government dealt with the Italian crisis.
Langganan:
Postingan (Atom)